Langsung ke konten utama

Dokter: Buat Apa Disingkat?


Seorang teman mengunggah tulisan di sebuah platform grup percakapan:

"Berikut ini saya menemukan beberapa penulisan yang berbeda dalam plang di bangunan rumah sakit yang cukup membingungkan banyak orang bagaimana penyebutannya. Misalnya, RS dr. Sismadi, RS Dr. Suyoto, RS Dr. Reksodiwiryo, RSU Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sardjito, Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, RSUD dr. Soedono, RSUP Dr. Kariadi Semarang, RS Dr. J. H. Awaloei, Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan, RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUD dr. Murjani Sampit, RSUD dr. Slamet Garut, dan RSUP Dr. Hasan Sadikin. Penulisan Dr dan dr di plang bangunan rumah sakit di atas berbeda- beda. Praktik penulisan itu yang bisa bikin orang bingung."

Diam-diam saya menyimpan kekaguman di dalam hati. Teman saya itu tentu pesiar hebat. Begitu banyak kota di Nusantara yang sudah dirambahnya. Lebih hebat lagi, ia begitu jeli mencermati tulisan pada papan nama rumah-rumah sakit yang dijumpai di kota-kota itu. Tapi, dasar berotak nakal, saya pun tak mau kalah. Saya coba menjelajah "benua" Google. Tulisan unggahan teman itu saya salin, lalu saya tempel di bilah pencarian Google. Klik, byakkk! Muncul dua alamat website yang ditawarkan. 

Saya memilih yang lebih tua: Media Indonesia. Rupanya, tulisan itu disalin dari artikel yang ditulis oleh Meirisa Isnaeni, seorang Staf Bahasa di Media Indonesia.

Di dalam artikelnya tersebut, Meirisa menulis lebih jauh:

"Dalam buku Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan (EYD), penulisan gelar secara intens disinggung, bahkan disertai beberapa contoh penulisan yang benar. Gelar DR menyatakan gelar kehormatan doktor honoris causa. Gelar tersebut diberikan perguruan tinggi kepada tokoh yang mumpuni di bidang tertentu. 

Sementara itu, gelar Dr ialah singkatan dari doktor. Gelar ini adalah gelar kesarjanaan tertinggi yang diberikan perguruan tinggi kepada seorang sarjana yang telah menulis dan mempertahankan disertasinya. Ini merujuk pada gelar kesarjanaan yang sudah ditempuh seseorang, yakni strata tiga (S-3). 

Kemudian, untuk dr ialah singkatan bagi gelar dokter atau orang yang telah menyelesaikan pendidikan kedokteran. Seseorang yang telah lulus dari pendidikan kedokteran yang ahli dalam penyakit dan pengobatan."

Sayang, Meirisa (bukan: Meirisa sayang) tidak menyebut secara spesifik buku yang mana yang dimaksud. Ini membuat saya kelabakan melacaknya. Tiga edisi Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang saya punya hanya mencantumkan Dr. sebagai singkatan gelar akademik doktor. Itu disajikan sebagai contoh pemakaian huruf kapital pada singkatan gelar. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) edisi 2015 (Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015), Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (lazim disebut Pedoman EYD) edisi 2009 (Permendiknas Nomor 46 Tahun 2009), maupun Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (lumayan lucu, ya?) edisi 1987 (Kepmendikbud Nomor 054a/U/1987) tidak menyinggung singkatan gelar dokter dan doktor honoris causa. Bisa jadi, yang dirujuk oleh Meirisa adalah Pedoman EYD edisi 1972 (edisi perdana), yang saya sudah tidak menyimpan bukunya.

Lalu seorang teman yang lain berkomentar, "Sebab dr yg sekolahnya sdh butuh waktu lama n tenaga serta biaya, mosok gelarnya pake huruf kecil?" (Saya sengaja tidak menyunting tulisan ber-style khas ala medsos ini.)

Rupanya, dia menyitir tulisan di Kompasiana yang mengutip protes seorang dokter. Saya tidak tahu, teman ini sempat membaca artikel tersebut secara tuntas atau tidak. Pada bagian akhir artikelnya, penulis yang menggunakan nama akun r.t. mangangue itu mengimbau agar pemakai bahasa mematuhi kaidah yang sudah ditetapkan. Pak Dosen ini berasumsi bahwa kaidah penulisan singkatan gelar dokter adalah ketetapan Badan Bahasa (nomenklatur lembaga di ini berubah-ubah).

Teman yang lain lagi menanggapi, "Penulisan Dokter boleh Dr boleh dr, semuanya benar pak." (Lagi-lagi, saya sengaja tidak melakukan penyuntingan.)

Pendapat tersebut merujuk pada orangramai.id yang mengutip penjelasan seorang dokter. Narasumber menjelaskan bahwa ada dualisme penulisan singkatan gelar dokter. Di ijazah, singkatan gelar dokter ditulis dr., sesuai dengan ketentuan Kemendikbud. Sementara, organisasi profesi (IDI dan PDPI--karena ia dokter spesialis paru) memakai Dr. (D kapital) untuk singkatan dokter. Menurutnya, pemakaian D kapital itu demi keadilan, mengingat semua singkatan gelar akademik yang lain diawali dengan huruf kapital. 

Tampaknya teman pertama, pemantik diskusi di grup percakapan virtual itu, justru menjadi makin bimbang dengan tanggapan dua teman yang lain itu. Ia ingin mendapatkan kepastian penulisan singkatan gelar dokter yang benar (yang sesuai dengan PUEBI, sebutnya). Kepastian itu dirasakan sebagai kebutuhan mendesak karena ia harus mengajarkannya kepada siswa. "Karena di SD sudah ada materi penyingkatan gelar," tulisnya. (Barangkali yang dimaksud adalah penulisan singkatan gelar.)

Bagi saya, menyaksikan teman-teman berdiskusi gayeng seperti itu adalah sumber kebahagiaan. Sejujurnya saya sangat bernafsu untuk ikut urun rembuk, tapi harus saya tahan sementara. Selain karena sudah mengantuk, saya juga ingin diskusi itu berkembang tanpa saya ganggu. Ponsel saya letakkan dan saya tinggal tidur. 

Seperti biasa, seusai rutinitas pagi saya membuka ponsel, sekadar memindai pesan-pesan yang singgah di sejumlah grup percakapan. Ah, rupanya ada yang menjawil saya untuk nimbrung. Saya masih harus mengerem hasrat untuk melayani godaan itu. Lebih baik saya segera berangkat dan menyambut undangan diskusi itu setiba saya di markas.

Gelar di PUEBI

Seperti disinggung di muka, PUEBI dalam tiga edisi terakhirnya tidak memuat kaidah penulisan singkatan gelar dokter. Terkait dengan penulisan gelar, PUEBI mengatur lima kaidah sebagai berikut.

  1. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, atau akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar akademik yang mengikuti nama orang (Bab I, bagian F, nomor 5a). 
    Contoh (bukan kutipan dari PUEBI):
    [1] Om Shodiq diperiksa oleh Dokter Lilis.
    [2] Teori penulisan singkatan gelar digugat oleh Doktor Ayu.
    [3] Jalan tengah penulisan singkatan gelar dikemukakan oleh Memey, Magister Linguistik. 

  2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan, keturunan, keagamaan, profesi, serta nama jabatan dan kepangkatan yang dipakai sebagai sapaan (Bab I, bagian F, nomor 5b).
    Contoh (bukan kutipan dari PUEBI):
    [1] Jangan suntik saya, Dokter!
    [2] Sudah makan malam, Prof.?
    [3] Pasukan sudah telanjur dibubarkan, Jenderal.
    [4] Bolehkah saya menyontek, Guru?
    Tidak lazim ada kalimat seperti berikut.
    [5] Kenapa murung, Doktor?
    [6] Sedangkal itukah analisismu, Magister Hukum?
    Kata-kata berhuruf miring di dalam kalimat [5] dan [6] merupakan gelar akademik, yang tidak disebut di pasal ini. Mengapa tidak disebut? Gelar akademik tidak lazim dipakai sebagai sapaan.

  3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, atau sapaan (Bab I, bagian F, nomor 12).
    Contoh (bukan kutipan dari PUEBI):
    [1] sarjana humaniora = S.Hum.
    [2] magister filsafat = M.Fil.
    PUEBI tidak mengatur kaidah pembentukan singkatan, termasuk singkatan gelar. Mengatur agar sarjana humaniora disingkat S.Hum. dan sarjana filsafat disingkat S.Fil. itu bukan ranah PUEBI. Yang diatur di dalam PUEBI adalah penulisan singkatan-singkatan itu (dalam hal ini: pemakaian huruf kapital pada huruf pertama tiap-tiap unsurnya). Mengikuti kaidah ini, maka jika bentuk singkatan dokter adalah dr, semestinya ditulis Dr. (huruf pertama kapital).

  4. Singkatan nama orang, gelar, sapaan, jabatan, atau pangkat diikuti dengan tanda titik pada setiap unsur singkatan itu (Bab II, bagian H, nomor 1).
    Contoh (bukan kutipan dari PUEBI):
    [1] spesialis anestesi = Sp.An.
    [2] apoteker = Apt.
    Sekali lagi, PUEBI tidak mengatur spesialis anestesi disingkat bagaimana atau apoteker disingkat menjadi apa. PUEBI hanya mengatur bahwa Sp (unsur singkatan dari spesialis) dan An (unsur singkatan dari anestesi) serta Apt (unsur singkatan dari apoteker) masing-masing diikuti tanda titik (.).

  5. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan singkatan gelar akademis yang mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga (Bab III, bagian B, nomor 10).
    Contoh (bukan kutipan dari PUEBI):
    [1] Sumi, Ph.D. (doctor of philosophy)
    [2] Tijan, M.Gz., Dietisian (magister gizi, profesi dietisian)
    [3] Setu, S.Sn., M.Arsl. (sarjana seni, magister arsitektur lanskap)

Wewenang Siapa?

Singkatan--akronim termasuk di dalamnya--itu terbentuk secara arbitrer. Tidak ada kaidah yang membakukan bagaimana singkatan harus dibentuk. Akibatnya, kita sering mendapati beberapa bentuk singkatan yang berbeda-beda untuk satu kata yang sama. Kata pendidikan, misalnya, kadang disingkat dik seperti dalam Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dan adakalanya disingkat Pd. seperti dalam M.Pd. (magister pendidikan). Frasa kesehatan masyarakat kadang disingkat kesmas seperti dalam Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat), adakalanya disingkat K.M. seperti dalam S.K.M. (sarjana kesehatan masyarakat). Undang-undang kadang disingkat UU seperti dalam UUD (Undang-Undang Dasar), adakalanya disingkat U seperti dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Apakah penyingkatan kata yang sama menjadi bentuk-bentuk yang berbeda seperti itu bisa dibenarkan? Sekali lagi, pembentukan singkatan itu arbitrer, manasuka. Yang pasti, pembentukan singkatan bertujuan menghemat (ucapan dan/atau tulisan). Namun harus diingat, penghematan ucapan atau tulisan itu akan sia-sia jika gagal menghadirkan kesepahaman antara komunikator (pembicara, penulis) dan komunikan (pendengar, pembaca). Oleh sebab itu, kesewenang-wenangan dalam membentuk singkatan tidak boleh mengabaikan kesepakatan komunal. Singkatan PR bisa menimbulkan pemahaman berbeda di komunitas yang berbeda. Singkatan PR di kalangan guru mungkin populer dipahami sebagai pekerjaan rumah; di kalangan dosen, pembantu rektor; di kalangan wartawan, pemimpin redaksi; di komunitas hotel, public relations.

Untuk menghindari kesalahpahaman, singkatan yang dipakai di dalam naskah resmi biasanya didefinisikan di bagian awal naskah. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2014, misalnya, Pasal 1 mendefinisikan, "Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah." Dengan demikian, semua pembaca "dipaksa" menyepakati bahwa ASN di dalam undang-undang tersebut adalah singkatan untuk Aparatur Sipil Negara. Dalam hal ini, penyusun naskah punya otoritas untuk membentuk singkatan secara arbitrer, tetapi kemudian memaklumkan definisi singkatan yang dibuatnya kepada khalayak pembaca.

Demikian pula halnya dengan gelar dan singkatannya. Pemegang otoritas penganugerahan gelar tentu sekaligus memiliki wewenang untuk mengatur nomenklatur gelar yang akan diterbitkan beserta singkatannya. Dalam hal gelar akademik, nomenklaturnya menjadi wewenang institusi penyelenggara pendidikan tinggi. Demi "mencapai" kesepakatan nasional, kementerian yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menjadi pemegang tunggal wewenang mengatur nomenklatur gelar akademik untuk lulusan tiap-tiap program studi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi mana pun di seluruh Indonesia.

Gelar Dokter

Pada mulanya, dokter merupakan sebutan profesi, seperti halnya guru, sopir, petinju, dukun, pencuri, dan sebagainya. Namun, karena diperoleh melalui proses akademis di perguruan tinggi, akhirnya dokter dipakai sebagai gelar akademik. Wajar jika kemudian tata namanya diatur secara nasional oleh kementerian terkait. Sejauh pengetahuan saya yang tidak begitu jauh, tata nama gelar akademik terakhir diatur di dalam Keputusan Menteri Ristekdikti Nomor 257/M/KPT/2017 tentang Nama Program Studi pada Perguruan Tinggi.

Keputusan Menteri tersebut menetapkan, gelar akademik untuk lulusan program studi pendidikan profesi dokter adalah dr. dan untuk lulusan program studi pendidikan profesi dokter gigi drg. (kedua-duanya memakai d kecil dan diakhiri dengan tanda titik). Di dalam keputusan ini, nomenklatur gelar hanya ditulis dalam bentuk singkatan, tanpa sebutan lengkapnya.

Penulisan singkatan dr. dan drg. untuk dokter dan dokter gigi mengandung anomali ejaan. Penulisannya menyimpang dari kaidah yang diatur di dalam PUEBI. Sebagaimana diungkap di muka, singkatan ejaan ditulis dengan huruf kapital pada tiap-tiap unsur yang disingkat. Berdasarkan kaidah tersebut, jika dokter disingkat dr, semestinya bentuk singkatannya ditulis Dr. (D kapital, r kecil, titik [.]). Sedangkan dokter gigi, jika dokter disingkat dr dan gigi disingkat g, semestinya bentuk singkatannya ditulis Dr.G. (D kapital, r kecil, titik [.], G kapital, titik [.]).

Bagi pemakainya, anomali ejaan itu pun memantik kebimbangan (untuk tidak menyebut protes): apa dosa dokter dan dokter gigi sehingga gelar akademiknya ditulis dengan huruf kecil semua, sementara semua gelar akademik selain keduanya ditulis dengan huruf pertama kapital? Bertolak dari kecemburuan itulah, barangkali, IDI bersikeras menulis singkatan gelar dokter dengan ejaan Dr.

Jalan Damai Sekadar Berandai-andai

  1. Andai saya guru
    Saya tidak akan pernah menyinggung singkatan gelar dokter dalam mengajarkan ejaan kepada murid-murid. Di PUEBI saja, singkatan gelar yang satu ini tidak pernah muncul dalam gugusan contoh penulisan singkatan gelar, baik di pasal pemakaian huruf kapital, penulisan singkatan dan akronim, maupun pemakaian tanda titik. Saya berhak untuk curiga, jangan-jangan Badan Bahasa sebagai penyusun PUEBI sengaja cuci tangan (tanpa sabun) dari polemik pelik ini.

  2. Andai saya tukang mengatur nomenklatur gelar
    Saya akan menghapus gelar profesi, sekalipun profesi tersebut diperoleh melalui proses akademis seberat dan sesulit apa pun. Jika gagal mengeksekusi pilihan ekstrem itu--gelar profesi harus diterbitkan demi memuaskan segenap tuan dan puan--saya akan mengambil opsi cadangan: tidak menyingkat gelar dokter. Toh di dalam Keputusan Menristekdikti tersebut di muka, guru dan dietisian (gelar profesi) serta psikolog (gelar spesialis) juga tidak disingkat.

  3. Andai saya dokter
    Persetan dengan gelar! Mau ditulis dengan huruf kecil semua, huruf kapital semua, campuran huruf kecil dan kapital, atau bahkan tidak diberi gelar pun, saya tetap dokter. Toh pasien-pasien saya tidak ambil pusing dengan label gelar yang terpampang di dada baju atau plang di depan klinik saya. Loyalitas mereka lebih ditentukan oleh kinerja saya dalam melayani dan membantu memperbaiki kualitas kesehatan mereka.

  4. Andai saya petinggi IDI
    Terlalu mahal otak saya untuk berurusan dengan gelar. Lebih mulia saya memeras otak untuk merumuskan jurus jitu agar Covid-19-20-21 ini segera lenyap dari muka bumi dan tidak berlanjut menjadi Covid-22-23-24 dan seterusnya.
Liding gunjing: cara tersingkat untuk menyingkat polemik seputar penulisan singkatan gelar dokter adalah dengan tidak menyingkat gelar tersebut.

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da