Di balik kecanggihannya, adakalanya aplikasi digital membuat penggunanya kesal. Alih-alih menghemat waktu dan jarak tempuh, kadang-kadang pengguna peta virtual itu justru dibawa berputar-putar tak kunjung sampai ke alamat. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang perjalanannya berujung di tempat angker, kuburan misalnya. Dalam situasi demikian, wajar jika penggunaan jasa peta digital berbuntut kekesalan. Tak aneh pula jika kekecewaan itu dilampiaskan dengan gerutu, caci maki, umpatan, atau sumpah serapah.
Suasana menjadi lebih heboh jika di dalam rombongan lawatan itu ada peserta yang merasa tidak diacuhkan. Misalnya, di situ ada orang yang pernah bertandang ke tempat yang dimaksud. Karena sudah berselang lama, dia lupa-lupa ingat rute menuju ke sana. Ketika sampai di simpang jalan, dia sempat menawarkan arah yang berbeda dari arah yang disarankan oleh peta digital. Tetapi tawaran itu diabaikan. Pemegang peta lebih percaya kepada panduan yang diberikan aplikasi. Setelah terbukti aplikasi canggih itu menyesatkan, dia mendongkol. Perasaan serupa bisa menimpa anggota rombongan yang sempat menyarankan untuk bertanya kepada orang-orang yang dijumpai di perjalanan tetapi tidak dipedulikan oleh pengendali rute. Tidak mustahil, hal itu memicu pertikaian antarpeserta lawatan.
Boleh jadi, kegaduhan dalam menanggapi Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020--2035 itu analog dengan ilustrasi di atas. Sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam urusan pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)--saya tidak tega untuk mengalamatkan kepada pribadi Menteri Nadiem--mengandalkan "teropong" mutakhir untuk melakukan pengindraan masa depan pendidikan nasional. Proyeksi yang dihasilkan kemudian dipakai sebagai pijakan untuk merumuskan "peta jalur pelayaran" dari 2020 menuju 2035.
Satu hal yang tampaknya dilupakan Kemdikbud adalah bahwa bahtera pendidikan nasional yang sedang dinakhodai itu kini (2020) sudah berada di tengah samudra, bukan baru ancang-ancang di dermaga. Ada banyak kru yang punya andil dalam sejarah perjalanan kapal itu. Ada yang turut menambal lambung kapal untuk menyelamatkan kapal dari ancaman tenggelam akibat kebocoran. Ada yang turut membentangkan layar untuk menyelamatkan arah perjalanan kapal dari guncangan badai. Ada yang turut mengangkat jangkar ketika kapal baru hendak berangkat dari dermaga. Ada yang turut membangun dermaga dan membuang sauh ketika kapal baru hendak bersandar. Bahkan ada yang berjibaku mengerjakan rancang bangun, membuat kerangka, hingga menyelesaikan prototipenya di galangan sejak kapal raksasa itu belum terbentuk.
Mereka paham bahan-bahan dan desain pembentuk kapal yang kini tengah berlayar di laut lepas itu. Mereka tahu perbekalan dan perlengkapan yang diperlukan untuk melanjutkan pelayaran nirwatas itu. Mereka sudah mengenali karakter angin, ombak, dan badai yang selama ini kerap hadir sebagai ancaman dan tantangan yang mesti ditaklukkan. Mereka hafal laku tirakat dan mantra yang terbukti ampuh untuk menyingkirkan gangguan makhluk halus yang sering muncul di koordinat-koordinat tertentu.
Memang, kru-kru yang punya peran historis dalam perjalanan bahtera pendidikan nasional itu sudah mengalami sekian kali alih generasi. Namun, tidak disangsikan lagi, peralihan dari generasi ke generasi itu selalu dibarengi dengan pewarisan nilai-nilai, semangat, dan jiwa arung samudra yang tak pernah luntur. Hampir dapat dipastikan, hingga generasi kapan pun nilai-nilai luhur yang diwarisi dari pendahulu mereka itu akan dipegang teguh sepenuh keyakinan. Tidak ada perubahan yang dapat menawar keyakinan yang mendarah daging itu.
Zaman terus berubah, yang kadang terasa begitu cepat dan mengagetkan. Pendidikan menjadi sektor kehidupan yang mutlak dituntut untuk beradaptasi terhadap perubahan yang tengah berlangsung sekaligus mengantisipasi tren perubahan yang akan terjadi. Di situlah peta jalan untuk memandu arah pembangunan pendidikan nasional dari masa kini menuju sekian masa ke depan menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditawar.
Saya tidak paham persis, apa perbedaan antara peta jalan (road map) dan cetak biru (blue print). Dugaan saya, cetak biru semestinya mendahului peta jalan. Ibarat perencanaan pembangunan rumah, cetak biru adalah gambar rencana; dikerjakan oleh arsitek. Sedangkan peta jalan ibarat rencana pelaksanaan pembangunannya; dikerjakan oleh kontraktor.
Jika analogi ini benar, muncul pertanyaan mendasar, di mana posisi Kemdikbud: arsitek atau kontraktor? Atau, arsitek sekaligus kontraktor?
Menurut hemat saya, kedudukan dan peran Kemdikbud--demikian pula kementerian-kementerian yang lain--lebih tepat sebagai kontraktor. Bukankah otoritas kementerian dalam hal eksekusi program berbatas waktu sesuai periode kerja kabinet bentukan Presiden? Betul, lembaga kementeriannya tidak akan bubar meski nomenklaturnya cenderung berubah-ubah. Namun tak dapat dimungkiri bahwa langgam kementerian sulit dipisahkan dari gaya dan selera menteri yang memimpinnya.
Jika demikian, lantas siapa yang berperan sebagai arsitek yang diberi kewenangan membuat cetak biru pendidikan nasional itu? Inilah yang perlu digodok melalui kolaborasi jernih. Dulu, ketika terbit Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan (PP 19/2005), saya berasumsi Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)-lah yang akan diserahi amanah ini. Ternyata, hingga generasi keempat ini, BSNP tidak pernah menyentuh perumusan cetak biru itu.
Lalu siapa?
*) Tulisan ini juga dapat dibaca di Kompasiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar