Langsung ke konten utama

Ketika Semua Harus (Bisa) Menulis

“Halhaaah ... yang penting kamu itu nulis!” 

Begitu, komentar salah seorang guru saya atas keputus(asa)an saya. Tiga huruf di dalam kurung itu opsional: boleh dipakai, boleh juga tidak dipakai. Ada unsur keputusasaan, memang. Akibat kegagalan saya untuk meyakinkan seseorang. Bahwa argumentasi di dalam prosposal saya benar. Secara empiris. Pun solusi yang saya tawarkan. Rasional. Prospektif.

Penolakan atas proposal nakal itu kemudian mengantarkan saya ke sebuah keputusan. Bulat. Memutus rantai ritual akademik. 

Yang penting menulis. Itulah pengakuan jujur dari guru saya itu. Memang, kesimpulan saya, mata rantai yang saya tampik itu beraroma “yang penting menulis”. Tidak harus “menulis yang penting”. Bahkan, praktiknya bisa lebih parah lagi: yang penting setor tulisan. Entah karya sendiri atau belian.

Semua harus menulis. Fardu ain ini sekarang tidak hanya berlaku sebagai ritual untuk memperoleh titel akademik terentu. Syariatnya sudah merambah ke dunia kerja. Menjadi syarat untuk kenaikan pangkat. Atau jabatan? Saya kurang paham.

Yang masih tetap saya kenali: aromanya. Yang penting menulis. Kalau perlu, yang penting setor tulisan. Tak ada uji autentisitas. Toh, itu rumit. Menguras energi.

Dulu, ketika belum musim media digital, saya agak rakus berburu artikel. Di koran-koran. Efektif. Untuk mengasah nalar. Rata-rata cukup begizi. Tentu, ada juga—beberapa—tulisan yang ala kadarnya. Kesan saya: seperti dipaksakan. Titipan, mungkin.

Belakangan, saya jadi malas. Tidak rakus lagi untuk berburu artikel koran. Jenuh, mungkin. Atau kemlakaren. Sudah porsinya banyak, hambar pula. Bayangkan! Dalam satu hari, satu koran bisa memuat 20 artikel. Empat halaman. Masing-masing lima artikel. Secara kualitatif, bahasan dan bahasanya membuat lekas jenuh. Secara kuantitatif, jumlah hidangannya membuat cepat kenyang. Tidak sekadar kekenyangan. Tapi juga menjadikan idle (sempat berhenti lama, mencari-cari padanannya; dan gagal). Dua kondisi itulah yang di dalam bahasa Jawa terwakili oleh satu kata: kemlakaren.

Padahal, dulu biasanya setiap koran memuat hanya dua artikel per edisi. Ada juga yang tiga. Sedikit tapi lezat. Tidak mengenyangkan. Justru membuat makin lapar (biar tidak selalu memakai kata “haus” melulu). 

Mengapa sekarang koran mendadak royal begitu? Itulah ketika semua (yang ingin naik pangkat) harus menulis. Yang penting menulis. Tidak harus menulis yang penting. Tidak penting, yang ditulis itu penting atau tidak. Yang penting menulis. Bahkan, kalau genting, yang penting setor tulisan. Asal, namanya tercacat sebagai penulis. Pada tulisan yang tidak begitu penting itu.

Alkisah, ada seorang aparatur. Titelnya ganda. Berarti, setidaknya sudah 2 kali namanya tercatat sebagai penulis. Pada karya tulis kategori rumit.

Demi mengejar kenaikan pangkat, ia harus menulis artikel. Harus dimuat di media. Datanglah ia menemui orang yang nihil titel. Akibat menolak tuntutan menulis rumit itu. 

Ia utarakan maksud kedatangannya. Ingin dibantu menulis artikel. Ruang di media sudah tersedia. Katanya, redaktur media yang bersangkutan mengundang tulisannya. Tema sudah ditentukan. Ia juga menunjukkan sejumlah artikelnya yang sudah terbit di beberapa media. 

Mulailah timbul pertanyaan: bantuan apa lagi yang dibutuhkan? Media untuk menampung tulisannya sudah ada. Tema sudah oke. Pengalaman menulis artikel sudah cukup. Apa lagi yang dibutuhkan. 

“Saya ini lagi fokus pada tulisan yang lain,” katanya. 

O, mulai terbaca maksudnya. Ia kekurangan tangan. Butuh tangan lain untuk menuliskan isi kepalanya. Si calon asisten—untuk menghaluskan sebutan—tanggap. Dia (biar tidak rancu dengan ia; dan mulai dari sini, Pembaca harus membedakan antara IA dan DIA) minta bahan-bahan yang dibutuhkan untuk diramu menjadi artikel. Sesuai dengan tema yang disodorkan redaktur.

“Itu bisa dicari di YouTube, ya, Pak?” jawabnya. Eh, tanyanya. (PEMBACA HARUS TERSENYUM. TERTAWA TERBAHAK-BAHAK—ASAL JANGAN KETAHUAN GUS BAHA’—JUGA BOLEH).

Dia tidak merespons. Kecuali di dalam hati saja. Lalu dia mengejar, “Barangkali ada regulasi yang bisa dijadikan landasan hukumnya, Pak?”

Tidak dapat dipastikan, ia sadar atau tidak bahwa dia sedang mengujinya. Hari berikutnya ia kirimkan beberapa dokumen. Dia buka, tak satu pun di antara dokumen-dokumen itu match dengan tema. 

Ya sudah. Dia berburu sendiri. Ketemu. Beberapa regulasi. Nyambung. Bahkan ada satu keping transkripsi pidato. Kena banget untuk pijakan mengembangkan gagasan.

Jadilah secarik artikel. Sesuai dengan tema. Panjangnya sudah diukur. Relatif sama dengan kapasitas halaman media yang dituju. Artikel dikirim kepada ia, si pemesan. 

Ia puas. Pas banget, katanya. Dia pikir, selesai sudah urusannya dengan pekerjaan itu. Ternyata ....

Ia kembali datang. Membawa wajah muram. Setelah sebelumnya mengirimkan pesan: artikel 7.000 karakter spasi 1,5. Tak mudah dipahami maksud pesan itu. 

Ternyata, halaman yang—katanya—dijanjikan oleh redaktur sebuah media internal itu zonk (ikut-ikutan generasi milenial saja; saya tak tahu asal-muasal kata zonk itu). Lalu ia hendak menembak media lain. Tergolong media besar pada zamannya. Katanya sudah menghubungi pemimpin redaksinya. Tapi nama yang disebut itu sudah hilang dari susunan organisasi media yang dimaksud. 

Dia makin bingung. Urusan apa lagi yang mesti dibantu? Ternyata, ia minta saran demi melancarkan tembakannya. Wah, berat. Dia sendiri sudah frustrasi untuk mengirim artikel ke media itu. 

Dia berburu informasi. Untuk menemukan dua hal: alamat pos-el dan aturan panjang artikel. Ketemu. Dia buka berkas artikel buatannya dulu itu. Sudah memenuhi kriteria. Jumlah karakter kelebihan sedikit. Tidak perlu dirombak. Masih dalam batas toleransi. 

Ia tanyakan alamat email untuk mengirim artikelnya. Dia buatkan kontak di akunnya, akun ia. Dia tunjukkan cara menampilkan alamat pos-el (saya ragu ejaan bakunya, memakai tanda hubung atau tidak) media itu ketika hendak mengirim surel. 

Respons verbalnya menunjukkan bahwa ia mengerti. Tapi dia ragu, ia benar-benar paham atau hanya pura-pura mengerti. Lalu dia bilang, biasanya media memerlukan biodata penulis. Ia minta contoh. Dia janjikan nanti. Karena dia harus mengerjakan tugas wajibnya. Yang dia dibayar karenanya. 

Contoh biodata terkirim sudah. Beserta contoh surat pengantar. Lamaran untuk menerbitkan artikel. 

Ia mengirim balik surat pengantar buatannya. Minta koreksi. Dia buka. “Ah, kenapa mesti diketik ulang? Bukankah lebih simpel kalau mengganti isinya saja?” batinnya. Dia tahu, surat itu hasil ketikan ulang. Ejaanya berubah (baca: bubrah).

Koreksi selesai. Berkas dikirim balik. Diterima. Buktinya, muncul ucapan terima kasih. Hehehe. Tapi, anehnya ....

Ucapan terima kasih itu diikuti permintaan: alamat posel (kali ini saya tidak ragu lagi, posel ditulis tanpa tanda hubung) media yang diincarnya. Nah, akhirnya terjawab juga keraguannya (keraguan dia). Bahwa sebenarnya ia benar-benar tidak paham ketika dijelaskan kepadanya cara memanggil alamat posel. Jadi, yang benar, ia benar-benar tidak lulus mata kuliah cara bersurel itu.

Sebagai asisten yang baik hati (setidaknya, biar dianggap begitu) dia membalas permintaan itu dengan tutorial berkirim berkas via posel. Semoga ia lulus. Amin.

Kali lain, mbok tidak usah bertipu daya. Setidaknya, kepada diri sendiri. Dengan tidak menipu diri sendiri, dijamin pasti tidak menipu siapa pun. Dan, sedapat mungkin, tak usah berusaha menipu dia. Kalau nekat, ini risikonya: menjadi sasaran doa buruk. Begini, misalnya: semoga artikel itu gagal menemukan ruang tayang. (Siapa tahu, terkabulnya doa buruk itu mengantarkan keduanya—ia dan dia—ke kondisi baik.)

Semua (aparatur) dituntut menulis itu bagus. Menjadi tidak sempurna bagusnya jika tuntutan itu tidak dibarengi tuntunan agar semua BISA menulis. Tulisan yang layak baca (apalagi, laku di media massa) tentu hanya bisa dihasilkan oleh mereka yang bisa menulis. Untuk bisa menulis, tentu siapa pun mesti belajar dan berlatih menulis. Belajar dan berlatih menulis itu tentu proses yang tidak bisa diinstankan seperti mi atau teh. Yang membutuhkan pengakuan sebagai penulis, silakan ikuti prosesnya secara benar dan wajar. Jangan lupa, minta dikawal pasukan andal: sabar.

Yang membuat saya masygul: (1) benarkah menulis (baca: memajang tulisan di media) itu menjadi syarat wajib untuk kenaikan pangkat? (2) jika ya, apakah tulisan itu harus berupa artikel? (3) adakah sanksi tambahan bagi aparatur (selain konsekuensi tidak naik pangkat) yang gagal memenuhi syarat wajib itu?

Bukankah masih amat banyak (untuk mengenang lagu Bintang Kecil) rupa karya yang layak diapresiasi dan diakui sebagai prestasi aparatur? Aneka corak gambar dan lukisan karya Pak Guru Didik Cahlorkidul itu kan juga layak di-cangking bersama keranjang portofolio unjuk kerjanya.

*) Keterangan: Akhirnya artikel itu dimuat di media incarannya. Tapi di versi online. Bukan cetak.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da