Giritontro, 22 Agustus 2012
Di balik keriuhan suasana reuni, terselip sejumlah pelajaran
kemanusiaan. Semuanya saya bawa pulang dan dengan bangga saya sajikan sebagai
oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman. Kini, saatnya saya bagikan oleh-oleh
itu di sini. Siapa pun, yang menaruh apresiasi pada nilai kemanusiaan, boleh
ambil.
Egaliter
Semua alumni yang hadir memakai kaus seragam. Kepada mereka
yang terjangkau, kaus diantar sebelum hari-H. Datang ke acara, kami sudah
mengenakan kaus itu. Yang tidak terjangkau, begitu datang segera diberi kaus
yang sama. Sebagian teman-teman putri yang berbusana muslimat tetap memakai kaus
seragam sebagai penutup blus panjang mereka. Alhasil, tak ada kostum orang kaya
atau orang kurang kaya. Yang tampak hanya satu kostum: alumni ‘86 SMP Negeri 1
Giritontro.
Tak Lupa Kulit
Lebih dari 50% alumni yang hadir tinggal di megalopolis: DKI
dan sekitarnya. Anehnya, tak pernah terdengar percakapan—sepatah kata pun—dalam
bahasa selain Jawa. Yang lebih heboh, MC memandu acara dengan bahasa Jawa ala pahargyan.
Sampai-sampai Pak Wandi, guru bahasa Jawa kami, terharu ketika menyampaikan
pidato sambutan ngiras pantes pamit untuk tindak haji.
Satu lagi yang membuat saya lingsem: seorang teman yang menetap
di Karawang menyuguhkan grup “band”-nya, Kinjeng Mengeng. Itu
grup campursari yang dibentuk, dikembangkan, dan dijadikan mata
pencaharian di sekitar Ibu Kota!
“Matur nuwun, ya, Pak. Nuwun sewu, gaweanku ya mung
ngamen ngene iki,” celetuknya kepada saya.
Sejurus kemudian ia masuk ruang kemudi Vitara-nya,
sementara saya pun ngeslag WinAir-100 saya sambil mengacungkan
jempol kiri kepadanya.
Sambatan
Sekitar dua bulan sebelum acara diselenggarakan, saya
mendapat kiriman proposal kegiatan lewat email. Terdorong rasa penasaran, pointer
langsung saya ajak menjelajah ke bagian anggaran. Saya temukan hanya anggaran
belanja. Anggaran pendapatannya mana? Tak ada! Betul-betul tidak ada! Hanya
dicantumkan prosedur partisipasi. Saya pun mencoba kalkulasi sekenanya: total
kebutuhan belanja dibagi estimasi jumlah peserta.
Sampai di tempat acara, sepi! Tidak ada pembagian slip
tagihan, tidak pula beredar list biaya gotong royong. Yang ada hanya
pembagian kaus, mug, dan DVD campursari Kinjeng Mengeng. Di salah satu
ruang kelas almamater kami, sudah tersaji aneka jajanan dan menu makan siang. Semuanya
ala desa, yang dulu menjadi menu andalan kami untuk mengganjal perut pada jam
istirahat. Karuan saja, langsung kami sikat ludes menu ngangeni itu! Di
sela-sela serangkaian pidato sambutan, kami dipanggil bergiliran untuk menerima
bingkisan cabutan. Doorprize, kata orang kota.
Kerja Hati
Sebelumnya, tak terlintas di benak saya untuk tersambung
dengan teman-teman yang terberai selama 26 tahun itu. Tiba-tiba sore itu ada
panggilan dari nomor tak tercatat masuk ke ponsel jadul saya.
“Iki aku Bejo, Mas. Kanca SMP,” ujar si penelepon
setelah menjawab salam saya.
"Bejo???" gumam saya dalam hati. Belum terbayang, teman yang mana
dan seperti apa rupa fisiknya si Bejo itu. Bahkan, sampai ia mendeskripsikan
postur tubuhnya, desa kampung halamannya, moda transportasinya ketika berangkat
dan pulang sekolah dulu, pun saya belum berhasil menghadirkan sosok Bejo di
ingatan saya. (Saya memang tergolong bebal untuk mengingat-ingat orang dan
namanya.)
Ternyata, ia telah melewati perjuangan panjang untuk
menemukan juntrung saya. Seorang teman lain yang tinggal di Tangerang minta ia
melacak persembunyian saya. Teman itu mengetahui tempat kerja saya dari seorang
ayah mantan murid saya. Berbekal informasi tentang nama sekolah tempat saya
mengajar itulah, Bejo menghubungi 108 untuk mendapatkan nomor telepon kantor
saya. Berhasil menghubungi kantor, lalu ia minta nomor kontak saya. Jadilah
kami tersambung sore itu.
Guru Ber-HATI
Delapan orang guru kami dan seorang pegawai tata usaha (4 di
antara mereka sudah pensiun) turut hadir di reuni itu. Guru pangling kepada
bekas muridnya, itu lumrah. Di antara mereka ada yang sekadar menerima jabat
tangan kami tanpa peduli identitas kami satu per satu. Ada juga yang hangat dan
akrab membaur dan ngobrol bersama kami. Ada juga yang setiap bersalaman
tidak lupa menanyakan nama bekas murid yang menjabat tangannya.
“O, ya, nek iki aku eling. Cah ndesa otak kota,”
komentar Pak Gik ketika saya sebut nama saya sambil menjabat dan mencium tangan
beliau. Saya bangga, tentu!
Keluar ruang, saya dapati seorang guru lain duduk tenang di
samping pintu. Seorang teman ngobrol akrab dengan beliau. Saya coba
mengingat-ingat. Tidak juga terlintas di ingatan saya, siapa beliau.
“Nuwun sewu, Bapak sinten, nggih?” tanya saya kepada
beliau.
Teman yang sudah lebih dulu ngobrol bersama beliau
hanya cengar-cengir menyaksikan tingkah saya.
Bukannya menjawab, yang saya tanya malah menebak, “Mas
Teguh, ta? Daleme Nokerto? Madhep ngalor? Saiki ngasta neng Semarang?”
Mati aku!!! Guru yang terakhir saya jumpai inilah yang
membuat mata hati saya terbelalak. Beliau tidak ngalembana saya. Tak
sepatah kata pun keluar sebagai ekspresi kenangan beliau tentang saya. Tapi ...
sungguh ajaib! Beliau tahu nama dusun saya, posisi rumah (orang tua) saya, dan
domisili saya sekarang. Padahal, ketika saya menjadi murid beliau, sekali pun
belum pernah beliau menyambangi rumah kami. Setelah lulus SMP pun saya tidak
pernah bertemu beliau hingga hari reuni itu. Padahal lagi, beliau hanya setahun
mengajar saya, mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas 1.
Kok bisa begitu beliau? Rupanya, ini kuncinya: beliau guru
ber-HATI. Per-HATI-an kepada muridnya itulah yang menggerakkan kemauan beliau
untuk melacak dan meng-update informasi tentang bekas muridnya. Dan saya
pun makin sadar, PERHATIAN jauh lebih bermakna daripada pujian!
Salam hormat saya untuk Pak Puji. Ya, Pak Pujiyono, priyayi Kulon Progo, yang 26 tahun silam masih bujang. Keriput di wajah dan lenyapnya kekekaran tubuh beliau datang seiring dengan kawicaksanan yang makin matang.
Terima kasih, reuni, yang telah
mempertemukan saya dengan guru-guru luar biasa—sekalipun mengajar di sekolah
bukan luar biasa. Berkat guru-guru luar biasa, teman-teman yang dulu
biasa-biasa saja berhasil tumbuh menjadi generasi luar biasa. Kiranya tak salah
jika saya mesti berguru kepada mereka semua. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar