السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَالِهٰذَا وَمَا كُنَّا
لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا اَنْ هَدَانَا اللهُ
اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا
شَرِيْكَ لَهٗ
وَاَشْهَدُ انَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ
وَرَسُوْلُهٗ لَا نَبِيَّ بَعْدَهٗ
اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلٰي نَبِيِّنَا
مُحَمَّدٍ
وَعَلٰي آلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسٰنٍ
اِلٰي
يَوْمِ الْقِيٰمَةِ
يٰٓأَيُّهَا الّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ
تُقَاتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَا اِلٰهَ
اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ
Kaum muslimin, yang dimuliakan Allah,
Hari ini, Jumat, 31 Juli 2020 Miladiyyah bertepatan
dengan 10 Zulhijah 1441 Hijriyyah, Allah subḥānahū wa ta`ālā
izinkan kita berjumpa dengan hari raya Iduladha.
Tiada kalimat yang lebih pantas untuk kita ucapkan daripada
ungkapan syukur اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ. Umur panjang ini semata-mata
karunia Allah, Zat Yang Maha Pemurah, bukan karena kecermatan dan disiplin kita
merawat kesehatan tubuh. Betapa sering kita mendengar kabar tentang seseorang
yang sehat dan bugar mendadak bertemu ajal, entah melalui ataupun tanpa melalui
peristiwa yang oleh nalar kita bisa diterima sebagai sebab kematiannya.
Sebaliknya, betapa banyak kita saksikan pasien kronis yang hingga belasan tahun
tak kunjung dijemput ajal.
Mudah-mudahan anugerah umur panjang ini dapat kita
berdayakan sebagai modal untuk memerkokoh iman dan takwa kita kepada Allah subḥānahū wa ta`ālā.
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ
الْحَمْدُ
Salah satu jalan menuju puncak takwa adalah kerelaan untuk
berkorban. Sebagaimana hari ini kita kenang kisahnya, khalīlullāh Nabi
Ibrahim `alaihissalām telah ditampilkan sebagai sosok teladan dalam menjiwai
spirit berkorban. Sepenggal kisah Nabi Ibrahim `alaihissalām beserta
keluarga beliau bisa kita simak di dalam Alquran surat As-Ṣāffāt ayat
99—110.
اعوذ
با لله من الشيطن الرجيم
وَقَالَ
اِنِّيْ ذَاهِبٌ اِلٰى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ ٩٩ رَبِّ هَبْ لِيْ مِنَ الصّٰلِحِيْنَ
١٠٠ فَبَشَّرْنٰهُ بِغُلٰمٍ حَلِيْمٍ ١٠١ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ
اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ
يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
١٠٢ فَلَمَّآ اَسْلَمَا وَتَلَّهٗ لِلْجَبِيْنِۚ ١٠٣ وَنَادَيْنٰهُ اَنْ يّٰٓاِبْرٰهِيْمُ
ۙ ١٠٤ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّءْيَا ۚاِنَّا كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١٠٥ اِنَّ
هٰذَا لَهُوَ الْبَلٰۤؤُا الْمُبِيْنُ ١٠٦ وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ ١٠٧ وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِى الْاٰخِرِيْنَ
ۖ ١٠٨ سَلٰمٌ عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ١٠٩ كَذٰلِكَ نَجْزِى الْمُحْسِنِيْنَ ١١٠
[99]—Dan Ibrahim berkata, “Sungguh, aku harus pergi menghadap Tuhanku, Dia akan memberiku petunjuk. [100]—Ya, Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (anak) yang termasuk golongan orang-orang saleh.”
[101]—Maka
Kami gembirakan ia dengan berita (kelahiran) seorang anak yang halīm (Ismail). [102]—Maka
ketika anak itu (Ismail) mencapai usia sanggup berusaha bersamanya, Ibrahim
berkata, “Wahai, anakku! Sungguh aku telah melihat dalam mimpiku, aku diperintah
untuk menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ismail menjawab,
“Wahai, ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu; insyaallah Ayah
akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.”
[103]—Maka
ketika keduanya telah pasrah, Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (siap
menyembelih). [104]—Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! [105]—Sungguh,
engkau telah membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami membalas
orang-orang muhsin.
[106]—Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. [107]—Dan Kami tebus anak itu dengan
seekor sembelihan yang besar. [108]—Dan Kami abadikan pujian untuk Ibrahim di
kalangan generasi belakangan, [109]—“Selamat sejahtera atas Ibrahim.”
[110]—Demikianlah
Kami membalas orang-orang muhsin.[110]
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ
الْحَمْدُ
Kehadiran janin di rahim Ibunda Hajar adalah kabar gembira
yang luar biasa dampaknya dalam membesarkan hati Ibrahim. Kehamilan Siti Hajar
menjadi pelipur lara Ibrahim setelah berpuluh tahun berumah tangga dengan Siti
Sarah tanpa keturunan. Sedangkan kerelaan untuk menikahi Siti Hajar itu pun
merupakan keputusan pahit. Betapa tidak! Hajar adalah budak Ibunda Siti Sarah,
istri Nabi Ibrahim yang tak kunjung membuahkan keturunan. Dalam pandangan mata
lelaki normal, Hajar adalah perempuan yang jauh di bawah standar. Selain
statusnya sebagai budak, kulitnya hitam selegam batu candi. Barangkali itulah
alasan dia berjuluk “Hajar” (batu).
Di tengah suka cita menyambut kelahiran Ismail, Nabi Ibrahim
diperintah untuk memboyong bayi merah itu bersama ibunya ke gurun kering nan
tandus, Mekah. Di tengah gurun pasir gersang dan jauh dari permukiman itulah, Siti
Hajar yang baru melahirkan ditinggal berdua dengan oroknya yang belum bisa mengasup
makanan selain air susu ibunya. Perempuan mana yang tidak hancur hatinya? Suami
mana yang tidak bercucuran air mata meninggalkan istri dan bayinya di belantara
alam yang ganas semacam itu?
Kelak, ketika sedang senang-senangnya menyaksikan Ismail
tumbuh menjadi remaja gagah nan santun, kembali Ibrahim menerima perintah absurd:
menyembelih sang putra terkasih!
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ
الْحَمْدُ
Menikahi budak istrinya, menitipkan istri dan bayinya kepada
tanah gersang yang nyaris tanpa kehidupan, menyembelih anak remajanya yang
tengah melambungkan harapan masa depan ... itu semua lebih dari cukup untuk disebut
sebagai pengorbanan.
Ya, Nabi Ibrahim `alaihissalām adalah sosok teladan
pemilik jiwa yang sarat spirit pengorbanan. Dan keluarga beliau adalah teladan
keluarga yang terdidik dan tercelup dalam telaga nilai-nilai pengorbanan.
Apa yang dikorbankan Ibrahim `alaihissalām dan
keluarganya? Dan untuk apa mereka rela mengorbankan semua itu? Dari ego ke
superego. Itulah transformasi mental yang dilalui Ibrahim dan keluarganya:
mengorbankan ego (berkorban) untuk meraih puncak keluhuran superego
(berkurban).
Kemesraan memadu kasih dengan istri cantik rupawan adalah kepuasan
ego; sedangkan menikahi perempuan budak dekil demi menyambung rantai pewarisan
generasi saleh adalah keluhuran superego (Siti Hajar melahirkan Ismail, yang
kelak menurunkan nabi dan rasul pamungkas, Muhammad ﷺ).
Kegembiraan menimang bayi molek adalah kesenangan ego; sedangkan
mengungsikan orok merah yang baru bisa tergolek lemah ke gurun yang tandus bersama
ibunya yang masih letih pascapersalinan adalah panggilan superego (kehadiran
bayi Ismail dan Siti Hajar kelak menjadi wasilah bagi lahirnya Kota Mekah yang
aman dan makmur hingga kini).
Keseruan ngudang anak perjaka yang tengah beranjak
dewasa adalah kebanggaan ego; sementara, kesabaran dalam menerima dan
menunaikan perintah menyembelih putra kesayangan adalah kemenangan superego
(kelak, ritual penyembelihan ini menjadi wasilah tersebarnya rezeki dalam aneka
rupa: gizi bagi penerima daging hewan kurban, laba bagi pedagang dan peternak
hewan kurban, dan seterusnya).
Nabi Ibrahim dan keluarganya adalah teladan paripurna praktik
berkorban untuk berkurban: mengorbankan hak-hak pribadi (kekuasaan
ego) demi meraih kurban (keintiman dengan Allah almaliku alḥaq,
Pemelihara keluhuran superego). Pantaslah jika selawat atas keluarga beliau
selalu bersanding dengan selawat atas Rasulullah Muhammad ﷺ
di dalam setiap salat kita.
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ
الْحَمْدُ
Di setiap waktu dan tempat, kita punya kesempatan untuk
meneladani karakter luhur keluarga Nabi Ibrahim: berkorban untuk berkurban.
Seperti saat ini, misalnya. Bernapas secara leluasa adalah
hak kita. Namun, akibat bermasker, napas kita terasa sedikit berat. Pada tiap
tarikan napas, volume udara yang kita hirup tidak bisa maksimal karena
terhalang lapisan masker yang menutupi lubang hidung. Sedangkan karbon dioksida
(CO2) yang keluar bersama embusan napas terkurung oleh masker yang sama.
Akibatnya, sebagian limbah pernapasan itu terhirup kembali ke paru-paru kita.
Hari-hari ini, selama masa pandemi Covid-19, kita korbankan ego untuk menikmati
pernapasan secara lega dan leluasa.
Demi apa? Demi memperkecil risiko tertular atau menularkan
virus korona. Memang di antara kita ada yang terpapar virus? Justru karena tidak
ada kepastian ada paparan atau tidak itulah, superego kita mengajak berikhtiar,
sebagaimana dicontohkan keluarga Ibrahim. Adakah diagnosis bahwa Ibunda Sarah
mandul dan Siti Hajar subur? Tidak ada. Adakah vonis bahwa Ibrahim tidak punya
keturunan jika tidak menikahi Siti Hajar? Tidak ada. Bahkan, kenyataannya kelak
lahirlah Ishaq dari rahim Ibunda Sarah. Pun Ibrahim yakin, tidak sulit bagi
Allah untuk memberikan keturunan tanpa sebab apa pun kepada beliau, hamba yang
dinobatkan sebagai kekasih-Nya.
Ketika berkemah di padang pasir, mengapa Ibunda Siti Hajar
mesti bersusah payah lari bolak-balik antara Sofa dan Marwa demi menemukan
sumber air untuk menyambung hidup diri dan buah hatinya? Tidak yakinkah dia
bahwa suaminya adalah kekasih Allah, sehingga mudah baginya untuk meminta Allah
memenuhi apa pun kebutuhannya? Lalu, ketika mendapati air yang dicarinya ke
sana kemari justru keluar di sekitar kaki bayinya, menyesalkah Siti Hajar atas
usahanya yang menguras energi belaka? Sama sekali tidak!
Begitulah ikhtiar. Nabi Ibrahim sang kekasih Allah saja tak
pernah merasa pantas untuk meninggalkan ikhtiar. Mengapa? Karena di dalam
ikhtiar terkandung dua pesan. Pertama, manusia dinilai berdasarkan ikhtiarnya;
karena hanya berikhtiar itulah hak manusia, sedangkan menentukan hasilnya menjadi
hak mutlak Allah semata. Kedua, manusia selayaknya tawaduk menghormati
privasi Allah. Takdir adalah rahasia Allah yang tidak layak untuk diintip oleh
makhluk-Nya. Jika manusia enggan berikhtiar, seolah-olah ia jemawa, sudah
menerima bocoran takdir Allah.
اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ وَ لِلّٰهِ
الْحَمْدُ
Mari, kita pungkasi khutbah pagi ini dengan berdoa, semoga
Allah anugerahkan kepada kita kecerdasan hati dan nalar untuk meneladani
sifat-sifat utama Nabi Ibrahim dan ahli baitnya.
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى
النَّبِيِّۗ
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ
وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰي نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰي
آلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ
وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسٰنٍ اِلٰي يَوْمِ الدِّيْنِ
وَاجْعَلنَا مِنْهُمْ بِرَحْمَتِكَ يٰٓاَرْحَمَ
الرَّاحِمِيْنَ
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ
اَلأَحْيَآءِ مِنْهُم وَالْأَمْوَاتِ
اِنَّكَ السَّمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَ اِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا
وَتَرْحَمنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ
رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا
سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ
اَللّٰهُمَّ اَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا
اتِّبَاعَهٗ
وَاَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
رَبَّنَا لَاتُزِغْ قُلُوْبَنَابَعْدَ اِذْهَدَيْتَنَا
وَهَبْ لَنَامِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً اِنَّكَ اَنْتَ الْوَهَّابِ
رَبّنَا لَا تُأٓ خِذْنَا اِنْ نَسِيْنَا اَوْ اَخْطَأْ نَا
رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَآ اِصْرًا كَمَا
حَمَلْتَهٗ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِنَا
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَابِهٖ
وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْلَنَا وَارْحَمنَآ اَنْتَ مَوْلٰى
نَا فَانْصُرنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ
رَبَّنَا اغْفِرلَنَا ذُنُوْبَنَا وَلِوَالِدِيْنَا
وْارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّيَانَا صَغِيْرًا
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ اَزْوَاجِنَا
وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ اَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِيْنَا اِمَامًا
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنَ الصَّالِحِيْنَ
رَبّنَآ آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْأٓخِرَةِ
حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
رَبَّنَا تَقَبلْ مِنَّا اِنَّكَ اَنْتَ السَّمِيْعُ
الْعَلِيْمِ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ
وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ
وَالْحَمدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
وَالسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
*) Khutbah Iduladha 1441 H di Masjid Jami` Ar-Ridho Bukit Kencana Jaya Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar