Langsung ke konten utama

Merindukan Cetak Biru Pendidikan Nasional

Peta jalan itu memicu kegaduhan. Fenomena ini tidak jauh berbeda dari pengalaman sementara orang ketika bepergian ke suatu tempat yang belum dikenali secara pasti rutenya. Pada era sekarang makin banyak orang mengandalkan jasa peta digital yang aplikasinya bisa diinstal di telepon pintar. Aplikasi canggih ini memang cukup memanjakan. Hanya dengan memasukkan alamat yang hendak dituju, pelawat akan dipandu menyusuri rute menuju alamat tersebut. Tak perlu repot-repot berhenti di sana sini untuk bertanya. Efisien.

Di balik kecanggihannya, adakalanya aplikasi digital membuat penggunanya kesal. Alih-alih menghemat waktu dan jarak tempuh, kadang-kadang pengguna peta virtual itu justru dibawa berputar-putar tak kunjung sampai ke alamat. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang perjalanannya berujung di tempat angker, kuburan misalnya. Dalam situasi demikian, wajar jika penggunaan jasa peta digital berbuntut kekesalan. Tak aneh pula jika kekecewaan itu dilampiaskan dengan gerutu, caci maki, umpatan, atau sumpah serapah.

Suasana menjadi lebih heboh jika di dalam rombongan lawatan itu ada peserta yang merasa tidak diacuhkan. Misalnya, di situ ada orang yang pernah bertandang ke tempat yang dimaksud. Karena sudah berselang lama, dia lupa-lupa ingat rute menuju ke sana. Ketika sampai di simpang jalan, dia sempat menawarkan arah yang berbeda dari arah yang disarankan oleh peta digital. Tetapi tawaran itu diabaikan. Pemegang peta lebih percaya kepada panduan yang diberikan aplikasi. Setelah terbukti aplikasi canggih itu menyesatkan, dia mendongkol. Perasaan serupa bisa menimpa anggota rombongan yang sempat menyarankan untuk bertanya kepada orang-orang yang dijumpai di perjalanan tetapi tidak dipedulikan oleh pengendali rute. Tidak mustahil, hal itu memicu pertikaian antarpeserta lawatan.

Boleh jadi, kegaduhan dalam menanggapi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020--2035 itu analog dengan ilustrasi di atas. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam urusan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)--saya tidak tega untuk mengalamatkan kepada pribadi Menteri Nadiem--mengandalkan "teropong" mutakhir untuk melakukan pengindraan masa depan pendidikan nasional. Proyeksi yang dihasilkan kemudian dipakai sebagai pijakan untuk merumuskan "peta jalur pelayaran" dari 2020 menuju 2035.

Satu hal yang tampaknya dilupakan Kemdikbud adalah bahwa bahtera pendidikan nasional yang sedang dinakhodai itu kini (2020) sudah berada di tengah samudra, bukan baru ancang-ancang di dermaga. Ada banyak kru yang punya andil dalam sejarah perjalanan kapal itu. Ada yang turut menambal lambung kapal untuk menyelamatkan kapal dari ancaman tenggelam akibat kebocoran. Ada yang turut membentangkan layar untuk menyelamatkan arah perjalanan kapal dari guncangan badai. Ada yang turut mengangkat jangkar ketika kapal baru hendak berangkat dari dermaga. Ada yang turut membangun dermaga dan membuang sauh ketika kapal baru hendak bersandar. Bahkan ada yang berjibaku mengerjakan rancang bangun, membuat kerangka, hingga menyelesaikan prototipenya di galangan sejak kapal raksasa itu belum terbentuk.

Mereka paham bahan-bahan dan desain pembentuk kapal yang kini tengah berlayar di laut lepas itu. Mereka tahu perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan untuk melanjutkan pelayaran nirwatas itu. Mereka sudah mengenali karakter angin, ombak, dan badai yang selama ini kerap hadir sebagai ancaman dan tantangan yang mesti ditaklukkan. Mereka hafal laku tirakat dan mantra yang terbukti ampuh untuk menyingkirkan gangguan makhluk halus yang sering muncul di koordinat-koordinat tertentu.

Memang, kru-kru yang punya peran historis dalam perjalanan bahtera pendidikan nasional itu sudah mengalami sekian kali alih generasi. Namun, tidak disangsikan lagi, peralihan dari generasi ke generasi itu selalu dibarengi dengan pewarisan nilai-nilai, semangat, dan jiwa arung samudra yang tak pernah luntur. Hampir dapat dipastikan, hingga generasi kapan pun nilai-nilai luhur yang diwarisi dari pendahulu mereka itu akan dipegang teguh sepenuh keyakinan. Tidak ada perubahan yang dapat menawar keyakinan yang mendarah daging itu.

Zaman terus berubah, yang kadang terasa begitu cepat dan mengagetkan. Pendidikan menjadi sektor kehidupan yang mutlak dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan yang tengah berlangsung sekaligus mengantisipasi tren perubahan yang akan terjadi. Di situlah peta jalan untuk memandu arah pembangunan pendidikan nasional dari masa kini menuju sekian masa ke depan menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar.

Saya tidak paham persis, apa perbedaan antara peta jalan (road map) dan cetak biru (blue print). Dugaan saya, cetak biru semestinya mendahului peta jalan. Ibarat perencanaan pembangunan rumah, cetak biru adalah gambar rencana; dikerjakan oleh arsitek. Sedangkan peta jalan ibarat rencana pelaksanaan pembangunannya; dikerjakan oleh kontraktor.

Jika analogi ini benar, muncul pertanyaan mendasar, di mana posisi Kemdikbud: arsitek atau kontraktor? Atau, arsitek sekaligus kontraktor? 

Menurut hemat saya, kedudukan dan peran Kemdikbud--demikian pula kementerian-kementerian yang lain--lebih tepat sebagai kontraktor. Bukankah otoritas kementerian dalam hal eksekusi program berbatas waktu sesuai periode kerja kabinet bentukan Presiden? Betul, lembaga kementeriannya tidak akan bubar meski nomenklaturnya cenderung berubah-ubah. Namun tak dapat dimungkiri bahwa langgam kementerian sulit dipisahkan dari gaya dan selera menteri yang memimpinnya.

Jika demikian, lantas siapa yang berperan sebagai arsitek yang diberi kewenangan membuat cetak biru pendidikan nasional itu? Inilah yang perlu digodok melalui kolaborasi jernih. Dulu, ketika terbit Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (PP 19/2005), saya berasumsi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-lah yang akan diserahi amanah ini. Ternyata, hingga generasi keempat ini, BSNP tidak pernah menyentuh perumusan cetak biru itu. 

Lalu siapa?

*) Tulisan ini juga dapat dibaca di Kompasiana

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da