17 Okt 2020

Berkorban untuk Berkurban

 السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَالِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا اَنْ هَدَانَا اللهُ

اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيْكَ لَهٗ

 وَاَشْهَدُ انَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ لَا نَبِيَّ بَعْدَهٗ

اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلٰي نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ

وَعَلٰي آلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسٰنٍ اِلٰي يَوْمِ الْقِيٰمَةِ

يٰٓأَيُّهَا الّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Kaum muslimin, yang dimuliakan Allah,

Hari ini, Jumat, 31 Juli 2020 Miladiyyah bertepatan dengan 10 Zulhijah 1441 Hijriyyah, Allah subānahū wa ta`ālā izinkan kita berjumpa dengan hari raya Iduladha.

Tiada kalimat yang lebih pantas untuk kita ucapkan daripada ungkapan syukur اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ. Umur panjang ini semata-mata karunia Allah, Zat Yang Maha Pemurah, bukan karena kecermatan dan disiplin kita merawat kesehatan tubuh. Betapa sering kita mendengar kabar tentang seseorang yang sehat dan bugar mendadak bertemu ajal, entah melalui ataupun tanpa melalui peristiwa yang oleh nalar kita bisa diterima sebagai sebab kematiannya. Sebaliknya, betapa banyak kita saksikan pasien kronis yang hingga belasan tahun tak kunjung dijemput ajal.

Mudah-mudahan anugerah umur panjang ini dapat kita berdayakan sebagai modal untuk memerkokoh iman dan takwa kita kepada Allah subānahū wa ta`ālā.

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Salah satu jalan menuju puncak takwa adalah kerelaan untuk berkorban. Sebagaimana hari ini kita kenang kisahnya, khalīlullāh Nabi Ibrahim `alaihissalām telah ditampilkan sebagai sosok teladan dalam menjiwai spirit berkorban. Sepenggal kisah Nabi Ibrahim `alaihissalām beserta keluarga beliau bisa kita simak di dalam Alquran surat As-Ṣāffāt ayat 99—110.

اعوذ با لله من الشيطن الرجيم

وَقَالَ اِنِّيْ ذَاهِبٌ اِلٰى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ ٩٩ رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ ١٠٠ فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ ١٠٢ فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ ١٠٣ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۙ ١٠٤ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١٠٥ اِنَّ هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ ١٠٦ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ ١٠٧ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ ۖ ١٠٨ سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ١٠٩ كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١١٠


 [99]—Dan Ibrahim berkata, “Sungguh, aku harus pergi menghadap Tuhanku, Dia akan memberiku petunjuk. [100]—Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk golongan orang-orang saleh.”

[101]—Maka Kami gembirakan ia dengan berita (kelahiran) seorang anak yang halīm (Ismail). [102]—Maka ketika anak itu (Ismail) mencapai usia sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim berkata, “Wahai, anakku! Sungguh aku telah melihat dalam mimpiku, aku diperintah untuk menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ismail menjawab, “Wahai, ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insyaallah Ayah akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.”

[103]—Maka ketika keduanya telah pasrah, Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (siap menyembelih). [104]—Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! [105]—Sungguh, engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami membalas orang-orang muhsin.

[106]—Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [107]—Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. [108]—Dan Kami abadikan pujian untuk Ibrahim di kalangan generasi belakangan, [109]—“Selamat sejahtera atas Ibrahim.”

[110]—Demikianlah Kami membalas orang-orang muhsin.[110]

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Kehadiran janin di rahim Ibunda Hajar adalah kabar gembira yang luar biasa dampaknya dalam membesarkan hati Ibrahim. Kehamilan Siti Hajar menjadi pelipur lara Ibrahim setelah berpuluh tahun berumah tangga dengan Siti Sarah tanpa keturunan. Sedangkan kerelaan untuk menikahi Siti Hajar itu pun merupakan keputusan pahit. Betapa tidak! Hajar adalah budak Ibunda Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim yang tak kunjung membuahkan keturunan. Dalam pandangan mata lelaki normal, Hajar adalah perempuan yang jauh di bawah standar. Selain statusnya sebagai budak, kulitnya hitam selegam batu candi. Barangkali itulah alasan dia berjuluk “Hajar” (batu).

Di tengah suka cita menyambut kelahiran Ismail, Nabi Ibrahim diperintah untuk memboyong bayi merah itu bersama ibunya ke gurun kering nan tandus, Mekah. Di tengah gurun pasir gersang dan jauh dari permukiman itulah, Siti Hajar yang baru melahirkan ditinggal berdua dengan oroknya yang belum bisa mengasup makanan selain air susu ibunya. Perempuan mana yang tidak hancur hatinya? Suami mana yang tidak bercucuran air mata meninggalkan istri dan bayinya di belantara alam yang ganas semacam itu?

Kelak, ketika sedang senang-senangnya menyaksikan Ismail tumbuh menjadi remaja gagah nan santun, kembali Ibrahim menerima perintah absurd: menyembelih sang putra terkasih!

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Menikahi budak istrinya, menitipkan istri dan bayinya kepada tanah gersang yang nyaris tanpa kehidupan, menyembelih anak remajanya yang tengah melambungkan harapan masa depan ... itu semua lebih dari cukup untuk disebut sebagai pengorbanan.

Ya, Nabi Ibrahim `alaihissalām adalah sosok teladan pemilik jiwa yang sarat spirit pengorbanan. Dan keluarga beliau adalah teladan keluarga yang terdidik dan tercelup dalam telaga nilai-nilai pengorbanan.

Apa yang dikorbankan Ibrahim `alaihissalām dan keluarganya? Dan untuk apa mereka rela mengorbankan semua itu? Dari ego ke superego. Itulah transformasi mental yang dilalui Ibrahim dan keluarganya: mengorbankan ego (berkorban) untuk meraih puncak keluhuran superego (berkurban).

Kemesraan memadu kasih dengan istri cantik rupawan adalah kepuasan ego; sedangkan menikahi perempuan budak dekil demi menyambung rantai pewarisan generasi saleh adalah keluhuran superego (Siti Hajar melahirkan Ismail, yang kelak menurunkan nabi dan rasul pamungkas, Muhammad ).

Kegembiraan menimang bayi molek adalah kesenangan ego; sedangkan mengungsikan orok merah yang baru bisa tergolek lemah ke gurun yang tandus bersama ibunya yang masih letih pascapersalinan adalah panggilan superego (kehadiran bayi Ismail dan Siti Hajar kelak menjadi wasilah bagi lahirnya Kota Mekah yang aman dan makmur hingga kini).

Keseruan ngudang anak perjaka yang tengah beranjak dewasa adalah kebanggaan ego; sementara, kesabaran dalam menerima dan menunaikan perintah menyembelih putra kesayangan adalah kemenangan superego (kelak, ritual penyembelihan ini menjadi wasilah tersebarnya rezeki dalam aneka rupa: gizi bagi penerima daging hewan kurban, laba bagi pedagang dan peternak hewan kurban, dan seterusnya).

Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah teladan paripurna praktik berkorban untuk berkurban: mengorbankan hak-hak pribadi (kekuasaan ego) demi meraih kurban (keintiman dengan Allah almaliku alaq, Pemelihara keluhuran superego). Pantaslah jika selawat atas keluarga beliau selalu bersanding dengan selawat atas Rasulullah Muhammad di dalam setiap salat kita.

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Di setiap waktu dan tempat, kita punya kesempatan untuk meneladani karakter luhur keluarga Nabi Ibrahim: berkorban untuk berkurban.

Seperti saat ini, misalnya. Bernapas secara leluasa adalah hak kita. Namun, akibat bermasker, napas kita terasa sedikit berat. Pada tiap tarikan napas, volume udara yang kita hirup tidak bisa maksimal karena terhalang lapisan masker yang menutupi lubang hidung. Sedangkan karbon dioksida (CO2) yang keluar bersama embusan napas terkurung oleh masker yang sama. Akibatnya, sebagian limbah pernapasan itu terhirup kembali ke paru-paru kita. Hari-hari ini, selama masa pandemi Covid-19, kita korbankan ego untuk menikmati pernapasan secara lega dan leluasa.

Demi apa? Demi memperkecil risiko tertular atau menularkan virus korona. Memang di antara kita ada yang terpapar virus? Justru karena tidak ada kepastian ada paparan atau tidak itulah, superego kita mengajak berikhtiar, sebagaimana dicontohkan keluarga Ibrahim. Adakah diagnosis bahwa Ibunda Sarah mandul dan Siti Hajar subur? Tidak ada. Adakah vonis bahwa Ibrahim tidak punya keturunan jika tidak menikahi Siti Hajar? Tidak ada. Bahkan, kenyataannya kelak lahirlah Ishaq dari rahim Ibunda Sarah. Pun Ibrahim yakin, tidak sulit bagi Allah untuk memberikan keturunan tanpa sebab apa pun kepada beliau, hamba yang dinobatkan sebagai kekasih-Nya.

Ketika berkemah di padang pasir, mengapa Ibunda Siti Hajar mesti bersusah payah lari bolak-balik antara Sofa dan Marwa demi menemukan sumber air untuk menyambung hidup diri dan buah hatinya? Tidak yakinkah dia bahwa suaminya adalah kekasih Allah, sehingga mudah baginya untuk meminta Allah memenuhi apa pun kebutuhannya? Lalu, ketika mendapati air yang dicarinya ke sana kemari justru keluar di sekitar kaki bayinya, menyesalkah Siti Hajar atas usahanya yang menguras energi belaka? Sama sekali tidak!

Begitulah ikhtiar. Nabi Ibrahim sang kekasih Allah saja tak pernah merasa pantas untuk meninggalkan ikhtiar. Mengapa? Karena di dalam ikhtiar terkandung dua pesan. Pertama, manusia dinilai berdasarkan ikhtiarnya; karena hanya berikhtiar itulah hak manusia, sedangkan menentukan hasilnya menjadi hak mutlak Allah semata. Kedua, manusia selayaknya tawaduk menghormati privasi Allah. Takdir adalah rahasia Allah yang tidak layak untuk diintip oleh makhluk-Nya. Jika manusia enggan berikhtiar, seolah-olah ia jemawa, sudah menerima bocoran takdir Allah.

اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ

Mari, kita pungkasi khutbah pagi ini dengan berdoa, semoga Allah anugerahkan kepada kita kecerdasan hati dan nalar untuk meneladani sifat-sifat utama Nabi Ibrahim dan ahli baitnya.

 

اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰي نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰي آلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ

وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسٰنٍ اِلٰي يَوْمِ الدِّيْنِ

وَاجْعَلنَا مِنْهُمْ بِرَحْمَتِكَ يٰٓاَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ

اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ

اَلأَحْيَآءِ مِنْهُم وَالْأَمْوَاتِ

اِنَّكَ السَّمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ

رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَ اِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ

رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ

اَللّٰهُمَّ اَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهٗ

وَاَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ

رَبَّنَا لَاتُزِغْ قُلُوْبَنَابَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَامِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابِ

رَبّنَا لَا تُأٓ خِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْ نَا

رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا

رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَابِهٖ

وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمنَآ اَنْتَ مَوْلٰى نَا فَانْصُرنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ

رَبَّنَا اغْفِرلَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وْارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّيَانَا صَغِيْرًا

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَا اِمَامًا

رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنَ الصَّالِحِيْنَ

رَبّنَآ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأٓخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

رَبَّنَا تَقَبلْ مِنَّا اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمِ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ

وَالْحَمدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ

 

وَالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


*) Khutbah Iduladha 1441 H di Masjid Jami` Ar-Ridho Bukit Kencana Jaya Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer