“Sampean itu sudah wali tenan, Pak.”
Sagino melontarkan celetukan itu ketika bertemu saya di teras masjid. Beberapa detik sesudah azan Magrib tuntas mengumandang. Kami sama-sama baru tiba. Saya dari arah utara, naik WinAir. Sagino—kerabat saya dari jalur Bapak—berjalan kaki dari arah selatan.
Sekitar 3 jam sebelumnya, ratusan pasang mata terbelalak menyambut kedatangan saya. Saya tidak menghiraukan pikiran yang berkecamuk di kepala mereka. Setelah memarkir WinAir, saya melangkah cepat menuju rumah. Saya salami orang-orang yang berdiri atau duduk di sepanjang rute yang saya lewati. Yang tidak terjangkau oleh tangan saya hanya kebagian isyarat lambaian tangan, anggukan kepala, atau tatapan mata.


