Credit: https://depositphotos.com/6578713/stock-illustration-bullying-boss-shouting-and-pointing.html |
Siang yang Gerah
Seorang lelaki gagah datang ke sekolah. Ia hendak mengadukan perundungan yang menimpa anak gadisnya. Tak sekadar mengadu, si ayah juga melancarkan tuntutan: sang pelaku harus dikeluarkan! Sangar: pecat!
Beruntung, ia gagal bertemu dengan panglima sekolah. Sang Jenderal tengah mengikuti kegiatan dinas di luar. Hanya dua deputinya yang menerima sang tamu. Sebenarnya, sang Jenderal pun sekadar panglima pocokan. Kedudukan resminya sama dengan kedua tandemnya: deputi. Panglima yang asli sedang cuti untuk keperluan ibadah.
Kepalang tanggung. Waktu dan tenaga sudah dikorbankan. Sayang kalau niat tak jadi terlaksana. Tak ada rotan, rumput pun boleh.
"Bla ... bla ... bla ...!" tutur si tamu, bak orang kalap, "Bapak-Bapak tentu tahu, ini sudah keterlaluan! Pelanggaran berat! Menyangkut etika! Ranahnya moral! Ini yang namanya "pagar makan tanaman"! Kalau pimpinan tidak bisa memecat dia, saya bisa melakukannya!"
Demi menyaksikan aura kemarahan yang memuncak, keduanya pucat pasi. Badan mereka gemetar. Bibir mereka terkatup rapat. Lidah mereka mendadak kelu. Blangkemen.
"Tapi, maaf, Bapak. Tuan Jenderal sedang tidak ada di kantor," jawab salah seorang dari keduanya. Terbata-bata, "Kami tidak punya wewenang untuk memutuskan masalah ini."
"Kalau Bapak tidak berkeberatan," sahut seorang yang lain, "saya catat dulu aduan Bapak. Nanti kami sampaikan kepada Pak Jenderal sekembalinya ke Sekolah."
Apa boleh buat! Si Bapak pun beranjak meninggalkan Sekolah. Kecewa, mungkin. Mendongkol, barangkali. Mau bagaimana lagi? Jawaban kedua deputi itu benar belaka adanya. Pilihan mereka sesuai dengan prosedur standar manajemen dalam bidang apa pun di belahan dunia mana pun.
Menjelang Sore
Jenderal datang, heran. Tak lazim, kedua tandemnya berada di markasnya tanpa izinnya. Dua keping wajah berselimut kekalutan. Jenderal tak perlu bertanya, "Ada apa?" Keduanya silih berganti saling melengkapi laporan kejadian yang baru saja mereka alami.
"Baik," jawab Jenderal, tenang. "Beri saya waktu untuk berpikir (nggaya banget!). Bersiaplah untuk pulang terlambat. Nanti kita brifing untuk membahas formulasinya."
Lalu Jenderal "bertapa". Segenap daya nalar dan kuasa nala dikerahkan. Opsi-opsi tindakan dan konsekuensinya, lengkap dengan prediksi dampaknya, diformulasikan. Dari yang terpahit sampai yang paling manis. Dari yang terkejam hingga yang paling humanistis. Dari yang terkasar sampai yang paling lembut. Dari yang terberat hingga yang paling ringan. Opsi A bla bla bla ..., potensi dampaknya 1, 2, 3. Opsi B bla bla bla ..., potensi dampaknya 4, 5, 6. Opsi C bla bla bla ..., potensi dampaknya 7, 8, 9. Opsi D bla bla bla ..., potensi dampaknya 10, 11, 12.
Usai bertapa, Jenderal memanggil kedua tandemnya. Disampaikanlah opsi-opsi yang diformulasikan dari bisikan wangsit yang didapat lewat pertapaannya. Keduanya mengerti. Mereka sepakat.
Kini tinggal mengatur jadwal pertemuan dengan pihak penggugat. Nomor telepon dipanggil. Yang menerima si Ibu, istri Bapak yang mengadu.
"Maaf, Pak. Bapak (suaminya, yang dimaksud) lagi istirahat. Ada yang bisa saya bantu?" jawab si Ibu dari seberang telepon, ketika Jenderal minta izin untuk berbicara dengan suaminya.
"Begini, Ibu. Siang tadi Bapak datang ke sekolah. Sayang, beliau gagal ketemu saya. Apakah Ibu mengetahui keperluan beliau?" lanjut Jenderal.
"O, iya. Tadi Bapak sudah bercerita tentang itu. Nggak apa-apa, Pak, karena Bapak (Jenderal, maksudnya) memang lagi ada tugas di luar. Kami ikut saja, kapan Bapak bisa menjadwalkan pertemuan."
"Alhamdulillah. Terima kasih atas pengertian Ibu dan Bapak. Justru kami yang menyesuaikan dengan kesempatan Ibu dan Bapak. Tapi selambat-lambatnya besok, ya, Bu. Kalau harus hari ini juga tidak mengapa. Malam pun kami siap menerima kehadiran Ibu dan Bapak. Cuma, saya mohon yang hadir Ibu dan Bapak. Bersama. Dua-duanya. Kami akan standby di Sekolah sampai mendapatkan kepastian jadwal kehadiran Ibu dan Bapak."
"O, kalau begitu, saya pastikan kami datang besok saja, Pak. Jamnya kami beritahukan besok pagi-pagi atau nanti setelah Bapak bangun, njih?"
"Sip. Kita bisa segera pulang. Biar nanti beliau menghubungi nomor saya saja. Besok kita siap. Bertiga. Tidak boleh kurang. Menerima beliau berdua," titah Jenderal kepada dua deputinya. "Tenangkan diri. Netralkan pikiran. Jangan bawa pulang masalah ini. Keluarga di rumah tidak berhak untuk turut memikul beban ini. Ayo, kita pulang. Salam untuk keluarga. Mintakan maaf kepada mereka. Saya telah merampas sebagian hak mereka."
Hari Esoknya
Sepuluh menit menjelang waktu yang disepakati, Jenderal sudah standby, siap menyambut tamunya: sepasang orang tua murid. Ia menunggu di gerbang, bukan di pintu markas agungnya! Apalagi di singgasana kehormatannya!
Sebuah mobil putih menyalakan lampu sein, isyarat hendak berbelok ke kanan. Mobil menyeberang jalan, menuju halaman depan Sekolah. Melewati gerbang, kaca jendela ruang kemudi dibuka penuh. Sepasang kepala mengangguk sopan. Dua pasang bibir tersenyum ramah. Rupanya mereka mengetahui keberadaan Jenderal di teras pos satpam, di sebelah gerbang.
Mobil diparkir mengikuti panduan satpam. Jenderal menghampirinya. Sepasang pintu mobil terbuka. Kedua pengendara turun dan keluar. Yang perempuan dikenali oleh Jenderal: wajah, nama, dan profesinya. Begitu juga identitas anaknya: murid cantik yang beranjak menjelma gadis belia. Wajah ramah perempuan itu sudah terekam pula di memory chip sang Jenderal. Tapi, yang lelaki ...? Benarkah beliau suaminya? Yang kemarin datang? Yang membawa murka?
"Selamat datang, Ibu. Selamat datang, Bapak," sapa Jenderal (Ia terbiasa mendahulukan Ibu sebelum Bapak. Tak jelas alasannya. Pokoknya begitu. Asal saja.)
"Injih, Bapak. Terima kasih, Bapak berkenan menerima kami," jawab si Ibu.
"Jadi nggak enak, nih. Bapak harus menyambut kami di gerbang. Jauh dari kantor Bapak," timpal si Bapak. "Apa khawatir kalau kami tersesat?"
Makin meragukan: benarkah beliau ini yang kemarin datang? Dengan muka membara? Ah, semoga ....
Bertiga berjalan sejajar. Seorang perempuan dokter diapit dua Arjuna. Yang satu mirip Arjuna oleh sebab gantengnya. Yang satunya lagi identik Arjuna karena kelangkaan atribut kenaraprajaan. Tiga pasang kaki melangkah pasti namun santai. Ya, ketiganya berjalan beriringan seolah-olah tanpa beban psikis di antara mereka. Harmoni itu tetap terjaga hingga mereka sampai di markas agung Jenderal.
Dua deputi Jenderal menunggu di pipi pintu. Ada tengara keterkejutan pada tatapan mata keduanya. Seorang demi seorang masuk. Lalu duduk di sofa sudut yang membentuk huruf L. Pertemuan berlangsung tanpa jamuan, selain lima botol mungil air mineral.
Setelah basa-basi sejenak, Jenderal membuka "sidang resmi".
"Terima kasih, Ibu dan Bapak berkenan hadir sesuai jadwal. Terima kasih juga, Bapak kemarin memaklumi kegagalan Bapak untuk bertemu saya. Di balik kekecewaan Bapak, saya memetik keuntungan dari takdir itu. Saya jadi punya kesempatan untuk mengendapkan emosi, menjernihkan pikiran, dalam menanggapi masalah yang Bapak sampaikan."
"Ya, Pak, kami memaklumi kesibukan Bapak," sahut si Bapak.
"Bagi kami—terutama saya—masalah ini sangat pelik," lanjut Jenderal. "Mungkin begitu juga bagi Ibu dan Bapak. Termasuk bagi Ananda. Ini pelajaran amat berharga bagi saya. Hampir sepuluh tahun saya mengabdi di sini, mengalami masa kepemimpinan tiga jenderal pendahulu saya. Di bawah asuhan mereka, sekolah ini belum pernah menjumpai kasus seperti ini. Padahal guru-guru yang mengajar masih sama. Yang saya asuh sekarang adalah guru-guru asuhan ketiga pendahulu saya itu juga."
#Ganti paragraf, sekadar untuk menghela napas.#
"Kalau di antara guru-guru itu ada yang berbakat melakukan tindakan tidak terpuji seperti ini, pasti kasus yang sama sudah pernah terjadi sebelumnya. Kalau kasus ini baru pertama muncul kali ini, berarti perilaku negatif ini bukan bersumber pada karakter si pelaku. Lalu, apa sumbernya? Dari mana tindakan naif itu berurat berakar? Setelah saya runut sepenuh kejujuran, kasus ini bersumber pada kualitas pemimpinnya. Kekhilafan prajurit itu hanya cermin untuk menampakkan keburukan budi panglimanya. Dulu-dulu tidak pernah terjadi kasus senista ini karena kami diasuh oleh para pemimpin yang berbudi luhur."
#Bernapas lagi.#
"Kalau baru sekarang kasus ini muncul, ya berarti saat ini mereka—guru-guru itu—sedang dipimpin oleh panglima yang akhlaknya tercela. Itu pasti. Tidak ada alasan lain, dalil maupun dalih. Maka, jika kekhilafan prajurit harus berbuah sanksi, setidaknya sanksi setara mesti diterima oleh panglimanya."
Byakkk! Dua pasang mata mendadak terbelalak! Lalu saling memandang. Dengan tatapan tajam. Tapi nanar. Disusul kemudian, dua pasang bibir beringsut-ingsut. Salah tingkah.
"Tidak, Pak. Bukan Bapak sumbernya. Sama sekali bukan. Sebelumnya, saya minta maaf. Kemarin saya kalap. Semalam kami merenung, berdua introspeksi. Akhirnya kami menyadari, kami punya andil dalam kasus ini. Andil kami besar. Mungkin malah yang terbesar di antara pihak-pihak yang terlibat," sahut si Bapak. "Kami sadar, waktu kami untuk bersama anak-anak kurang. Sangat kurang. Ibunya lebih banyak menghabiskan waktu di tempat praktek (biasanya dokter memakai ejaan "praktek", bukan "praktik"). Sementara, saya sangat jarang berada di rumah. Pekerjaan saya lebih banyak di luar kota. Bahkan, sering di luar pulau. Maka, tidak mustahil jika ... bla bla bla ... bla bla bla ...."
Bla bla bla ....
Akhirnya Jenderal mengeluarkan risalah, wangsit yang diperoleh ketika bertapa kemarin. Satu halaman kuarto. Berisi opsi-opsi tindakan, reaksi terhadap perilaku Guru X yang sedang khilaf itu.
---------------------
Opsi A: Guru X diberhentikan dari jabatan, tugas, dan statusnya sebagai guru. Konsekuensi: (1) bla ...; (2) bla bla ...; (3) bla bla bla ...; (4) Sanksi yang sama dikenakan kepada Jenderal sebagai panglimanya. Potensi dampak: [i] Guru X tidak terima dan membawa kasusnya ke ranah hukum; [ii] Jenderal terseret ke lubang "sial" kedua; [iii] muncul gelombang solidaritas dari teman-teman sejawat dan organisasi profesi.
Opsi B: bla bla ....
Opsi C: bla bla bla ....
Opsi D: Guru X ditegur secara samar. Konsekuensi: Jenderal harus menjamin prosedur operasinya berjalan secara rapi dan pasti.
Prosedur:
(1) Di antara semua guru yang mengajar di kelas korban dipanggil satu persatu (catatan redaksi: tidak ditulis satu per satu).
(2) Masing-masing diberi tahu bahwa [a] ada aduan kasus begini, begitu; [b] yang mengadukan adalah orang tua korban; [c] identitas pengadu, korban, dan pelaku dirahasiakan oleh pengadu.
(3) Masing-masing diminta untuk mengevaluasi diri. Tidak perlu saling bertanya dan minta konfirmasi kepada sejawat.
(4) Yang merasa sebagai pelaku segera bertobat. Jika sanggup minta maaf kepada korban, lebih baik. Jika ditambah minta maaf kepada orang tua korban, jauh lebih baik. Tidak perlu melapor dan minta maaf kepada panglima.
(5) Jenderal memantau perkembangan kasus melalui observasi langsung dan interview dengan teman-teman korban.
(6) Orang tua korban memantau perkembangan kasus melalui interview dan observasi perilaku korban.
(7) Minimal dua kali dalam seminggu, Jenderal dan orang tua korban saling menanyakan dan memberitahukan hasil pantauannya.
(8) Berita dan segala informasi mengenai kasus ini tertutup kepada semua pihak selain 5 orang yang telanjur mengetahuinya: ibu dan ayah korban, Jenderal, dan dua deputi.
---------------------
"Silakan Ibu dan Bapak baca, cermati, dan kaji opsi-opsi yang kami tawarkan. Ibu dan Bapak tidak harus memutuskan pilihan saat ini. Keputusan Ibu dan Bapak tidak hanya akan menentukan nasib Guru X dan panglimanya. Tapi juga menentukan perkembangan jiwa Ananda, setidaknya sampai Ananda lulus dari sini. Untuk itu, saya berikan kesempatan seluas-luasnya sampai Ibu dan Bapak yakin akan ketepatan pilihan Ibu dan Bapak."
Tatapan mata sepasang tamu saling bertemu. Ada isyarat di sepasang bibir dan sepasang mata masing-masing. Hanya mereka berdua yang paham. Telunjuk si Ibu menunjuk salah satu nomor opsi. Si Bapak mengangguk mantap.
"Tidak, Pak," kata si Bapak. "Kami sudah sepakat bulat menentukan pilihan. Tidak perlu ditunda sampai besok atau lusa. Kami yakin, pilihan kami ini opsi terbaik. Semoga berdampak terbaik juga. Buat kami sekeluarga, buat guru X, buat Bapak-Bapak pimpinan, dan buat Sekolah."
Dan ... pilihan mereka jatuh pada opsi D!
Allahu Akbar! Siapa yang kuasa membolak-balikkan hati dan pikiran anak Adam?
Esoknya Lagi
Di markas agung, Jenderal bersiap menyambut kehadiran Guru X. Dia dipilih sebagai orang pertama yang dipanggil dalam rangka mengeksekusi amanat opsi D. Seluruh ketentuan prosedur (2) [a], [b], dan [c] ditunaikan. Jenderal tak ingin Guru X kehilangan muka. Pertemuan disetel sekendur mungkin. Itu bukan pekerjaan ringan. Jenderal bukan tipe orang yang mudah mengendurkan tensi. Beruntung, pagi itu ia berhasil bersandiwara.
Giliran kedua? Ketiga? Keempat? Kesekian? None! Tidak ada lagi yang mendapat giliran dipanggil berikutnya. Cukup satu saja. Lalu dilihat efeknya. Prsedur (5), (6), dan (7) dijalankan.
Hari berikutnya, kasus serupa tidak terulang. Minggu berikutnya, nihil kejadian serupa. Bulan berikutnya, perilaku negatif itu tak kunjung kembali muncul. Hingga korban lulus, perundungan serupa tak pernah kambuh—pada korban yang sama maupun berganti orang, oleh pelaku yang sama maupun berbeda orang.
Peristiwa itu berlalu sudah hampir dua windu. Dan ... tidak pernah terdengar orang membicarakannya hingga detik ini—ketika tulisan ini dibuat. Berarti, prosedur (3) dan (8) dipatuhi.
Bagaimana nasib prosedur (1) dan (4)?
Prosedur (1) sengaja "dikhianati". Kok? Ya! Jika prosedur (1) ditunaikan, itu menjadi ancaman bagi tercapainya prosedur (8). Dan itu berarti ancaman virus penyakit bagi organisasi. Tidak takut dosa karena khianat? Di mana khianatnya? Baiklah, ditulis ulang prosedur (1) "Di antara semua guru yang mengajar di kelas korban dipanggil satu persatu." Berapa yang dipanggil? Satu persatu (bukan satu per satu) = 1/1 = 1. Paham, kan? Itulah alasannya, mengapa penulisan kata "dikhianati" pada kalimat pertama paragraf ini diapit tanda petik ("...").
Sedangkan prosedur (4) itu 100% terserah kepada pelaku.
Liding crita: kena iwake, aja nganti buthek banyune.
Tabik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar