16 Apr 2012

Untung, Sempat Nyicil!

Ketika kecil dulu, aku sering dikudang oleh Simbok (panggilan untuk ibu dalam tradisi keluarga kami). Kudangan beliau tidak berbeda jauh dari impian kebanyakan masyarakat petani tradisional desa: mbesuk gedhe dadi dhokter.

Aku berani memastikan, kala itu Simbok tidak memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung untuk mengantarkan anaknya mewujudkan kudangan tersebut. Seandainya sempat berpikir tentang hal itu, pasti beliau tidak bakal berani mengungkapkan kudangan sembrono begitu. Kelak aku pun sempat protes karena ternyata beliau tidak wani nggetih untuk mewujudkan kudangannya sendiri. Sebagai pelampiasan kekecewaan itu, kuabadikan cita-cita besar beliau dalam corak tulisan tanganku. Ya, tulisan tanganku mirip tulisan dokter di resep obat.

Baru setelah jadi orang (bukan anak-anak lagi, maksudku), aku memahami maksud kudangan Simbok, yang kini sudah berusia senja. Kudangan itu setidaknya berguna sebagai pelecut agar aku tumbuh bersama impian besar. Dan ... benar-benar gairahku terpantik oleh kekudangan itu. Anganku sering melambung tak terkendali.

Ada janji tersimpan rapi di balik khayalanku. Kalau sudah besar kelak, aku akan membahagiakan Simbok dan Bapak. Dengan berprofesi sebagai dokter, pasti tidak begitu sulit untuk memanjakan kedua orang tua. Apalagi, hanya kemanjaan ala orang-orang desa. Rumah berdinding gedek hadiah Simbah akan segera kusulap menjadi loji termegah di kampung kami, melebihi kemegahan rumah Pak Lurah. Mobil priyayi nyaris tanpa bunyi akan setia membawa Simbok dan Bapak ke pasar untuk membeli pakaian dan perhiasan paling cantik. Keesokan harinya, kendaraan yang tak terbeli oleh harga seluruh ternak milik para tetangga sekampung itu kembali mengantarkan mereka ke pesta pernikahan kerabat di kampung sebelah. Bapak dan Simbok akan segera pensiun sebagai petani gurem, yang setiap musim tanam tiba selalu tercekik utang benih segala macam tanaman dan pupuk yang ditawarkan secara paksa oleh rentenir berlabel KUD.

Imajinasiku tumbuh seliar itu bukan tanpa alasan. Rekam jejak hasil belajarku di sekolah kiranya cukup untuk bekal bermimpi jadi dokter. Kalau toh gagal jadi dokter seperti kudangan Simbok, aku layak untuk mengejar cita-citaku sendiri: insinyur. Itu juga profesi yang cukup potensial untuk membahagiakan orang tua kelak. Namun, selepas SMP aku mesti mengubur dalam-dalam mimpiku untuk memilih salah satu dari dua profesi itu. Sekolah yang dipilihkan untukku tidak memungkinkan mengantarku ke gerbang sekolah dokter ataupun insinyur. Akhirnya, aku pun harus mencari akal untuk mengabadikan cita-citaku. Singkatan gelar insinyur kuabadikan dalam tanda tanganku.

Kendati sudah kehilangan dua alternatif mimpi, aku tak patah arang. Masih menggebu hasratku untuk dapat membuat kedua orang tuaku tersenyum dengan baktiku kelak. Pokoknya, tiada rotan, akar pun jadi. Yang penting, aku harus mengurangi—kalau tidak bisa menghilangkan—kepayahan Simbok dan Bapak seperti yang bertahun-tahun kusaksikan.

***

Untung, janjiku itu hanya kusimpan di benakku sendiri. Tak seorang pun pernah mendengarnya, termasuk telingaku sendiri. Belum lagi lulus sekolah, aku sudah kecantol seorang bidadari (eh, bidadari itu orang atau bukan, ya?). Menghidupi diri sendiri saja belum cukup, aku nekat menantang tanggung jawab untuk memikul kebutuhan anak orang. Utang untuk biaya maskawin saja belum lunas, aku sudah keburu punya anak.

Alih-alih merenovasi rumah tinggal orang tua, untuk mengangsur ongkos kontrak rumah saja aku justru harus mengiris beberapa petak ladang mereka. Jangankan menyediakan "mobil dinas" untuk mereka, untuk membayar uang muka sepeda motor saja aku malah tak sungkan-sungkan menuntun anak sapi mereka ke pasar.

Ketika anakku berumur dua tahun lebih dua bulan, Bapak meninggal. Aku di-tilap-kan. Beliau sakit beberapa hari, aku tidak mendengar kabarnya. Beliau sudah membujur kaku tanpa napas, aku gagal dilacak. Sampai jasadnya dikubur rapat-rapat di perut bumi, aku belum nongol di antara kerumunan pelayat. Jauh di luar dugaan, sejumlah tetanggaku berhasil mengendus persembunyianku. Tak mau membuang-buang waktu, mereka membawaku meluncur ke rumah orang tuaku.

Sekitar empat jam kami menempuh perjalanan dari tempat persembunyianku ke kampung halamanku yang sudah 12 tahun kutinggalkan. Sampai di desa kelahiranku, aku melihat sebuah payung baru tertancap di tanah makam. "Itu pasti kuburan Bapak." Kucoba menyembunyikan air mata duka. Kutahan untuk tak ada isak tangis. Sampai di rumah, yang kudapati tinggal suasana lengang. Simbok, kelima saudaraku, ipar-iparku, keponakan-keponakan, serta beberapa paman dan bibiku menyambut kehadiranku yang terlampau terlambat.

Inikah kutukan yang pas untuk anak senista aku? Jangankan turut memandikan dan mengafani, untuk ikut menyalati jenazah Bapak saja aku tak kebagian kesempatan!

Ketika malam telah larut, ketika orang-orang yang kecapekan mulai terlelap tidur, ketika suara dengkuran mulai terdengar bersahut-sahutan, baru aku membiarkan air mataku meleleh keluar. Kucoba untuk berdoa. Kucoba melafalkan doa yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.

"Wahai, Tuhan, ampunilah aku; 
ampuni juga kedua orang tuaku; 
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."

Tiba-tiba bibirku mengatup rapat. Lidahku kelu. Bagaimana aku berani memohon agar Tuhan menyayangi kedua orang tuaku? Bukankah Dia sudah terlampau banyak mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka? Bukankah Tuhan tak pernah menghentikan aliran rahmat-Nya seumur hidup mereka? Bukankah Tuhan tak pernah mencabut kembali kasih sayang-Nya yang pernah dilimpahkan kepada mereka?

Demi mendengar permohonanku, seolah-olah Tuhan menamparku dengan jawaban sarkastik, "Tidak malukah kau memintakan kasih sayang-Ku untuk kedua orang tuamu? Tidak tampakkah olehmu aliran kasih sayang-Ku kepada mereka yang tak pernah putus selama ini? Bukankah kau yang semestinya membalas kasih sayang mereka? Bukankah mereka mencurahkan kasih sayang kepadamu tidak sebatas ketika kau masih kecil? Bukankah kau terus menguras kasih sayang mereka hingga kau setua ini? Dan ... bukankah mereka tak pernah jenuh atau enggan untuk meneruskan kasih sayang-Ku kepadamu, wahai, hamba yang tolol?"

Duh, Gusti! Berhari-hari aku tak berani mengulang doa itu. Sampai akhirnya pujian seorang tetanggaku berhasil membesarkan hatiku.

"Memang tidak sia-sia didikan bapakmu dulu, Kang. Sudah bertahun-tahun menjadi orang kota, setiap pulang ke kampung kau masih tidak lupa ngangsu untuk mengisi gentong sampai penuh. Bapakmu benar-benar berhasil memupuk anak-anaknya," komentar tetanggaku itu ketika bertemu dengan aku, yang tengah memikul sepasang jerigen berisi air di jalan.

Sejak itu aku kembali berani berdoa, memintakan kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku, terutama Bapak, yang sudah berpulang. Ya, semoga sisa-sisa memar di kedua pundakku bekas beban pikulan, kapal di kedua telapak tanganku bekas alu dan pukulan kedelai, serta bekas luka sayatan sabit yang bertaburan di punggung tanganku layak kupamerkan kepada Tuhan sebagai bukti cicilan baktiku kepada Bapak dan Simbok. Cicilan baktiku itu semoga cukup sebagai sumbu keberanianku untuk mengiba kepada-Nya.

Tak terbayangkan, seandainya semasa kecil dulu aku tidak "dipupuk" oleh Bapak dan Simbok dengan cara seperti itu, mungkin seumur hidup aku tak punya catatan cicilan bakti anak kepada orang tua.

Terima kasih, Pak. Matur nuwun, Mbok. Thank You, Allah, Engkau anugerahkan kepadaku sepasang orang tua tradisional, yang sanggup mendidik anak-anaknya secara bersahaja.


14 Apr 2012

Juara Sejati

  • Dapatkah Anda menyebut nama-nama Miss Universe (ratu sejagad) lima tahun terakhir? Atau, para Putri Indonesia lima tahun terakhir?
  • Mampukah Anda menyebut nama-nama aktor dan aktris pemenang Piala Oscar lima tahun terakhir? Atau, para peraih Piala Citra dalam FFI tahun terakhir saja?
  • Sanggupkah Anda menyebut lima nama orang terkaya sejagad yang terakhir dirilis majalah Forbes? Atau, lima orang terkaya di Indonesia tahun terakhir?
Bagaimana? Anda menyerah? Tak mengapa. Tak perlu putus asa. Mungkin risiko yang akan Anda derita hanya gagal memenangi kuis televisi atau mengisi penuh seluruh kotak TTS. Agar tidak larut dalam perasaan kurang cerdas, segera beralihlah ke pertanyaan-pertanyaan berikut.

12 Apr 2012

Tuhan Pangling

Matahari terbit dari barat. Sinarnya terang berkilau, membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas kepala orang berdiri.

Sengatan panasnya membakar hangus segala benda, menembus segenap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur. Leleh. Luluh. Lantak.

Bumi berguncang keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jagat raya memuntahkan segala isi perutnya. Bongkah-bongkah bebatuan berhamburan keluar meninggalkan relung persemayaman mereka. Satu, dua, tiga, …, berjuta bongkah menyembul bersamaan lalu meluncur kencang dan terbang di udara. Gravitasi bumi menariknya kembali turun. Tak mau menunggu giliran, rombongan batu-batu sebesar Gunung Semeru jatuh berbarengan. Pecah segala yang ditimpa. Hancur segala yang diterjang.

Gunung-gunung tercerabut dari akarnya. Tingkahnya bak kapas tertiup angin lesus. Magma muncrat menjadi lava pijar. Lava meleleh menjadi lahar. Disapu angin dan hujan, lahar hanyut lalu mengendap di hulu sungai. Tak kuasa menampung guyuran air dari langit, sungai mengalirkan endapan lahar ke hilir. Kelebihan volume muatan, hilir sungai muntah.

Marah. Adonan lahar diempaskan ke sawah, ladang, kebun, dan rumah-rumah di perkampungan. Semua berubah seketika. Gedung yang semula berdiri megah, rumah yang semula bertampang mewah, jembatan yang semula membentang gagah, dalam sekejap musnah. Yang tersisa tinggal puing-puing reruntuk simbol-simbol kepongahan makhluk serakah berbaur dengan sampah.

Sudah terlalu lama tanah warisan Adam dibiarkan tercemar. Tumpahan isi sungai tak sanggup diserap. Sudah menjadi putusan hukum alam bahwa air tak bisa dilarang mengejar posisi yang lebih rendah. Berbondong-bondong air merayap menyusuri lembah, ngarai, dan jurang. Pantang menyerah hingga mencapai kolam raksasa penampungan akhir.

Merasa terjajah oleh tamu asing, air samudra bergolak berontak. Tanpa komando, riak-riaknya berbaris kompak membentuk gelombang raksasa. Ombak bergulung-gulung menghimpun segenap energi, berarak melompati batas lautan. Segala yang dijumpai di daratan menjadi sasaran amuknya. Penghuni daratan yang menjadi korban hajarannya menamainya tsunami. Nama yang tak segarang murkanya.

Situasi makin genting tak terkendali. Manusia kalang kabut mencari perlindungan. Bagai anai-anai berhamburan keluar dari liangnya menyambut pagi setelah semalam berselimut hujan. Kaum ibu yang tengah menyusui melemparkan bayi merah dari timangannya. Yang sedang hamil menggugurkan paksa janin yang bersemayam tenteram di rahimnya. Semua lari tunggang langgang. Kepanikan bersenyawa dengan kelelahan. Langkah gontai. Tubuh sempoyongan bak pendekar mabuk akibat overdosis ciu oplosan.

Anak-anak menjerit bersahutan memanggil ayah atau ibunya. Para remaja berteriak-teriak memanggil kekasihnya. Yang dewasa beradu lantang mengundang kerabatnya. Si tua bangka meronta sumbang mengundang ahli warisnya. Rakyat jelata merintih mengiba perlindungan penguasa. Panglima perang membentak-bentak para serdadu agar siaga dengan senjata lengkap. Para bendahara diperintah direkturnya untuk mencairkan honor paranormal yang disewa untuk menolak bala yang melanda tiba-tiba.

Namun, semua upaya sia-sia. Rupanya ini bukan sembarang bencana. Ini penghulu segala malapetaka. Pamungkas kehancuran. The Ultimate Catastrophe. Qiyamat al-Kubra.

***

Kakek-kakek renta bersimpuh putus asa. Tubuhnya yang rapuh dibiarkan teronggok sia-sia di antara puing-puing bangunan segala rupa. Tangannya melambai lemas memanggil Sosok yang berkelebat secepat kilat di depannya. Sosok Penuh Wibawa tapi cuek tanpa tegur sapa.

“Tuhan, … tolong saya,” rintihnya memelas.

“Tuhan, katamu?” jawab Yang Dipanggil, ketus. “Memangnya kau ini siapa?”

Lho, masa Tuhan lupa dengan hamba-Nya?” si renta balik bertanya. Nadanya protes.

“Bukankah kau dulu juga demen melupakan Tuhanmu, wahai, pencandu dunia? Ketika Nama-Ku dipanggil-panggil oleh kekasih-Ku, kau tak cemburu. Sementara orang-orang di sekitarmu bergegas menemui Aku, kau masih saja larut dalam kesibukanmu menghimpun dinar, dolar, ringgit, dan rupiah pujaanmu. Kali lain, Nama-Ku dipanggil-panggil lagi, kau tak acuh dan terus menikmati keasyikanmu bersenda gurau dengan para kolega dan kroni bisnismu. Padahal sahabat-sahabatmu yang lain berebut menempati barisan depan untuk bercengkerama dengan Aku. Pada saat lain lagi, Nama-Ku kembali dikumandangkan, kau bergeming di peraduanmu. Kaulanjutkan tidur pulasmu pasca kaupuaskan nafsu birahimu bersama pasangan gelapmu. Sedangkan para tetangga sebelah vila persembunyianmu segera bangkit, berdandan rapi, dan berebut mencumbui Aku. Masih pantaskah hari gini kau merasa layak untuk mengaku sebagai hamba-Ku?”

***

Di petak yang lain, seorang wanita paruh baya duduk terpuruk lesu sambil tak henti-henti meronta. Tampaknya ia menangis menyesali kehancuran menara sukses bisnisnya yang nyaris menyundul langit.

“Tuhan, … Tuhan!” teriaknya, memanggil Sosok Agung yang melintas di sebelahnya.

“Apa? Kau memanggil tuhanmu? Bukankah tuhanmu sudah luluh lantak bersama sirnanya keangkuhanmu?”

Lhoh, bukankah Engkaulah Tuhan itu?”

“Sejak kapan kau mengenal Aku sebagai Tuhanmu, wahai, pemuja harta?”

“Masa, Tuhan tidak mengenaliku? Atau, Tuhan lupa padaku? Padahal setiap tahun aku menyisihkan laba bisnisku untuk biaya perjalanan ziarah ke rumah-Mu, lho, Tuhan.”

“Ya, ya, ya …. Tapi, kau tak acuh ketika Aku sakit. Bahkan, ketika Aku hampir mati kelaparan, kau pun abai tak peduli.”

“Ah, Tuhan bisa saja. Masa, Tuhan sakit, malah hampir mati kelaparan lagi?”

“Begitulah. Gelimang harta menyilaukan penglihatanmu. Jadi, kau tak peka melihat kehadiran-Ku. Yang kauziarahi setiap tahun itu hanya simbol rumah-Ku. Sedangkan Aku selalu hadir menyelinap di balik raga hamba-Ku yang papa. Nah, ingatlah. Berapa orang pegawai perusahaanmu jatuh sakit setiap tahun? Berapa orang di antara mereka yang harus tercekik hutang untuk melunasi ongkos rumah sakit? Bahkan, berapa yang merelakan seluruh hartanya ludes terjual untuk menebus biaya pengobatan? Tega-teganya kau setiap tahun melawat ke negeri seberang yang kaupuja-puja sebagai Tanah Suci, sementara mereka mengerang kesakitan raga dan ragad? Bukankah pundi-pundi bisnismu itu kaukumpulkan dengan memeras keringat mereka?”

“O, … maafkan hamba atas kelalaian itu, Tuhan. Please, … deh. Lalu kapan Tuhan menderita kelaparan?”

“Lagi-lagi penglihatanmu tertutup tumpukan harta yang menjelma jadi tuhanmu. Sejumlah tetanggamu meregang nyawa menahan lapar. Makan sekali mereka gunakan untuk hidup tiga atau empat hari. Sementara, kau sehari tiga atau empat kali keluar masuk resto atau kafe bintang lima demi menjamu rekan-rekan bisnismu yang tak bakal kelaparan tanpa kautraktir. Seumur hidup kau cuek terhadap Aku. Lalu, hari gini kau merasa layak memanggil Aku Tuhan?”

***

Di salah satu sudut bekas kota metropolitan, berdiri termangu seorang pensiunan guru. Batinnya menggerutu. Dia mencoba menghitung-hitung jasanya selama 40 tahun mengabdi di beberapa sekolah. Dia mulai menyebut nama murid-muridnya yang sudah sukses menjadi orang. Ada yang menjadi pejabat di pemerintahan. Ada yang menjadi aparat hukum terkenal. Ada yang menjadi pengusaha kaya raya. Yang menjadi politisi beken juga ada. Artis kesohor pun ada.

Dia berharap deretan nama-nama besar itu bisa menjadi penolongnya pada hari yang penuh kepayahan ini. Dia yakin profesinya yang mulia sebagai pendidik generasi penerus dan pewaris bangsa itu bisa menjadi payung yang menaunginya dari azab pedih pada hari nahas ini. Maka, begitu melihat kelebat Sosok Sempurna, dia pun tak sungkan memanggil-Nya. Panggilannya santun, khas intonasi guru.

Seperti yang sudah-sudah, Tuhan tampak tidak berkenan dengan panggilannya.

“Tidak sadarkah kau bahwa selama 40 tahun menjadi guru, kautelantarkan Aku ketika Aku menjelma sebagai murid-muridmu yang kauanggap bodoh? Kaubangga-banggakan segelintir bekas muridmu yang menuai sukses di hari kelak. Sementara, terhadap ratusan bahkan ribuan muridmu yang mengidap DPR (daya pemahaman rendah), kau tak ambil peran. Kau justru bangga dengan hobimu memberikan rapor merah kepada mereka. Kau merasa puas ketika pada akhir tahun bisa mempermalukan mereka dengan vonis tinggal kelas. Bagaimana kau tak malu untuk menyebut Aku sebagai Tuhanmu pada hari gini?”

Astagfirullah ….


Tabik.

Populer