Namanya saja sudah tidak begitu jelas: PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN. Kalaupun tidak membingungkan, setidaknya nama ini berkesan terlalu umum.
Beberapa hari yang lalu sekolah kami melepas delapan orang "guru purna tugas". Semuanya masih muda, sangat muda, bahkan. Masa tugas mereka pun baru sebentar, sekitar tiga bulan potong libur Lebaran. Ya, mereka adalah para calon guru yang baru saja usai menjalani masa PPL. Ekspresi kegembiraan sangat kentara menghiasi wajah mereka. Entah, perasaan apa yang menjadi pencetusnya: puas karena berhasil mengantongi segudang pengalaman yang cukup sebagai bekal untuk menjalani profesi masa depan, optimis akan menyandang profesi yang menjanjikan penghasilan rangkap (gaji + tunjangan profesi), atau sekadar lega karena segera bebas dari tekanan tugas-tugas perploncoan sebagai praktikan?
Sayang, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Sebelum acara pamitan selesai, "musibah" segera menimpa mereka. Itu gara-gara kepala sekolah kami berhalangan hadir di "upacara wisuda" mereka. Ya, siang itu beliau sakit dan hanya bisa menghabiskan waktu dengan berbaring di dipan UKS. Bukan sakit beliau yang menjadi musibah bagi mereka. Namun, lantaran kepala sekolah sakit itu, sambutan diwakilkan kepada asisten yang -- maaf -- tidak pati waras. Pidato sambutan asisten inilah yang kelak meruntuhkan bangunan kebahagiaan mereka yang memang rapuh.