Ketika disebut sebagai hewan yang berpikir, tak ada manusia yang protes. Ketika dijuluki sebagai hewan yang berpolitik, tak ada manusia yang menggugat. Ketika dinobatkan sebagai hewan yang berestetika, tak ada manusia yang menolak. Ketika dianugerahi gelar sebagai hewan yang berbudaya, tak ada manusia yang berontak. Apalagi ketika digelari sebagai hewan yang beretika, tak ada manusia yang tidak menerimanya dengan bangga. Tetapi, bagaimana jika manusia dinominasikan sebagai penyandang predikat sebagai hewan yang paling liar?
Kawanan singa hidup di hutan belantara. Mereka digolongkan sebagai hewan liar. Itu wajar. Tidak ada yang berkeberatan. Ulat hidup di batang, daun, buah, atau biji tanaman. Tempat hidupnya sekaligus menjadi makanannya. Ulat dikategorikan sebagai hewan liar. Itu sah. Tidak ada yang membantah. Kawanan burung blekok bersarang di pepohonan. Mereka mencari makan di sawah, danau, empang, tambak, atau sungai. Mereka dikelompokkan sebagai hewan liar. Itu benar. Tidak ada yang menyangkal. Tetapi, jika tiba-tiba manusia diusulkan sebagai nominee penyandang gelar sebagai hewan liar, bahkan hewan yang paling liar, apa kata dunia?
***
Apa gerangan yang membuat singa, si raja hutan, kalah liar dibanding manusia? Melalui film-film dokumenter yang ditayangkan di televisi, kita bisa mengamati perilaku singa.
Tiga, empat, atau lima ekor singa mengendap-endap di balik semak belukar atau bongkah batu besar. Bola mata mereka berputar-putar memindai ratusan rusa yang tengah merumput dengan tenang. Tiba-tiba salah satu singa pengintai keluar dan menyergap seekor rusa di barisan paling tepi. Serta-merta ratusan rusa yang lain lari tunggang langgang meninggalkan arena. Mereka pun bebas dari serangan singa. Tidak satu pun singa-singa itu mengejar mereka.
Satu rusa sudah tertangkap. Dalam sekejap tubuhnya segera menjelma menjadi hidangan pesta. Daging segarnya disantap beramai-ramai. Empat-lima singa makan bersama. Satu per satu singa-singa itu meninggalkan tempat pesta. Mereka kembali bersembunyi di peraduan. Hanya serpihan bangkai rusa yang berserak di sekitar tempat pesta yang menandakan bahwa di situ telah terjadi pembunuhan. Suasana lengang berlanjut hingga hari berganti ketika ratusan rusa kembali merumput, seolah tak ada cekaman rasa takut.
Singa memang buas dan ganas. Jangankan rusa, yang hanya mengandalkan kecepatan berlari. Banteng, yang berpostur besar dan perkasa, pun tidak berkutik menghadapi keganasannya. Namun, di balik keganasannya, singa menunjukkan watak disiplin tinggi. Ketika sudah berhasil melumpuhkan satu mangsa, singa-singa membiarkan kawan-kawan mangsanya bebas melanjutkan aktivitas. Tidak ada aji mumpung. Tidak ada inisiatif untuk menimbun cadangan pangan mumpung stok lagi banyak. Juga tidak ada nafsu untuk memperpanjang masa pesta setelah rasa lapar terobati.
Itulah yang membuat singa kalah liar daripada manusia. Singa membunuh mangsanya semata-mata untuk bertahan hidup. Raja rimba itu berburu rezeki sekadar untuk mengusir rasa lapar. Begitu kebutuhan ini terpenuhi, perburuan segera dihentikan dan pembunuhan pun berakhir.
Bandingkan dengan tabiat manusia! Pernahkah manusia berpikir untuk berhenti berburu rezeki dan membantai mangsa? Ketika hartanya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mewah hingga tujuh turunan pun, manusia justru makin keranjingan berburu kekayaan. Ketika telah berhasil membantai mangsanya, manusia justru makin ketagihan untuk menaklukkan lebih banyak korban. Mengapa demikian? Karena di balik perburuan dan pembantaian yang dilakukan oleh manusia itu tersembunyi motif yang tidak dimiliki bangsa hewan. Motif itu adalah self esteem, harga diri! Manusia jungkir balik melakukan “perburuan” bukan sekadar demi bertahan hidup, melainkan untuk mempertahankan atau menaikkan harga diri. Manusia saling “membantai” bukan demi perut kenyang belaka, melainkan untuk mengejar pengakuan atas harga dirinya.
Siapa yang lebih liar: singa atau manusia?
Selain liar, ulat juga terkenal rakus. Seluruh waktunya dihabiskan untuk makan. Lalu, apa gerangan yang membuat ulat juga kalah liar dibanding manusia?
Memang, selama fase larva, ulat menjalani hidupnya hanya dengan dua aktivitas: makan dan berak. Namun, aktivitas makan terus-menerus itu dilakukannya sekadar untuk memenuhi kebutuhan sumber energi yang dibutuhkannya pada fase berikutnya. Kelak, setelah tercapai angka yang dibutuhkan, tanpa disuruh, dengan sukarela ulat berhenti makan. Aktivitas berak pun berhenti, pertanda bahwa yang tersimpan di dalam tubuhnya tinggal sari-sari gizi. Lambat laun tubuhnya berubah bentuk menjadi kepompong. Pada fase inilah, cadangan energi itu sangat dibutuhkan untuk mengantarkan kepompong berkembang menjadi kupu-kupu sempurna.
Bandingkan dengan karakter manusia! Pernahkah terbersit dalam pikiran manusia untuk suatu saat berhenti makan? Berhenti mengeksploitasi alam? Berhenti mengganggu keseimbangan lingkungan? Berhenti mengejar keuntungan pribadi? Mengapa manusia tidak berani mengakhiri itu semua? Jawabannya sama: karena ada motif self esteem.
Siapa yang lebih rakus: ulat atau manusia?
Masih ada pelajaran yang lebih berharga dari perilaku ulat. Sepanjang sejarah kehidupan di muka bumi, belum pernah terekam ulat melakukan aktivitas reproduksi. Demikian sabarnya serangga menjijikkan itu! Untuk melakukan aktivitas reproduksi, mereka mesti menunggu masa dewasa, setelah menjadi kupu-kupu. Bandingkan dengan manusia! Berapa tinggi frekuensi kasus aborsi di negara kita—atau di kota kita saja—yang terjadi akibat hubungan seks di luar masa yang diharapkan? Berapa sering kasus penemuan bayi di kamar mandi sekolah, yang dibuang oleh ibunya yang masih berseragam putih-abu-abu?
Siapa yang lebih liar: ulat atau manusia?
Blekok—termasuk yang tinggal di kawasan BR Srondol, Semarang—memang liar, tidak ada orang yang memelihara. Setiap pagi mereka berbondong-bondong terbang sejauh belasan, puluhan, atau bahkan mungkin hingga ratusan kilometer. Untuk apa? Mencari makan! Ada kalanya burung-burung itu menangkap ikan atau katak yang hidup bebas di sawah, sungai, rawa, atau danau. Tetapi tidak jarang pula mereka mencuri ikan piaraan di kolam, tambak, empang, atau karamba. Burung-burung itu mencuri? Ya, tapi lihatlah, mereka mencuri ikan sekadar untuk mengganjal perut mereka yang kosong. Kalaupun mereka membawa ikan pulang ke sarang, itu semata-mata demi menyambung nyawa anak-anak mereka yang belum mampu terbang jauh.
Bandingkan dengan watak manusia! Pelaku pencurian kayu di hutan bukanlah orang-orang yang terancam mati kelaparan. Pencurian pajak tidak dilakukan oleh orang-orang yang menderita gizi buruk. Pencurian anggaran negara dan daerah sama sekali tidak melibatkan orang-orang yang hidup di bawah ambang batas kemiskinan.
Siapa yang lebih curang: blekok atau manusia?
Ada lagi pelajaran sangat berharga dari perilaku blekok. Betapa pun jauhnya blekok terbang meninggalkan sarang untuk mencari makan, sebelum matahari terbenam mereka pasti sudah kembali ke sarangnya. Biarpun hanya sarang sederhana, mereka setia pulang ke sana, menjumpai keluarganya untuk bercengkerama dan berbagi cerita. Ikan berlimpah nun jauh di seberang tidak membuat mereka lupa dengan rumahnya. Pepohonan yang lebih rindang di tepi rawa nun jauh di seberang tidak membuat mereka tergoda untuk membangun sarang baru dan meninggalkan sarang lama.
Bandingkan dengan adat manusia! Baru terima gaji ke-13 saja sudah ribut mencari alasan untuk pulang terlambat. Baru bisa membeli mobil second saja sudah mondar-mandir mencari penginapan yang dekat kantor, daripada harus pulang. Baru mendapat vakasi lembur akhir tahun saja sudah sibuk survei vila yang cocok untuk menyimpan simpanan baru, tak peduli atap rumah tinggal keluarganya bocor di sana-sini.
Siapa yang lebih liar: burung blekok atau manusia?
Inilah inti perbedaan antara manusia dan hewan: manusia diberi keleluasaan untuk memilih, sementara hewan hanya bisa mengikuti naluri kehidupan yang diilhamkan kepadanya.
“Demi jiwa dan penyempurnaan ciptaannya; kemudian diilhamkan kepadanya jalan lacur dan jalan takwa. Niscaya bahagialah orang yang menyucikan jiwanya; dan niscaya celakalah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams 91: 7 – 10)
Hewan liar bertindak semata-mata mengikuti dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhannya. Setiap aktivitasnya sesuai dengan takaran yang ditentukan oleh Sang Khalik. Ini berbeda dari manusia. Makhluk paling sempurna ini punya kehendak bebas untuk memilih dan menentukan aktivitas hidupnya. Dengan anugerah kehendak bebas (free will) itu, manusia sering mengabaikan takaran kebutuhannya. Pilihan tindakannya justru lebih sering mengikuti dorongan nafsu lacurnya. Jika dibiarkan berlanjut tanpa rem, kecenderungan ini akan bermuara pada watak destruktif dan koruptif. Bukankah itu persis seperti yang dicemaskan para malaikat menjelang pemberian mandat sebagai khalifah bumi kepada manusia?
Dengan free will, manusia bisa mencapai derajat mulia hingga bangsa malaikat pun takzim. Namun, dengan free will itu pula, manusia bisa terpuruk hingga ke dasar lembah kehinaan, lebih hina daripada hewan.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka) jahannam kebanyakan dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah); mereka mempunyai mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk mengamati (tanda-tanda kekuasaan Allah); dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk menyimak (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (QS Al-A`raf 7: 179)
Syariat puasa dihadirkan sebagai tirakat terapeutik untuk mengoreksi arah kemudi nafsu manusia. Sejak terbit fajar menjelang pagi hingga tenggelam matahari menyambut malam, pelaku puasa rela menahan nafsu konsumtif, sekalipun terhadap makanan-minuman yang jelas-jelas halal. Dalam rentang waktu sehari itu juga, pelaku puasa berani menahan nafsu eksploitatif, sekalipun antara suami-istri yang jelas-jelas sah menurut hukum Tuhan dan hukum manusia.
Kesungguhan puasa dapat dideteksi dari dampak terapeutiknya terhadap perilaku pelakunya pascapuasa. Selamat menikmati perjuangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar