Ketika kecil dulu, aku sering dikudang oleh Simbok (panggilan untuk ibu dalam tradisi keluarga kami). Kudangan beliau tidak berbeda jauh dari impian kebanyakan masyarakat petani tradisional desa: mbesuk gedhe dadi dhokter.
Aku berani memastikan, kala itu Simbok tidak memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung untuk mengantarkan anaknya mewujudkan kudangan tersebut. Seandainya sempat berpikir tentang hal itu, pasti beliau tidak bakal berani mengungkapkan kudangan sembrono begitu. Kelak aku pun sempat protes karena ternyata beliau tidak wani nggetih untuk mewujudkan kudangannya sendiri. Sebagai pelampiasan kekecewaan itu, kuabadikan cita-cita besar beliau dalam corak tulisan tanganku. Ya, tulisan tanganku mirip tulisan dokter di resep obat.
Baru setelah jadi orang (bukan anak-anak lagi, maksudku), aku memahami maksud kudangan Simbok, yang kini sudah berusia senja. Kudangan itu setidaknya berguna sebagai pelecut agar aku tumbuh bersama impian besar. Dan ... benar-benar gairahku terpantik oleh kekudangan itu. Anganku sering melambung tak terkendali.
Ada janji tersimpan rapi di balik khayalanku. Kalau sudah besar kelak, aku akan membahagiakan Simbok dan Bapak. Dengan berprofesi sebagai dokter, pasti tidak begitu sulit untuk memanjakan kedua orang tua. Apalagi, hanya kemanjaan ala orang-orang desa. Rumah berdinding gedek hadiah Simbah akan segera kusulap menjadi loji termegah di kampung kami, melebihi kemegahan rumah Pak Lurah. Mobil priyayi nyaris tanpa bunyi akan setia membawa Simbok dan Bapak ke pasar untuk membeli pakaian dan perhiasan paling cantik. Keesokan harinya, kendaraan yang tak terbeli oleh harga seluruh ternak milik para tetangga sekampung itu kembali mengantarkan mereka ke pesta pernikahan kerabat di kampung sebelah. Bapak dan Simbok akan segera pensiun sebagai petani gurem, yang setiap musim tanam tiba selalu tercekik utang benih segala macam tanaman dan pupuk yang ditawarkan secara paksa oleh rentenir berlabel KUD.
Imajinasiku tumbuh seliar itu bukan tanpa alasan. Rekam jejak hasil belajarku di sekolah kiranya cukup untuk bekal bermimpi jadi dokter. Kalau toh gagal jadi dokter seperti kudangan Simbok, aku layak untuk mengejar cita-citaku sendiri: insinyur. Itu juga profesi yang cukup potensial untuk membahagiakan orang tua kelak. Namun, selepas SMP aku mesti mengubur dalam-dalam mimpiku untuk memilih salah satu dari dua profesi itu. Sekolah yang dipilihkan untukku tidak memungkinkan mengantarku ke gerbang sekolah dokter ataupun insinyur. Akhirnya, aku pun harus mencari akal untuk mengabadikan cita-citaku. Singkatan gelar insinyur kuabadikan dalam tanda tanganku.
Kendati sudah kehilangan dua alternatif mimpi, aku tak patah arang. Masih menggebu hasratku untuk dapat membuat kedua orang tuaku tersenyum dengan baktiku kelak. Pokoknya, tiada rotan, akar pun jadi. Yang penting, aku harus mengurangi—kalau tidak bisa menghilangkan—kepayahan Simbok dan Bapak seperti yang bertahun-tahun kusaksikan.
***
Untung, janjiku itu hanya kusimpan di benakku sendiri. Tak seorang pun pernah mendengarnya, termasuk telingaku sendiri. Belum lagi lulus sekolah, aku sudah kecantol seorang bidadari (eh, bidadari itu orang atau bukan, ya?). Menghidupi diri sendiri saja belum cukup, aku nekat menantang tanggung jawab untuk memikul kebutuhan anak orang. Utang untuk biaya maskawin saja belum lunas, aku sudah keburu punya anak.
Alih-alih merenovasi rumah tinggal orang tua, untuk mengangsur ongkos kontrak rumah saja aku justru harus mengiris beberapa petak ladang mereka. Jangankan menyediakan "mobil dinas" untuk mereka, untuk membayar uang muka sepeda motor saja aku malah tak sungkan-sungkan menuntun anak sapi mereka ke pasar.
Ketika anakku berumur dua tahun lebih dua bulan, Bapak meninggal. Aku di-tilap-kan. Beliau sakit beberapa hari, aku tidak mendengar kabarnya. Beliau sudah membujur kaku tanpa napas, aku gagal dilacak. Sampai jasadnya dikubur rapat-rapat di perut bumi, aku belum nongol di antara kerumunan pelayat. Jauh di luar dugaan, sejumlah tetanggaku berhasil mengendus persembunyianku. Tak mau membuang-buang waktu, mereka membawaku meluncur ke rumah orang tuaku.
Sekitar empat jam kami menempuh perjalanan dari tempat persembunyianku ke kampung halamanku yang sudah 12 tahun kutinggalkan. Sampai di desa kelahiranku, aku melihat sebuah payung baru tertancap di tanah makam. "Itu pasti kuburan Bapak." Kucoba menyembunyikan air mata duka. Kutahan untuk tak ada isak tangis. Sampai di rumah, yang kudapati tinggal suasana lengang. Simbok, kelima saudaraku, ipar-iparku, keponakan-keponakan, serta beberapa paman dan bibiku menyambut kehadiranku yang terlampau terlambat.
Inikah kutukan yang pas untuk anak senista aku? Jangankan turut memandikan dan mengafani, untuk ikut menyalati jenazah Bapak saja aku tak kebagian kesempatan!
Ketika malam telah larut, ketika orang-orang yang kecapekan mulai terlelap tidur, ketika suara dengkuran mulai terdengar bersahut-sahutan, baru aku membiarkan air mataku meleleh keluar. Kucoba untuk berdoa. Kucoba melafalkan doa yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.
"Wahai, Tuhan, ampunilah aku;
ampuni juga kedua orang tuaku;
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."
Tiba-tiba bibirku mengatup rapat. Lidahku kelu. Bagaimana aku berani memohon agar Tuhan menyayangi kedua orang tuaku? Bukankah Dia sudah terlampau banyak mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka? Bukankah Tuhan tak pernah menghentikan aliran rahmat-Nya seumur hidup mereka? Bukankah Tuhan tak pernah mencabut kembali kasih sayang-Nya yang pernah dilimpahkan kepada mereka?
Demi mendengar permohonanku, seolah-olah Tuhan menamparku dengan jawaban sarkastik, "Tidak malukah kau memintakan kasih sayang-Ku untuk kedua orang tuamu? Tidak tampakkah olehmu aliran kasih sayang-Ku kepada mereka yang tak pernah putus selama ini? Bukankah kau yang semestinya membalas kasih sayang mereka? Bukankah mereka mencurahkan kasih sayang kepadamu tidak sebatas ketika kau masih kecil? Bukankah kau terus menguras kasih sayang mereka hingga kau setua ini? Dan ... bukankah mereka tak pernah jenuh atau enggan untuk meneruskan kasih sayang-Ku kepadamu, wahai, hamba yang tolol?"
Duh, Gusti! Berhari-hari aku tak berani mengulang doa itu. Sampai akhirnya pujian seorang tetanggaku berhasil membesarkan hatiku.
"Memang tidak sia-sia didikan bapakmu dulu, Kang. Sudah bertahun-tahun menjadi orang kota, setiap pulang ke kampung kau masih tidak lupa ngangsu untuk mengisi gentong sampai penuh. Bapakmu benar-benar berhasil memupuk anak-anaknya," komentar tetanggaku itu ketika bertemu dengan aku, yang tengah memikul sepasang jerigen berisi air di jalan.
Sejak itu aku kembali berani berdoa, memintakan kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku, terutama Bapak, yang sudah berpulang. Ya, semoga sisa-sisa memar di kedua pundakku bekas beban pikulan, kapal di kedua telapak tanganku bekas alu dan pukulan kedelai, serta bekas luka sayatan sabit yang bertaburan di punggung tanganku layak kupamerkan kepada Tuhan sebagai bukti cicilan baktiku kepada Bapak dan Simbok. Cicilan baktiku itu semoga cukup sebagai sumbu keberanianku untuk mengiba kepada-Nya.
Tak terbayangkan, seandainya semasa kecil dulu aku tidak "dipupuk" oleh Bapak dan Simbok dengan cara seperti itu, mungkin seumur hidup aku tak punya catatan cicilan bakti anak kepada orang tua.
Terima kasih, Pak. Matur nuwun, Mbok. Thank You, Allah, Engkau anugerahkan kepadaku sepasang orang tua tradisional, yang sanggup mendidik anak-anaknya secara bersahaja.