Kori adalah sebutan untuk sebuah bukit (atau perbukitan?) di Dusun Randubang, Desa Pare, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri. Dari jalan raya Wonogiri—Pracimantoro, lokasinya dapat diakses melalui jalan lingkar selatan kota Wonogiri, masuk dari sebelah utara Mapolres Wonogiri. Sebelum sampai Dusun Sumber, Desa Pare, kira-kira satu kilometer dari Mapolres, ada jalan naik di sebelah kiri. Mengikuti jalan beton itulah, kita akan menjumpai kawasan penambangan bahan galian C.
Ratusan penambang bekerja di kawasan perbukitan batu itu
sejak pagi hingga sore. Puluhan dump truck hilir mudik, datang kosong
dan pergi penuh muatan batu hasil perontokan bukit. Para pelaku ekonomi berbagi
peran. Ada pemilik lahan yang menyewakan (baca: menjual) bukitnya untuk dikeruk
isinya. Ada pemilik modal yang menjalankan usaha pertambangan, yang lazimnya
sekaligus pemilik alat-alat berat penghancur, penghimpun, dan pengangkut
kandungan bukit. Ada pemilik keterampilan mengoperasikan kendaraan-kendaraan berat
itu. Ada pemilik otot bertenaga yang mengerahkan seluruh kekuatan raganya untuk
melakukan pekerjaan manual dalam kegiatan penambangan yang tidak bisa
dikerjakan dengan mesin. Ada pemilik warung yang melayani kebutuhan perut para
pekerja dan sekaligus pemilik keterampilan mencatat angka-angka yang belum
tunai. Last but not least, ada pemilik keberanian yang “berjasa besar”
dalam mengendalikan sistem pengamanan lokasi tambang.
Di sekitar lokasi tambang itulah, pada Jumat Pon (2/4/21)
sore hingga Sabtu Wage (3/4/21) pagi ada rumah darurat berdiri setengah hati.
Terbuat dari kain, atapnya sekaligus menjadi dinding. Orang-orang menyebutnya
tenda. Itulah ruang yang mempertemukan delapan sahabat lama. Dulu mereka terhimpun
selama tiga tahun (1986—1989) di satu sekolah: SPG Negeri Wonogiri. O, kumpulan
alumni satu almamater? Reuni, ceritanya? Kok, hanya berdelapan? Adakah
ikatan khusus pada masa lalu mereka?
Itulah pertanyaan yang tidak menemukan jawaban untuk
menjelaskannya. Selama menempuh pendidikan di sekolah calon guru yang juga
lekat dengan julukan “Kampus Sendang Lanang” itu, mereka tidak terikat dalam
geng tertentu. Bahkan, di antara mereka ada yang semasa sekolah itu tidak
saling mengenal. Yang dulu sering berkegiatan bareng pun ada yang gagal
menyimpan kenangan. Perjumpaan di jagat maya setelah 30-an tahun berpisah
memaksa mereka bersusah payah mengenang sosok teman-temannya, dan sering gagal.
Alhasil, banyak sahabat lama yang berasa teman baru.
Ide untuk berkemah itu pun tercetus secara tiba-tiba. Salah
seorang di antara mereka pernah melontarkan pertanyaan di grup obrolan sesama alumni, “Bagaimana kalau para mantan Arjuna Sendang Lanang berkemah semalam
saja di Gunung Gandul? Bercengkerama mengenang masa muda sambil ngopi
dan mbakar singkong?”
Sepi. Berminggu-minggu tidak ada respons serius. Agak lama
berselang, baru muncul tanggapan dari seorang teman, “Bagaimana, Bro, kalau ide
pasang tenda itu didadekne?”
Bak ditagih utang, si pelontar gagasan cepat-cepat
menawarkan jadwal. Pendaftaran peserta pun segera dibuka. Enam nama tercatat
sebagai calon peserta. Dibuatlah grup obrolan baru, dengan anggota enam orang itu.
Tiga orang lagi diundang untuk bergabung. Ketiganya memenuhi undangan. Sembilan
orang mulai berunding tentang lokasi kemah, perlengkapan, dan waktu. Dua
personel melakukan survei calon lokasi. Dengan pertimbangan sekenanya,
disepakatilah Bukit Kori sebagai tempat bernostalgia.
Mas Sriyatno, yang tinggal paling dekat dengan lokasi, mulai
sibuk sejak siang. Satu unit tenda milik sekolah tempat pengabdiannya dibawa. Sejumlah
perabot dapur dipinjam dari warung Mbak Sulasi, teman yang berwirausaha di
kawasan pertambangan.
Mas Sutardi Sentot, yang berjanji untuk membantu persiapan
lokasi, sesiang itu masih sibuk memuliakan tamunya dari Semarang. Bersama Mas
Sutito, Mas Tardi menjamu habis-habisan Kang Gw yang datang ke rumahnya
menjelang salat Jumat. Setelah menyeruput teh dan kopi panas serta menyantap
singkong kukus, pisang ambon super besar nan panjang, dan juga jeruk, mereka
bertiga bergegas memenuhi panggilan Jumat. Sepulang dari masjid, ketiganya
disambut sajian makan siang komplet yang disiapkan oleh Mbak Nyonya Sutardi.
Usai menunaikan urusan perut, ketiga jawara Sendang Lanang
beranjak dari Segawe, Purwosari, Wonogiri menuju kampung sebelah. Rutenya
melalui medan cross country, menyeberangi sungai. Syukur, airnya dangkal
dan arusnya tidak deras. Di Dusun Kendil, Manjung, Wonogiri itulah Mas Sutito
tinggal bersama seorang putri cantiknya nan salihah, yang sudah hampir dua
tahun menekuni keahlian akuntansi di SMKN 1 Wonogiri. Di rumah Mas Sutito,
mereka hanya berfoto ria sejenak di serambi. Bertamu kurang beradab itu
terpaksa dilakukan demi mengejar target membersamai Mas Sriyatno si pawang
Kori.
Dari rumah Mas Sutito, ketiganya melanjutkan perjalanan ke
Dusun Pojok, masih dalam wilayah Desa Manjung. Di luar dugaan, dalam perjalanan
mereka melihat BuNga Muara duduk-duduk santai bersama keluarga di teras rumah
kedua orang tuanya. Teman yang satu ini sehari-hari mengabdi sebagai guru di
Ibu Kota. Menyiasati larangan mudik Lebaran, barangkali, dia manfaatkan libur
akhir pekan itu untuk menyungkem ibu-bapaknya di kampung halaman. Kesempatan
bertemu teman jauh tak disia-siakan. Ketiganya mampir meski tidak lama. Seperti
di rumah Mas Sutito, empat sahabat itu cukup berpose di teras dan halaman. Lalu
seorang gadis manis (saking girangnya, ketiga tamu lupa untuk menanyakan
identitas si gadis) bermurah hati memotret dengan kamera ponsel.
Usai melewati “gangguan kecil” (belum puas menikmati
“gangguan” itu, sebenarnya), perjalanan menuju rumah Pakde Parpal Poerwanto
dilanjutkan. Berbekal ancar-ancar yang diberikan Pakde, Mas Sutito memandu
perjalanan dengan yakin. Hanya perlu satu kali bertanya untuk memastikan kebenaran
alamat, rombongan bertiga sampai di tujuan.
Benar-benar sekadar demi memuliakan tamu, Mas Sutardi dan
Mas Sutito segera mohon diri setelah menyerahkan Kang Gw kepada Pakde Parpal.
Tawaran untuk masuk rumah pun ditolaknya secara tegas. Sejurus kemudian kedua
lelaki semanak itu pun lenyap dari pandangan Kang Gw dan Pakde Parpal
yang melepasnya di depan pintu. Kembali ke Segawe untuk mengambil perbekalan,
Mas Sutardi dan Mas Sutito langsung meluncur ke Kori, menyusul Mas Sriyatno.
Sementara, Kang Gw kembali menikmati pemuliaan oleh keluarga
Pakde Parpal. Segelas kopi hitam manis (serupa si tamu) yang disedu Mbak Nyonya
Parpal dan dihidangkan oleh si ragil Ken the Fourth (nama aslinya bukan itu)
segera mengaliri kerongkongan Kang Gw.
Sambil menanti calon-calon tamu yang lain, Pakde Parpal
mengajak Kang Gw meninjau kandang cacing di belakang rumah. Ini bisnis barunya
Pakde dan menjadi perintis di wilayah Wonogiri. Lepas asar, salah seorang yang
ditunggu hadir, Mas Kun Prastowo. Pria kelahiran Slogohimo, Wonogiri yang
berdomisili di Solo itu meluncur dari kampung halamannya. Di sana ia merintis
usaha ternak kambing bersama Badan Usaha Milik Desa (BUM Des).
Satu lagi warga KSGK (Komunitas Sastra Giri Kawedhar)
datang: Mas Lurah Bambang Purmianto. Ia datang super telat lantaran harus mandhégani warganya
yang mantu. Sedianya masih ada dua lagi yang berhasrat untuk bergabung: Mbah
Poncowae Lou (Wonogiri) dan Pak Arih Numboro (Solo). Namun, sejak pagi Mbah
Ponco sudah pamit karena sedang berdukacita, kakak iparnya meninggal. Sedangkan
Pak Arih sore itu minta dimaafkan lantaran batal hadir.
Setelah tidak ada lagi yang ditunggu, ritual santap mi
pentil (baca: pèntil)
segera dimulai. Sayang, Mbak Nyonya Parpal tidak menyediakan daun pisang.
Terpaksa mi pentil dituang di piring porselin lalu diguyur sambal pecel. Tidak
ketinggalan, gembus goreng menemani sajian khas Wonogiri itu. Biasanya Kang Gw
mendadak rakus kalau terkena sihir mi pentil. Tapi sayang, kali ini perutnya telanjur
penuh sejak di Segawe. Maksud hati ingin mberkat, apa daya tuan rumah
tidak menawari.
Usai ritual mi pentil, Kang Gw mohon diri. Dua keping buku
berhasil dikantongi: antologi cerkak (cerita cekak = cerita
pendek berbahasa Jawa) terbitan Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah (BBPJT) dan
antologi geguritan (puisi berbahasa Jawa) karya Mas Lurah Bambang.
Beberapa warga KSGK turut menyumbangkan karyanya dalam antologi cerkak
berjudul Nalika Rembulan Bunder itu: Pakde Parpal Poerwanto (Wonogiri),
Pakde Budi Wahyono (Semarang-Wonogiri), Pak Didit Setyo Nugroho (Wonogiri), Pak
Arih Numboro (Solo-Wonogiri), dan Dikbro Eko Wahyudi Merapi (Kebumen-Sleman).
Sedangkan antologi geguritan karya Mas Bambang, Marang Angin Segara,
tengah diikutkan dalam seleksi untuk menerima anugerah Prasidatama dari BBPJT
tahun 2021.
Ya dua buku itu yang sejatinya mengundang Kang Gw untuk
bertandang ke Pojok. Sementara, kumpul bareng para pujangga itu adalah bumbu
penyedap belaka. (Eits, jangan sepelekan makna bumbu penyedap! Bayangkan sup
iga tanpanya, sebutannya akan berubah menjadi iga rebus!) Siapa tahu, ketularan
gila menulis? Sebenarnya, pertemuan dengan Mbah Ponco menjadi target utama
kedua setelah dua buku itu. Kang Gw belum pernah bertemu langsung dengan seniman
serbabisa yang berpenampilan nyentrik itu.
Dari Pojok, Kang Gw memacu WinAir-100—pesawat beroda dua kebanggaannya—ke Kori. Tepat bersamaan dengan kumandang azan magrib, ia tiba di kemah. Mas Yai Sriyatno Sumber Pare, Mas Bei Sutito Kendil Manjung, Den Mas Sriyadi Sukoharjo (Selogiri), Masbro Parino Selogiri, dan Kak Pembina Yato Girimarto (Ngadirojo) sudah berkumpul. Dua yang menghilang: Masbos Suharso Ponorogo (Slogohimo) dan Masbrew Sutardi Sentot Segawe Purwosari. Kata teman-teman, mereka berdua pamit turun untuk mencari tisu dan air minum.
Belum sempat duduk, buru-buru Kang Gw diboncengkan Mas
Sriyatno menuju warung Mbak Sulasi. Alhamdulillah, yang dikejar belum pulang. Suaminya
menyambut ramah, sementara Mbak Lasi masih sibuk mencuci perabot dapur di
belakang. Tidak lama berselang, Mbak Lasi keluar. Tangan setengah basahnya
dijulurkan. Kang Gw menyambutnya dengan jabat tangan erat. Ceria. Genuine
happiness. Entah mengapa, tampilan bersahaja pada wanita seperti yang
ditunjukkan Mbak Lasi selalu layak mendapat apresiasi. Asam garam kehidupan
telah mengendap membentuk inner beauty.
Setelah mempertemukan Kang Gw dengan Mbak Lasi—yang hanya dua
sampai tiga putaran jarum terpanjang jam—Mas Sriyatno pamit pulang untuk mandi.
Lima teman yang lain menyusul. Yang tiga mampir di masjid untuk salat Magrib, yang
dua langsung ke rumah Mas Sriyatno dan salat di sana. Selesai salat, yang tiga
menyusul naik ke rumah Mas Sriyatno. Selepas isya, semua kembali ke istana, eh,
tenda.
Bro Harso dan Brew Tardi sudah menunggu. Tampak pemandangan
aneh. Ada bakul berisi penuh nasi. Ada stoples sayur, sejumlah plastik berisi
ikan kering, aneka lauk, mete, dan camilan lainnya. Masih ditambah pisang emas,
entah berapa sisir. Ternyata dua pensiunan arjuna Sendang Lanang itu mengelabui
teman-temannya. Tidak sekadar membeli tisu dan air minum, mereka juga dolan
ke Bulusulur. Bejibun makanan itulah oleh-oleh yang diangkut dari sana. Entah
bagaimana skenarionya, yang jelas Mbak Parti Bulusulur mendadak menjadi pemasok
kebutuhan logistik para petapa.
Sebelum ritual santap malam dimulai, Brew Tardi mengambil
ponsel untuk mengabadikan momen berebut centong. Bro Harso menahannya. Ia
bergegas lari menuju motor jumbonya. Sekejap kemudian ia kembali ke tenda dan
membagikan kaus hitam bergambar warok kepada ketujuh temannya. Ia sendiri
memegang satu. Seketika semua berkostum seragam: warok. Maka, jadilah Pasukan
8 Warok Sendang Lanang 89. Ini pun tidak pernah tercium skenarionya.
Betapa peka hati-hati
mulia itu menangkap bisikan samawi
bahwa berbagi tak
kenal kalkulasi untung-rugi.
Betapa ringan
tangan-tangan dermawan itu
menunaikan bisikan
kalbu tanpa mengulur waktu.
Maka, masih adakah
nikmat Tuhanmu yang pantas untuk kaudustakan?
*****
(Bersambung ....)
Suka
BalasHapusMatur nuwun.
HapusKudu di baleni neh dengan personil..sing akeh
BalasHapusInsyaallah. Jumlah personel tergantung minat dan kesempatan teman-teman.
HapusAku suka aku suka...!!
BalasHapusmatur nuwun. salam sehat & bahagia.
HapusPerlu direncanakan, camping dengan KSGK...
BalasHapuspasti terasa hidup menjadi lebih hidup
Tunggu lenyapnya pagebluk kupit. Insyaallah seru.
Hapus