Langsung ke konten utama

Lembar Nilai vs. Lembar Penilaian

 

Beberapa hari yang lalu saya didaulat menjadi juri. Silakan tebak sendiri, lomba apa itu. Panitia menyodorkan blangko yang disebut olehnya lembar penilaian. Saya buka. Saya masygul.

Ada tiga perkara yang membuat saya masygul. Pertama, ada aspek penilaian yang tidak mungkin saya bisa menilainya: ketepatan waktu pengumpulan (karya). Saya menawar untuk tidak menilai aspek itu. Panitia memberi tahu: semua karya dikumpulkan sebelum batas akhir pengumpulan. Saya bersikeras. Saya hanya bisa menilai apa yang saya tahu, bukan sesuatu yang saya diberi tahu.

Kedua, perincian unsur-unsur yang dinilai tidak standar. Ada unsur penting yang luput dari sasaran penilaian. Sebaliknya, ada unsur cabang yang terpisah dari induknya. Saya bertanya: apakah kriteria penilaiannya boleh dimodifikasi? Jawabannya: tidak. Sudah final. Mutlak. Saya mencoba menggurui. Saya tunjukkan kriteria penilaian yang lazim dipakai dalam lomba serupa. Juga saya tawarkan alternatif penyederhanaannya. Tidak laku. Ya sudah. Saya pura-pura berdamai.

Ketiga, tidak dibedakan bobot antarunsur yang dinilai. Padahal, dari sekian aspek itu ada yang kedudukannya sebagai pokok, cabang, dan tambahan. Saya pun bertanya: bobot per aspek berbeda-beda atau dipukul rata? Jawabannya: ada. Tetapi, ternyata begini penjelasannya: rentang skornya 1-25. Duh. Saya kehilangan selera untuk melanjutkan negosiasi (atau lebih tepat: konsultasi?). 

Sejatinya niat saya tidak sekadar menawarkan modifikasi blangko nilai. Lebih jauh, saya hendak mengajak anak muda mengenal prosedur kerja yang akuntabel. Namun, demi alasan kepatutan, negosiasi itu saya pungkasi. Penanda waktu sudah menunjukkan pukul 21.22. Lawan percakapan saya di media sosial itu anak remaja, berbeda jenis kelamin dari saya.

Daripada membuat mitra cakap mengerutkan muka, saya pilih berbohong. Saya membuat blangko penilaian sendiri (tabel bawah). Setelah muncul nilai hasil penghitungannya, baru saya pindahkan ke blangko asli kreasi panitia (blangko atas). Saya reka-reka korespondensi antara aspek-aspek yang ada di blangko bayangan tapi autentik dan yang ada di blangko asli tapi semu itu. 

Plong. Saya bisa menilai sesuai dengan "selera" saya, sekaligus berhasil menyembunyikan "kecurangan" saya. Saya puas, pemberi mandat pun lega.

Tuntas menunaikan tugas "berat" tersebut tidak lantas membuat saya bisa segera tidur pulas. Ada pengalaman serupa yang menunda kedatangan kantuk.

Belum lama berselang, saya juga terlibat dalam "proyek" penjurian bersama empat juri lain. Seorang juri hanya menilai satu unsur. Bagian saya unsur yang masih asing bagi saya. Setelah berburu literatur, ketahuan bahwa ternyata unsur tersebut bercabang tujuh. Tiap-tiap cabang punya 3-6 ranting. Saya modifikasi. Lebih jujurnya, saya sederhanakan menjadi 1-3 ranting. Totalnya 15 ranting. Masing-masing saya beri rentang skor 1-3. Jadi, total skor maksimal 45. Otomatis, nilai = (jumlah skor perolehan dibagi 45) dikali 100. Atau, boleh juga (jumlah skor perolehan x 100) : 45. Bayangkan sendiri, tidak banyak nilai berbentuk bilangan bulat.

Baru menyadari kebodohan diri ketika saya mengikuti sidang dewan juri untuk menentukan juara-juara. Itu pun agak terlambat. Penjurian saya satu-satunya yang menghasilkan nilai bukan bilangan bulat. Keempat juri lain kompak: semua nilai yang muncul bilangan bulat kelipatan 5. Saya masih menahan syahwat untuk berprasangka. Bisa saja kebetulan: hasil akhir penghitungannya memang begitu. Atau, jalan husnuzan yang lain, mungkin juga jumlah aspeknya kelipatan 10 dan skor per aspek masing-masing hanya 0 (salah) atau 5 (benar).

Ilustrasi berikut semoga memadai untuk menjelaskan husnuzan itu.
Jumlah aspek = 20; berarti, total skor maksimalnya 20 x 5 = 100.
Karya peserta X benar 19 aspek; maka nilainya = {(19 x 5) x 100} : 100 = 9.500 : 100 = 95.
Karya peserta Z benar 12 aspek; maka nilainya =  {(12 x 5) x 100} : 100 = 6.000 : 100 = 60.
Logis, bukan?

Husnuzan saya tidak bertahan lama. Praduga tak bersalah itu seketika tumbang ketika saya menyaksikan proses penilaian (baca: penetapan nilai) melampaui kecepatan cahaya. Kebetulan--boleh juga dianggap sebagai kuasa Tuhan untuk menguak rahasia--keempat juri kolega saya itu punya tunggakan. Beberapa karya peserta belum dianugerahi nilai. Tunggakan harus dilunasi di meja sidang. Simsalabim! 90. 85. 80. 75. Atau sebangsa itu. 

Bak sulapan, angka-angka mistis itu lahir dalam hitungan detik. Padahal, objek yang dinilai berupa media audiovisual. Durasinya sekitar 15 menit. Menakjubkan. Secanggih itukah jurus mutakhir penilaian ala era 4.0?

Kaum remaja panitia yang mendaulat saya sebagai juri tempo hari itu masih terbilang konservatif. Ilmu mereka jauh tertinggal laju teknik penilaian yang dipraktikkan para patron mereka. Kali lain mereka mesti diberi tahu: tak perlu kalian susah payah membuat lembar penilaian; cukup sediakan saja lembar nilai. Jangan-jangan kesadaran ini pula yang mengerem nafsu saya untuk melanjutkan negosiasi tempo hari itu?

Lembar penilaian berisi blangko untuk merekam proses pemerolehan nilai.
Lembar nilai berisi blangko untuk sekadar mencatatkan nilai.

Yang mana pilihan Anda: yang simpel atau yang akuntabel? 

Tabik.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da