Pracimantoro, 24 Desember 2018. Selepas magrib. Gerimis kecil masih belum jemu. Membasahi bumi kelahiran saya. Jeng Mantan mengajak saya makan di luar. Tidak lazim. Kalau lagi berlibur di rumah mertua, biasanya dia suka bereksperimen di dapur. Ya, eksperimen. Karena tidak jarang terjadi error.
Kali ini dia ingin mencicipi kuliner khas kampung halaman mantannya. Saya tawarkan warung nasi tiwul. Tidak tertarik. Memang, lidahnya kurang bersahabat dengan nasi gaplek. Alternatif kedua saya tawarkan. Resto Sumber Mirah. Dekat. Di sebelah timur kampung kami. Milik teman sekolah. Seangkatan waktu SMP dulu. Beberapa kali pulang kampung, saya gagal menjajal menunya. Terbentur kesempatan.
Awalnya saya ragu. Tidak gampang mengajak Jeng Mantan bertemu teman sekolah saya. Maklum, dia pencemburu. Dan sadar, mantannya ini pensiunan Arjuna (haha ... sila tertawa). Di luar dugaan, dia setuju. Padahal saya sudah bilang, mungkin nanti bertemu juragannya. Yang teman sekolah saya waktu SMP itu. Yang cantik itu. Yang nama panggilannya bikin jantung saya berdegup kencang itu.
Dengan WinAir, kami berboncengan berdua. Menembus rinai gerimis ringan. Sampai di resto, sambil memarkir sepeda motor, saya menoleh ke arah masjid. Di teras samping masjid ada sesosok perempuan. Mengenakan mukena. Tengah berbincang dengan perempuan lain. Lalu masuk ke masjid. Tampaknya baru akan bersalat magrib. Saya beritahu Jeng Mantan, “Kayaknya itu juragan restonya.” Jeng Mantan heran, kok "kayaknya"? Bisa-bisanya mantannya ragu? Tidak mengenali teman sekolahnya. Rupanya dia sedang lupa bahwa mantannya punya banyak mantan. Terlalu banyak. Hingga sulit mengingat parasnya satu per satu.
Kami terus masuk. Disambut seorang waitress. Cantik. Muda. Menawarkan menu makanan dan minuman. Kami memesan minuman yang sama: teh panas. Untuk makannya, saya pesan thengkleng. Biar tidak ketahuan kalau gigi-gigi saya sudah rapuh. Jeng Mantan memesan garang asem. Maklum. Dia berpantang makan daging kambing. Takut ketagihan.
Teh panas tiba di meja kami. Dua gelas besar. Saya seruput sedikit. Sambil menoleh ke meja sebelah, meja prasmanan. Muncul lagi perempuan yang tadi bermukena. Saya panggil nama teman sekolah yang punya resto, coba-coba. Siapa tahu, dugaan saya benar? Dia menoleh ke arah saya. Lalu berjalan. Menghampiri kami. Bertanya, “Siapa, ya?” Sambil tersenyum. Ramah. Tak kalah ramah dari Mbak waitress yang tadi menyambut kami.
Benar! Ternyata dia masih mengenali saya. “Thik wis tuwek?” celetuknya, spontan. “Alhamdulillah,” batin saya. Coba, seandainya dia bilang, “Kok makin ganteng saja, sih?” Pasti mendadak panas-dingin Jeng Mantan.
Lalu pandangannya beralih. Ke perempuan cantik. Yang duduk berhadapan dengan saya. “Tapi bojone ijik mlunur.” Hasyeeem! Bisa besar kepala itu nanti yang dipuji.
“Jelas, lah, ... kan kerumat?” sahut saya, sekenanya. “Andai dulu kau mau, pasti juga jadi mlunur!” goda saya. Dalam hati.
Kami mengobrol sejenak. Lalu dua piring datang. Diantar perempuan muda. Yang tadi menyambut kami kali pertama. Satu piring berisi garang asem. Masih terbungkus daun pisang. Yang layu akibat dikukus. Satunya lagi berisi nasi. Terlalu banyak. Porsi Jeng Mantan tak sampai separuhnya. Disusul dua piring lagi: sepiring thengkleng dan sepiring nasi lagi. Sama banyaknya dengan yang pertama. Piring nasi kedua saya kembalikan. “Nasinya satu saja. Untuk berdua,” kata saya. Kepada mbaknya.
Lahap sekali kami makan. Berdua. Dengan Jeng Mantan. Tidak seperti biasanya kalau di rumah. Kali ini hanya makan bersama semeja. Piringnya terpisah. Akibat beda selera. Tak butuh waktu lama untuk menuntaskan santap malam. Saya kecewa. Tak bisa ngrikiti daging yang menempel di tulang. Pertanda saya mulai menua. Betul kata teman saya tadi. Yang menjelma jadi juragan itu.
Jeng Mantan beranjak dari kursi. Menuju loket kasir. Belajar meniru gaya orang berduit: membuka dompet. Rajutan tangan. Pernah saya pamerkan di dinding Facebook saya. Cantik sekali. Seperti yang punya. Itu dompet hadiah. Dari teman baik--semoga menuai pahala istimewa di sisi-Nya. Jeng Mantan kecele. Kasir tidak mau menerima. Pesanan makan-minum sudah lunas. Dibayar dengan kemurahan hati sang juragan. Teman SMP saya itu. Persis, seperti yang saya duga. Tepatnya, yang saya harap. Haha ....
Tersipu, Jeng Mantan pura-pura marah kepada teman saya itu. Saya baca bisikan batinnya, “Besok lagi, ya, Mbak?” Tercermin pada air mukanya. Malu-malu berselimut kegirangan.
Kami bergegas berpamitan. Eits ... tertahan di ambang pintu. Ketemu kakak teman saya itu. Yang juga kakak kelas saya. Di SMP yang sama dengan adiknya. Saya sapa. Beliau pangling. Maklum, lama sekali tidak berjumpa. Disusul lelaki lain. Suami teman saya itu. Dikenalkan kepada saya oleh istrinya. Saya menyebut nama, desa asal, dan nama seseorang: kakak sepupu saya. Yang saya yakin, beliau mengenalnya. Kami terlibat dalam obrolan renyah. Beliau orang sukses. Pejabat di salah satu kementerian. Yang juga gemar berbisnis.
Petani. Begitu, beliau menyebut profesinya. Beliau berkisah tentang kiprahnya di kampung halaman. Tentang usahanya di bidang pertanian. Tentang pemberdayaan masyarakat. Tentang kegigihannya mengubah mindset petani tradisional. Termasuk orang tuanya. Yang puas dengan mewarisi pola budidaya tanaman secara turun-temurun. Monoton. Rupanya beliau tak suka banyak ceramah kepada masyarakat tradisional. Kaum petani yang kolot. Bisa-bisa dianggap mengigau. Beliau lebih suka berkampanye dengan menunjukkan bukti.
Kepada kami, beliau tunjukkan kalkulasi hasil budidaya "tanaman asing": labu madu. Beliau mengenalnya ketika belajar di negeri Belanda. Banyak khasiatnya. Untuk kesehatan. Besar pula nilai ekonominya. Menjanjikan. Fantastis. Beliau sudah memanen buah inovasinya. Keberaniannya menyelisihi tradisi masyarakat petani di kampung halamannya. Yang hanya mengenal padi dan palawija itu.
Perbincangan masih seru. Saya belum puas menyimak penuturan beliau yang amat menggugah. Sayang, azan sudah mengumandang. Di masjid restonya. Terpaksa beliau berpamitan. Untuk menunaikan salat. Kami tidak ikut. Salat Isya sudah kami jamak di waktu magrib tadi. Memanfaatkan dispensasi untuk musafir. Kami pun pamit. Kembali ke rumah Simbok. Sambil menenteng tiga buah labu madu.
Silaturahmi yang penuh arti. Pertama, bertemu teman lama. Yang sudah 32 tahun tak pernah berjumpa. Yang sempat membuat saya kesulitan untuk mengingat-ingat sosoknya. Beruntung, ada teman lain. Yang sekampung dengannya. Yang menyebut nama-nama dua kakaknya. Keduanya kakak kelas saya juga. Berurutan. Kedua, makan malam gratis. Enak pula. Ketiga, membawa pulang--juga gratis--labu madu. Buah berkhasiat. Yang baru pertama saya kenal.
Keempat, (sengaja saya pisahkan paragrafnya; karena ini yang paling berharga; dibanding tiga yang sangat berharga tadi) saya bertemu sosok inspiratif. Sukses itu hebat. Tapi, inspiratif jauh lebih bermakna. Menurut saya. Entah, bagaimana respons masyarakat di sekitarnya. Apakah sudah bangkit mengikuti jejak beliau? Atau masih tertegun sebagai penonton? Atau cukup puas menjadi pegawainya? Atau malah sudah merasa pantas untuk berleha-leha? Menikmati uang sewa lahan yang mereka terima darinya? Yang lebih besar daripada hasil bertanam padi atau palawija itu?
Kampoeng Djadjan Sumber Mirah juga merupakan wujud kreativitas beliau. Keberanian juga. Inspirasi bagi masyarakat sekitar. Letaknya di jalur selatan-selatan Jawa. Menghubungkan dua kabupaten kaya destinasi wisata: Pacitan di Jawa Timur dan Gunungkidul di DIY. Lalu lintas wisatawan ramai. Layak untuk ditiru. Bila masyarakat mau. Menangkap peluang. Mengubah peta ekonomi. Semoga.
*) Tulisan ini pernah tayang di https://www.facebook.com/notes/3612685085419220/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar