18 Nov 2013

Berguru kepada Guru-Guru Finlandia


“Pendidik profesional—apakah ia seorang guru yang mengajar di kelas, petugas perpustakaan, konselor, atau di bagian mana pun ia bertugas—memiliki satu tujuan yang sama: menyaksikan semua muridnya berhasil di sekolah dan dalam kehidupan kelak. Tak hanya bangga ketika muridnya berprestasi, mereka juga tak bisa tidur bila ada muridnya yang gagal. Pendidik profesional secara rutin menghampiri murid-muridnya sebelum dan seusai jam sekolah, memeriksa pekerjaan murid-muridnya untuk memperbaiki rencana pembelajaran, menjumpai keluarga muridnya pada malam hari dan akhir pekan, dan berjuang keras untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Kendati demikian, pengorbanan mereka jarang ‘dilirik’ oleh masyarakat yang dilayaninya.”
(American Educator, Summer 2011, pg. 34)

Secara mengejutkan, Finlandia bercokol di puncak peringkat hasil penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2000. Dari 41 negara peserta, Finlandia menduduki peringkat ke-1 untuk literasi membaca, peringkat ke-5 untuk literasi matematika, dan peringkat ke-4 untuk literasi sains. Prestasi ini bukan sebuah kebetulan. Hal ini dibuktikan dengan konsistensinya dalam penilian serupa periode berikutnya. Pada 2003, Finlandia masih bertengger di peringkat ke-1 untuk literasi membaca, peringkat ke-2 (matematika), dan ke-1 (sains). Sedangkan pada 2006 peringkatnya menjadi ke-2 (membaca), ke-2 (matematika), dan ke-1 (sains).

12 Nov 2013

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 3 - Habis)

(sambungan dari Bagian 2)

Prinsip ke-8: Menggalang Seluruh Staf Sekolah sebagai Komunitas Belajar

Seluruh staf sekolah harus terlibat dalam mengkaji, mendiskusikan, dan merasa memiliki usaha pendidikan karakter di sekolah. Pertama dan paling utama, staf memikul tanggung jawab untuk menjadi model pengamalan nilai-nilai luhur dalam perilaku mereka dan memanfaatkan kesempatan untuk memberikan pengaruh positif kepada peserta didik yang berinteraksi dengan mereka. 

Kedua, nilai-nilai dan norma yang mengatur kehidupan peserta didik juga mengatur kehidupan kolektif seluruh warga dewasa di komunitas sekolah. Seperti halnya peserta didik, warga dewasa tumbuh dalam naungan karakter dengan bekerja secara kolaboratif, berbagi pengalaman terbaik, dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan untuk memperbaiki segala sendi kehidupan sekolah. Mereka juga harus memanfaatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dan mengamati sejawat lalu menerapkan strategi pengembangan karakter dalam bekerja bersama peserta didik. 

Ketiga, sekolah meluangkan waktu bagi staf untuk merefleksi isu-isu yang berdampak terhadap pengalaman kolektif mereka dalam mengamalkan nilai-nilai luhur. Melalui pertemuan-pertemuan pleno dan kelompok-kelompok kecil, staf dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan reflektif seperti “Pengalaman pembangunan karakter seperti apa yang sudah diberikan sekolah kepada para peserta didik?”, “Seberapa efektif dan komprehensif pengalaman-pengalaman tersebut?”, “Perilaku moral negatif apa yang gagal diantisipasi sekolah?”, atau “Apa praktik di sekolah yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur yang disepakati dan hendak dikembangkan sebagai pendidikan karakter?” Refleksi semacam ini merupakan syarat mutlak untuk membangun budaya karakter secara terpadu.

Implementasi prinsip ke-8 tercermin dalam hal-hal berikut.

  1. Staf mampu menampilkan model nilai-nilai luhur dalam interaksi mereka dengan peserta didik dan sesama staf, dan peserta didik dan orang tua melihatnya demikian.
  2. Sekolah melibatkan seluruh staf dalam perencanaan, menerima perkembangan staf dan menyelenggarakan inisiatif pendidikan karakter secara menyeluruh.
  3. Sekolah menyediakan waktu bagi staf untuk merencanakan dan merefleksi praktik pendidikan karakter yang mereka jalankan.
Prinsip ke-9: Memupuk Kepemimpinan Kolegial

Sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan karakter memiliki pemimpin yang benar-benar mau berjuang untuk berhasil dan berbagi tugas kepemimpinan dengan seluruh pemangku kepentingan. Mereka membentuk komite pendidikan karakter—biasanya terdiri atas staf, peserta didik, orang tua, dan anggota komunitas—yang bertanggung jawab untuk merencanakan, melaksanakan, dan menggalang dukungan. Lambat laun sekolah mengambil alih fungsi komite—atau, setelah tujuan pendidikan karakter dipahami secara luas, struktur organisasi formal tidak lagi diperlukan. Pemimpin juga mengambil langkah-langkah untuk mendapatkan dukungan jangka panjang (misal: pemberdayaan staf secara memadai, waktu yang cukup untuk menyusun perencanaan). Selain itu, para peserta didik mendapat peran yang sesuai dengan taraf perkembangan mereka melalui kegiatan cllas meeting, organisasi siswa, mediasi teman sebaya, tutorial lintas usia, regu piket, dan sebagainya.

Implementasi prinsip ke-9 adalah sebagai berikut.

  1. Pendidikan karakter memiliki pemimpin-pemimpin—termasuk kepala sekolah—yang rela berjuang demi mewujudkan cita-cita pendidikan karakter, berbagi tanggung jawab dan kewenangan, dan merancang daya dukung jangka panjang.
  2. Struktur kepemimpinan yang merangkul semua unsur—staf, peserta didik, dan orang tua—akan memperlancar perencanaan dan implementasi prakarsa pendidikan karakter dan memacu peran serta seluruh warga sekolah dalam kegiatan-kegiatan yang berkait dengan pendidikan karakter.
  3. Peserta didik secara nyata dilibatkan dalam menciptakan dan menjaga perasaan menjadi bagian  komunitas serta diberi peran kepemimpinan yang bersumbangsih terhadap usaha-usaha mewujudkan pendidikan karakter.
Prinsip ke-10: Menggalang Keluarga dan Masyarakat sebagai Mitra

Sekolah-sekolah yang melibatkan keluarga dalam usaha membangun karakter mampu memperbesar peluang sukses dalam menangani peserta didik. Mereka berkomunikasi dengan keluarga—melalui newletters, e-mail, malam keakraban, website sekolah, dan konferensi orang tua—mengenai tujuan dan kegiatan berkait dengan pendidikan karakter. Untuk membangun kepercayaan antara orang tua dan sekolah, orang tua punya perwakilan di dalam komite pendidikan karakter atau melalui lembaga pengambil keputusan lain yang ada. Sekolah juga melakukan kiat khusus untuk merambah kelompok-kelompok orang tua yang tidak berkenan menjadi mitra komunitas sekolah. Akhirnya, sekolah dan keluarga mampu meningkatkan keefektifan kemitraan dengan melibatkan komunitas yang lebih luas (misal: lembaga bisnis, organisasi kepemudaan, institusi keagamaan, pemerintah, dan media) dalam memajukan pembentukan karakter.

Berikut adalah implementasi prinsip ke-10.

  1. Sekolah melibatkan keluarga dalam program pendidikan karakter.
  2. Secara berkala, sekolah menjalin komunikasi dengan orang tua dan pengasuh peserta didik, memberikan saran dan kegiatan yang memungkinkan mereka dapat menguatkan pengamalan nilai-nilai luhur, melakukan survei—secara formal atau informal—untuk mengetahui keefektifan pendidikan karakter di sekolah.
  3. Sekolah menggalang peran serta masyarakat luas.
Prinsip ke-11: Memantau Budaya dan Iklim Sekolah

Pendidikan karakter yang efektif harus selalu memantau kemajuan dan hasil yang dicapai, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Sekolah menggunakan beragam data penilaian (misal: skor tes akademik, focus groups, hasil survei) yang meliputi persepsi peserta didik, guru, dan orang tua. Sekolah melaporkan data tersebut dan memanfaatkannya untuk menentukan langkah-langkah selanjutnya. Sekolah melakukan survei pada awal pelaksanaan program lalu secara periodik melakukan survei lagi untuk memantau kemajuan yang dicapai.

Ada tiga hasil yang penting untuk dipantau. Pertama, sekolah memantau budaya dan iklim sekolah berkait dengan nilai-nilai luhur dengan cara menanyai para pemangku kepentingan sejauh mana warga sekolah mencerminkan pengamalan nilai-nilai luhur itu dan, dengan demikian, berperan sebagai masyarakat etik. Sebagai contoh, sekolah bisa mengadakan survei iklim dengan menanyai peserta didik apakah mereka setuju dengan pernyataan semisal “Para peserta didik di sekolah (kelas) ini saling hormat dan peduli.”

Kedua, Sekolah memantau kemajuan staf sebagai pendidik karakter dengan menguji sejauh mana mereka mampu menjadi model pengamalan nilai-nilai luhur dan memadukan nilai-nilai itu ke dalam pembelajaran dan interaksi mereka dengan peserta didik. Sekolah meminta guru untuk merefleksi pengalaman mereka melaksanakan pendidikan karakter, menyurvei para peserta didik tentang persepsi mereka terhadap guru sebagai model, dan memiliki prosedur administratif baku untuk memonitor perilaku guru.

Ketiga, Sekolah memantau karakter peserta didik dengan menguji sejauh mana mereka memahami, berkomitmen, dan mengamalkan nilai-nilai luhur. Sekolah dapat mengumpulkan data tentang berbagai perilaku yang berkait dengan karakter (misal: kehadiran, membolos, vandalisme, penyalahgunaan obat, menyontek). Sekolah yang efektif mesti menghimpun data tentang hasil perubahan sikap dan perilaku peserta didik dan melaporkannya kepada orang tua sebagaimana mereka membuat laporan kemajuan akademik (misal: buku rapor, pertemuan guru-orang tua).

Berikut adalah implementasi prinsip ke-11.

  1. Sekolah merumuskan tujuan dan secara berkala menilai (kualitatif dan kuantitatif) budaya, iklim, dan fungsinya sebagai komunitas etis.
  2. Staf merefleksi dan melaporkan usaha mereka untuk mengimplementasikan pendidikan karakter, demikian juga peran mereka sebagai pendidik karakter.
  3. Sekolah memantau kemajuan yang dicapai peserta didik dalam mengembangkan pemahaman dan komitmen terhadap karakter mulia dan sejauh mana mereka mengamalkan nilai-nilai luhur.

11 Nov 2013

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 2)

(sambungan dari Bagian 1)

Prinsip ke-4: Membangun Komunitas Peduli

Sekolah yang berkomitmen pada karakter mesti berjuang untuk menjadi miniatur masyarakat madani, yang peduli dan adil. Ini dilakukan dengan menciptakan komunitas yang mendorong seluruh warganya membangun hubungan yang saling menghormati, yang kelak akan membentuk jalinan saling peduli dan bertanggung jawab. Ini mencakup kepedulian antara peserta didik dan staf, antarpeserta didik, antarstaf, dan antara staf dan keluarga peserta didik. Hubungan saling peduli ini akan memupuk minat belajar maupun hasrat untuk menjadi pribadi luhur. 

Semua anak dan kaum muda membutuhkan rasa aman, rasa memiliki dan dimiliki, serta pengalaman berkontribusi, dan mereka lebih mudah menghayati nilai-nilai dan harapan-harapan kelompok yang memenuhi kebutuhan tersebut. Demikian halnya, jika staf dan keluarga peserta didik saling hormat, adil, dan kooperatif dalam pergaulan satu dengan yang lain, mereka lebih mudah dalam mengembangkan nilai-nilai itu pada pribadi peserta didik. Di dalam komunitas sekolah yang saling peduli, kegiatan sehari-hari di kelas maupun lingkungan sekolah yang lain (misal: koridor, kafetaria, lapangan olah raga, bis, ruang tunggu, dan kantor guru) akan diliputi iklim peduli dan hormat kepada sesama.

Implementasi prinsip ke-4 ini akan tercermin pada hal-hal berikut. 

  1. Sekolah memprioritaskan upaya menjalin ikatan saling peduli antara peserta didik dan staf.
  2. Sekolah memprioritaskan bantuan kepada peserta didik untuk membentuk jalinan saling peduli antarsesama.
  3. Sekolah mengambil langkah-langkah konkret untuk mencegah tindak kekerasan dan mengambil tindakan efektif jika terjadi kekerasan.
  4. Sekolah memprioritaskan upaya menjalin hubungan saling peduli antarwarga dewasa di sekolah.

Prinsip ke-5: Menyediakan Kesempatan bagi Peserta Didik untuk Mengaktualisasikan Moral

Seperti halnya pada ranah inteletual, pada ranah etik peserta didik adalah pembelajar konstruktif—cara belajar terbaik bagi mereka adalah melaui berbuat. Untuk membangun aspek pemahaman, penghayatan, dan pengamalan karakter, peserta didik membutuhkan kesempatan yang luas dan beragam untuk mengatasi tantangan kehidupan nyata (misal: bagaimana merencanakan dan melaksanakan tanggung jawab, bekerja sebagai bagian tim, bernegosiasi untuk memecahkan masalah secara damai, mengenali dan memecahkan dilema etik, serta mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan sekolah dan komunitas). 

Melalui pengalaman dan refleksi berulang-ulang, peserta didik akan mampu membangun apresiasi dan komitmen pada pengamalan nilai-nilai budi pekerti luhur. Ketika melayani sesama, sekolah mengikuti pedoman pembelajaran pengabdian (service learning) yang efektif dengan mempertimbangkan aspirasi dan pilihan peserta didik, mengintegrasikan pendidikan pengabdian ke dalam kurikulum, dan melakukan refleksi. Di samping pendidikan pengabdian, pengamalan moral dapat melibatkan pembelajaran resolusi konflik, pencegahan bully, integritas akademik, dan sportivitas.

Prinsip ke-5 menuntut implementasi sebagai berikut. 

  1. Sekolah menetapkan indikator-indikator secara jelas bagaimana peserta didik harus terlibat dalam aksi-aksi yang diharapkan mampu mengembangkan dan mencerminkan karakter mulia.
  2. Sekolah menyediakan beragam wahana bagi peserta didik untuk melibatkan diri dalam aksi-aksi positif dan bertanggung jawab di sekolah, dan peserta didik memanfaatkan wahana tersebut serta melakukan refleksi.
  3. Sekolah memberikan kesempatan beragam dan berulang-ulang kepada peserta didik untuk berkontribusi kepada komunitas yang lebih luas, dan peserta didik memanfaatkan dan merefleksi kesempatan-kesempatan tersebut.

Prinsip ke-6: Merancang Kurikulum Akademik yang Bermakna dan Menantang

Peserta didik datang ke sekolah dengan keterampilan, minat, latar belakang, dan kebutuhan belajar yang berbeda-beda. Maka, program akademik yang memungkinkan semua peserta didik meraih sukses adalah program yang isi dan pedagoginya mempertimbangkan semua peserta didik dan memenuhi kebutuhan individual mereka. Artinya, sekolah mesti menyajikan kurikulum yang secara inheren menarik dan bermakna bagi peserta didik dan mengajar dengan cara yang menghargai dan memperhatikan peserta didik sebagai individu. Pendidik karakter yang efektif mesti tampil sebagai model pribadi yang tangguh, bertanggung jawab, dan peduli dengan cara menerapkan metode mengajar yang beragam, menerapkan beragam strategi belajar-mengajar aktif, dan selalu mencari cara yang memungkinkan karakter berkembang selama kegiatan belajar-mengajar berlangsung sehari-hari. 

Bila guru mengedepankan dimensi karakter dalam pembelajaran mereka, mereka akan membangun relevansi antara mata pelajaran dan cakupan materinya dengan minat dan keingintahuan peserta didik, dan dalam proses pembelajaran memacu partisipasi dan prestasi peserta didik. Bila guru mampu tampil sebagai model pribadi prima dan etis serta mengembangkan keterampilan sosial-emosi (misal: kesadaran diri dan manajemen diri, serta pengambilan keputusan etik), peserta didik akam mampu mengikuti kurikulum jauh lebih fokus. Bila guru mengembangkan nilai-nilai moral dan performa (misal: integritas akademik, kerakusan intelektual, kemampuan berpikir kritis, dan ketekunan), peserta didik akan jauh lebih mudah untuk melakukan yang terbaik dan menjadi lebih mandiri, kompeten, dan percaya diri.

Implementasi prinsip ke-6 tampak dalam hal-hal berikut.

  1. Kurikulum akademik menyediakan tantangan yang bermakna dan cocok untuk semua peserta didik.
  2. Staf sekolah mengenali, memahami, dan mengakomodasi perbedaan minat, kultur, dan kebutuhan belajar semua peserta didik.
  3. Guru mengupayakan perkembangan etos kerja peserta didik yang menopang kemajuan intelektual, performa akademik, dan kemampuan untuk bekerja secara mandiri maupun kerja sama.

Prinsip ke-7: Menumbuhkan Motivasi-Diri Peserta Didik

Karakter berarti melakukan hal yang benar dan melakukan yang terbaik meskipun tidak seorang pun melihatnya. Alasan utama untuk mengikuti peraturan, misalnya, adalah demi menghormati hak dan kepentingan orang lain—bukan karena takut hukuman ataupun mengharapkan imbalan. Kita mendambakan peserta didik untuk berperilaku baik kepada orang lain karena keyakinannya bahwa kebajikan itu mulia dan hasratnya untuk menjadi pribadi mulia. Kita ingin mereka menunaikan tugasnya sebagus mungkin—tugas yang mengaplikasikan dan kelak mengembangkan kemampuan terbaiknya—karena mereka bangga dengan pekerjaan yang bermutu, bukan sekadar karena mereka mengharapkan nilai bagus.

Membangun motivasi-diri adalah proses perkembangan yang harus diperhatikan dalam pendidikan karakter, agar tidak terjebak pada penekanan imbalan dari luar. Imbalan yang terpaku pada hadiah dan modifikasi tingkah laku bersifat sangat terbatas. Pendidikan karakter berupaya agar peserta didik membangun pemahaman atas peraturan, membangun kesadaran atas bagaimana pengaruh perilaku mereka terhadap orang lain, dan membangun kekuatan karakter—misal: keterampilan mengendalikan diri, mengambil perspektif, dan menyelesaikan konflik—yang diperlukan untuk betindak secara bertanggung jawab di kemudian hari. Daripada hidup dalam kepatuhan, sekolah lebih baik membantu peserta didik untuk dapat memetik hikmah dari kesalahan-kesalahan mereka melalui penyediaan kesempatan untuk melakukan refleksi, memecahkan masalah, dan merenungkan kilas balik pengalaman masa lalunya.

Konsekuensi yang diterapkan harus relevan (nyambung dengan peraturan dan pelanggarannya), terhormat (tidak merendahkan atau menistakan), wajar (tidak kasar atau keterlaluan), restoratif (dalam rangka memperbarui atau memperbaiki hubungan melalui perenungan kilas balik), memberdayakan (membantu peserta didik membangun kualitas karakter, misal: empati, keterampilan sosial, dan motivasi untuk berperilaku benar—yang tidak diamalkan ketika terjadi masalah perilaku). Staf secara rutin mengelola isu-isu tingkah laku dengan cara-cara positif yang mendorong terjadinya refleksi berdasarkan nilai-nilai luhur, memberi peserta didik kesempatan untuk memperbaiki diri dan meraih kemajuan moral, dan menghargai peserta didik sebagai individu.

Implementasi prinsip ke-7 adalah sebagai berikut.

  1. Staf dan peserta didik menngakui dan merayakan manfaat dan keuntungan dari pengamalan karakter daripada sekadar menghadiahi peserta didik dengan pengakuan dan imbalan materi.
  2. Pendekatan sekolah terhadap perilaku peserta didik menggunakan seluruh aspek manajemen tingkah laku—mencakup penetapan peraturan dan pemberlakuannya—sebagai wahana untuk memupuk perkembangan karakter peserta didik, terutama pemahaman dan komitmen mereka terhadap nilai-nilai luhur.


(bersambung ke Bagian 3)

Populer