22 Sep 2012

Guruku Luar Biasa!

Giritontro, 22 Agustus 2012

Dua puluh enam tahun sudah, kami berpisah. Hari itu kami kumpul-kumpul bareng teman-teman seangkatan SMP. Meriah, ... itu pasti! Setiap ada teman baru datang, saling bertanya, “Sinten, nggih?” Rupanya, 26 tahun itu waktu yang cukup untuk membuat kami saling pangling.

Di balik keriuhan suasana reuni, terselip sejumlah pelajaran kemanusiaan. Semuanya saya bawa pulang dan dengan bangga saya sajikan sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman. Kini, saatnya saya bagikan oleh-oleh itu di sini. Siapa pun, yang menaruh apresiasi pada nilai kemanusiaan, boleh ambil.

Egaliter

Semua alumni yang hadir memakai kaus seragam. Kepada mereka yang terjangkau, kaus diantar sebelum hari-H. Datang ke acara, kami sudah mengenakan kaus itu. Yang tidak terjangkau, begitu datang segera diberi kaus yang sama. Sebagian teman-teman putri yang berbusana muslimat tetap memakai kaus seragam sebagai penutup blus panjang mereka. Alhasil, tak ada kostum orang kaya atau orang kurang kaya. Yang tampak hanya satu kostum: alumni ‘86 SMP Negeri 1 Giritontro.

Tak Lupa Kulit

Lebih dari 50% alumni yang hadir tinggal di megalopolis: DKI dan sekitarnya. Anehnya, tak pernah terdengar percakapan—sepatah kata pun—dalam bahasa selain Jawa. Yang lebih heboh, MC memandu acara dengan bahasa Jawa ala pahargyan. Sampai-sampai Pak Wandi, guru bahasa Jawa kami, terharu ketika menyampaikan pidato sambutan ngiras pantes pamit untuk tindak haji.

Satu lagi yang membuat saya lingsem: seorang teman yang menetap di Karawang menyuguhkan grup “band”-nya, Kinjeng Mengeng. Itu grup campursari yang dibentuk, dikembangkan, dan dijadikan mata pencaharian di sekitar Ibu Kota!

“Matur nuwun, ya, Pak. Nuwun sewu, gaweanku ya mung ngamen ngene iki,” celetuknya kepada saya.

Sejurus kemudian ia masuk ruang kemudi Vitara-nya, sementara saya pun ngeslag WinAir-100 saya sambil mengacungkan jempol kiri kepadanya.

Sambatan

Sekitar dua bulan sebelum acara diselenggarakan, saya mendapat kiriman proposal kegiatan lewat email. Terdorong rasa penasaran, pointer langsung saya ajak menjelajah ke bagian anggaran. Saya temukan hanya anggaran belanja. Anggaran pendapatannya mana? Tak ada! Betul-betul tidak ada! Hanya dicantumkan prosedur partisipasi. Saya pun mencoba kalkulasi sekenanya: total kebutuhan belanja dibagi estimasi jumlah peserta.

Sampai di tempat acara, sepi! Tidak ada pembagian slip tagihan, tidak pula beredar list biaya gotong royong. Yang ada hanya pembagian kaus, mug, dan DVD campursari Kinjeng Mengeng. Di salah satu ruang kelas almamater kami, sudah tersaji aneka jajanan dan menu makan siang. Semuanya ala desa, yang dulu menjadi menu andalan kami untuk mengganjal perut pada jam istirahat. Karuan saja, langsung kami sikat ludes menu ngangeni itu! Di sela-sela serangkaian pidato sambutan, kami dipanggil bergiliran untuk menerima bingkisan cabutan. Doorprize, kata orang kota.

Kerja Hati

Sebelumnya, tak terlintas di benak saya untuk tersambung dengan teman-teman yang terberai selama 26 tahun itu. Tiba-tiba sore itu ada panggilan dari nomor tak tercatat masuk ke ponsel jadul saya.

“Iki aku Bejo, Mas. Kanca SMP,” ujar si penelepon setelah menjawab salam saya.

"Bejo???" gumam saya  dalam hati. Belum terbayang, teman yang mana dan seperti apa rupa fisiknya si Bejo itu. Bahkan, sampai ia mendeskripsikan postur tubuhnya, desa kampung halamannya, moda transportasinya ketika berangkat dan pulang sekolah dulu, pun saya belum berhasil menghadirkan sosok Bejo di ingatan saya. (Saya memang tergolong bebal untuk mengingat-ingat orang dan namanya.)

Ternyata, ia telah melewati perjuangan panjang untuk menemukan juntrung saya. Seorang teman lain yang tinggal di Tangerang minta ia melacak persembunyian saya. Teman itu mengetahui tempat kerja saya dari seorang ayah mantan murid saya. Berbekal informasi tentang nama sekolah tempat saya mengajar itulah, Bejo menghubungi 108 untuk mendapatkan nomor telepon kantor saya. Berhasil menghubungi kantor, lalu ia minta nomor kontak saya. Jadilah kami tersambung sore itu.

Guru Ber-HATI

Delapan orang guru kami dan seorang pegawai tata usaha (4 di antara mereka sudah pensiun) turut hadir di reuni itu. Guru pangling kepada bekas muridnya, itu lumrah. Di antara mereka ada yang sekadar menerima jabat tangan kami tanpa peduli identitas kami satu per satu. Ada juga yang hangat dan akrab membaur dan ngobrol bersama kami. Ada juga yang setiap bersalaman tidak lupa menanyakan nama bekas murid yang menjabat tangannya.

“O, ya, nek iki aku eling. Cah ndesa otak kota,” komentar Pak Gik ketika saya sebut nama saya sambil menjabat dan mencium tangan beliau. Saya bangga, tentu!

Keluar ruang, saya dapati seorang guru lain duduk tenang di samping pintu. Seorang teman ngobrol akrab dengan beliau. Saya coba mengingat-ingat. Tidak juga terlintas di ingatan saya, siapa beliau.

“Nuwun sewu, Bapak sinten, nggih?” tanya saya kepada beliau.

Teman yang sudah lebih dulu ngobrol bersama beliau hanya cengar-cengir menyaksikan tingkah saya.

Bukannya menjawab, yang saya tanya malah menebak, “Mas Teguh, ta? Daleme Nokerto? Madhep ngalor? Saiki ngasta neng Semarang?”

Mati aku!!! Guru yang terakhir saya jumpai inilah yang membuat mata hati saya terbelalak. Beliau tidak ngalembana saya. Tak sepatah kata pun keluar sebagai ekspresi kenangan beliau tentang saya. Tapi ... sungguh ajaib! Beliau tahu nama dusun saya, posisi rumah (orang tua) saya, dan domisili saya sekarang. Padahal, ketika saya menjadi murid beliau, sekali pun belum pernah beliau menyambangi rumah kami. Setelah lulus SMP pun saya tidak pernah bertemu beliau hingga hari reuni itu. Padahal lagi, beliau hanya setahun mengajar saya, mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 1.

Kok bisa begitu beliau? Rupanya, ini kuncinya: beliau guru ber-HATI. Per-HATI-an kepada muridnya itulah yang menggerakkan kemauan beliau untuk melacak dan meng-update informasi tentang bekas muridnya. Dan saya pun makin sadar, PERHATIAN jauh lebih bermakna daripada pujian!

Salam hormat saya untuk Pak Puji. Ya, Pak Pujiyono, priyayi Kulon Progo, yang 26 tahun silam masih bujang. Keriput di wajah dan lenyapnya kekekaran tubuh beliau datang seiring dengan kawicaksanan yang makin matang.

Terima kasih, reuni, yang telah mempertemukan saya dengan guru-guru luar biasa—sekalipun mengajar di sekolah bukan luar biasa. Berkat guru-guru luar biasa, teman-teman yang dulu biasa-biasa saja berhasil tumbuh menjadi generasi luar biasa. Kiranya tak salah jika saya mesti berguru kepada mereka semua. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer