Langsung ke konten utama

Banyak Jalan (Pintas) Menuju KTI *)

 

Sekitar 10 tahun yang lalu

Engko sore aku diterke neng omahe kancaku, ya, Kang?” (Nanti sore [tolong] aku diantar ke rumah temanku, ya, Bang?)

Saya tak menjawab permintaan itu. Bukan karena saya tak mendengar. Juga bukan karena saya lagi menderita sariawan.

Siang menjelang sore dia sudah bersiap.“Ayo, gek mangkat, Kang!” (Ayo, segera berangkat, Bang!)

Kali ini ajakan itu pun tak saya jawab. Saya justru duduk santai di kursi sebelahnya. Padahal dia sudah berdandan rapi. Tak mengherankan kalau kemudian perasaannya jadi kacau! Betapa tidak! Paginya dia membuat janji dengan temannya. Untuk kemudian pergi ke suatu tempat. Menemui seseorang. Atau, mungkin, beberapa orang. Untuk membuat karya tulis ilmiah (KTI). Laporan hasil penelitian.

Itu H-1 menjelang batas akhir pengumpulan berkas portofolio. Untuk pengajuan usulan sertifikasi sebuah profesi. Saya sudah membantu menghitung nilai yang diperoleh dari seluruh dokumen yang dimiliki. Kurangnya masih banyak. Amat sangat banyak sekali. Untuk lolos melalui portofolio murni. Dikejar dengan 20 keping KTI pun belum lunas.

Hari itu dia diajak temannya. Untuk membuat KTI laporan penelitian. Untuk dikumpulkan keesokan harinya. Kurang dari 1 x 24 jam. Gila! Dia terpikat oleh ajakan itu. Saya yakin, bukan karena dia gelap mata (hati). Melainkan, dia benar-benar gelap wawasan.

“Coba, dipikir! Dalam waktu semalam kau bisa melaksanakan penelitian berapa judul?” Akhirnya saya bukakan jendela wawasannya. “Kalau tinggal membuat laporannya, mungkin bisa menyelesaikan 50 judul. Dengan mengerahkan 50 orang asisten. Asal datanya sudah ada. Sudah diolah. Tinggal menulis laporannya. Kalau mulai dari nol, selesai satu judul pun mustahil!”

“Tapi, temanku bilang bisa.”

“Saya pastikan itu fiktif. Abal-abal. Bisa jadi penelitiannya riil. Datanya riil. Tapi pasti bukan kamu yang melakukan.”

“Terus, bagaimana?”

“Bilang ke temanmu. Suamimu tidak mengizinkan. Kalau kauikuti ajakannya itu, berarti kau akan gunakan KTI bukan karyamu. Kalau kemudian kaudapat sertifikat, berarti sertifikatmu itu abal-abal. Kalau kelak sertifikatmu itu berbuah tunjangan, berarti uang tunjanganmu itu haram. Kau tega makani suami dan anak-anakmu dengan uang haram?”

Dia menangis. Tersedu-sedu. Sambil mengucapkan terima kasih. Saya berpikir positif. Dia betul-betul buta terhadap dunia gelap semacam itu. Bisa jadi, iklan-iklan liar yang melekat di batang pohon, tiang listrik atau telepon, dan tembok itu luput dari penglihatannya. Meskipun tak jauh dari tempat kerjanya, mudah dijumpai iklan tempel seperti itu. Koran yang memuat iklan baris seperti itu juga hadir di tempat kerjanya. Tiap hari. Atau, mungkin juga, dia pernah membacanya. Namun, tak paham pesan yang tersembunyi.


Sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu

Sepucuk pesan singkat (SMS) masuk ke HP saya. Dari nomor yang belum tercatat. Memperkenalkan diri pengirimnya. Kami sudah pernah bertemu. Beberapa kali. Tapi saya merasa belum kenal. Belum pernah ngobrol empat mata. Seperti acaranya Tukul Arwana itu.

Setelah saya balas pesannya, ia menelepon. Mengutarakan maksudnya. Menawari saya proyek. Ia lagi kewalahan. Order-nya terlalu banyak. Saya kebagian sekian judul. Ada skripsi, tesis, dan disertasi. Harus selesai dalam sekian bulan. Harganya sekian, sekian, dan sekian. Bagi hasilnya, saya sekian dan ia sekian. Saya bakal kaya mendadak! Penghasilan jadi berlipat ganda. Yang dari samping itu jauh melampaui yang tengah. Gaji dari pekerjaan pokok, maksud saya.

Ia itu orang resmi. Mengajar di pascasarjana. Perguruan tingginya cukup ternama. Plat merah. Punya reputasi bagus. Ternyata punya bisnis juga! Bisnis begituan! Apakah ia pemain tunggal di kampusnya? Saya kok meragukan itu. Bisa jadi, ia mewarisi dari pendahulunya. Atau, setidaknya, tertular dari seniornya. Dan, boleh jadi, ia juga mewariskan atau menularkan kepiawaiannya kepada juniornya. Atau, jangan-jangan sudah terbentuk mafia?! Atau, jangan-jangan sudah jadi tradisi? Budaya yang termaafkan?

Saya tunggu berita lanjutannya. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Tak kunjung datang. Blaik! Tak jadi kaya, saya. Tak tahu. Siapa yang menggagalkan proyek fantastis itu. Mungkin saja orang dekatnya. Yang mengenal saya. Dia pernah jadi kolega saya. Beberapa tahun. Barangkali ini pertimbangannya: S1 saja tak tamat, masa diberi proyek bikin skripsi dan tesis, bahkan disertasi!

Kesempatan melayang dari depan mata saya. Kesempatan untuk membongkar praktik curang. Di jagat akademik. Padahal saya sudah menyiapkan syarat: harus ada surat perjanjian kontrak kerja. Antara ia dan klien-kliennya. Yang pekerjaannya di-sub-kan kepada saya. Atau, jangan-jangan rencana “jahat” saya ini terbaca oleh orang dekatnya itu. Memang saya pernah menyinggung praktik keji itu. Di sebuah forum yang dia hadiri. Ketika dia dan saya masih menjadi kami dulu.

Kedua pengalaman itu menunjukkan kesamaan motif: saling diuntungkan. Simbiosis mutualisme yang tak bermutu. Demikian juakah motif plagiarisme yang tak kunjung menemukan titik terang? Embuh!

Yang jelas, saya telah gagal mengeruk keuntungan dari kedua peluang itu. Sebagai calon pihak terdampak maupun pelaku. Nasib (entah malang atau mujur ini) belum berpihak kepada saya!

Tabik.


*) Tulisan ini dipungut dari Facebook Note (yang kini hilang dari fitur Fb), 24/02/2020.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da