Pidato Mendikbud Nadiem Makarim pada upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional 2019 menuai apresiasi luas. Ini kalimat utamanya: “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.”
Kalimat utama tersebut segera diikuti tujuh kalimat penjelas. Ketujuh-tujuhnya berisi potret kontradiksi antara das Sollen dan das Sein yang disandang guru. Khas guru Indonesia, tentu.
Pertama, “Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.” Inilah akar kemerdekaan guru yang tercerabut. Justru seiring pengakuan guru sebagai profesi. Kontraproduktif. Konyol, bahkan. Di belahan dunia mana pun, profesionalisme ditandai dengan otonomi. Guru profesional mestinya bekerja dan berkarya secara otonom. Seorang profesional bertanggung jawab atas dasar kepercayaan (trust-based responsibility). Sementara, regulasi demi regulasi yang mengatur kerja dan karya guru cenderung menempatkan guru sebagai a totally under control labor. Rupanya, pengakuan guru sebagai profesi--yang ditandai dengan tunjangan profesi guru sebesar gaji pokok--dimanipulasi sebagai mahar untuk mengebiri guru. Ya, otonomi guru telah terbeli.
Kedua, “Anda ingin membantu murid yang mengalami ketertinggalan di kelas, tetapi waktu Anda habis untuk mengerjakan tugas administratif tanpa manfaat yang jelas.” Jangankan menginfakkan waktu di luar jam mengajar untuk melayani kebutuhan belajar siswa! Jam mengajar saja tidak jarang terampas untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif. Bayangkan, jika berhelai-helai berkas harus diserahkan siang. Padahal berita tagihannya baru diterima pagi pada hari yang sama! Ironisnya, berkas-berkas yang dihimpun dengan susah payah—disertai pengabaian kewajiban guru sekaligus perampasan hak siswa—itu sering akhirnya hanya teronggok di sudut-sudut kantor urusan pendidikan. Tanpa sempat dilirik mata jeli pejabat pemeriksa. Semua tahu, kepatuhan melunasi tagihan segala rupa dokumen itu demi keamanan karier guru semata: tunjangan ini itu, kenaikan pangkat, promosi jabatan. Tak secuil pun berkontribusi terhadap mutu pembelajaran di kelas.
Ketiga, “Anda tahu betul bahwa potensi anak tidak dapat diukur dari hasil ujian, tetapi terpaksa mengejar angka karena didesak berbagai pemangku kepentingan.” Sejak lahir, ilmu pendidikan (pedagogi) mengakui dan mengenalkan tiga ranah pendidikan: afektif, kognitif, dan psikomotor. Ujian tulis, termasuk ujian nasional (UN), hanya bisa mengukur ranah kognitif. Mustahil ia bisa mengukur kompetensi afektif dan psikomotor. Sedangkan prestasi autentik dalam dunia nyata lebih banyak dibentuk oleh kompetensi afektif dan psikomotor. Tapi kenapa kompetensi kognitif yang selalu didewakan sebagai takaran prestasi sekolah? Siswa peraih nilai UN tertinggi dipuja-puja sebagai siswa paling berprestasi. Sekolah peraih rata-rata nilai UN tertinggi atau pemilik siswa peraih nilai UN tertinggi dielu-elukan sebagai sekolah paling unggul. Lalu memanen predikat sekolah favorit. Kabupaten/kota atau provinsi peraih rata-rata nilai UN tertinggi serta-merta menduduki puncak klasemen daerah paling berhasil membangun pendidikan. Guru mana yang tidak tergoda untuk mengangkat citra siswa, sekolah, kabupaten/kota, dan provinsinya di mata nasional?
Keempat, “Anda ingin mengajak murid keluar kelas untuk belajar dari dunia sekitarnya, tetapi kurikulum yang begitu padat menutup pintu petualangan.” Pembelajaran di luar kelas itu mengasyikkan. Baik siswa maupun guru merasakan keasyikan itu. Tapi kenapa guru begitu tega memberangus keasyikan para siswa? Dan juga keasyikannya sendiri? Apa lagi? Kalau bukan demi mengejar serentetan tes: harian, tengah semester, akhir semester, akhir tahun, akhir sekolah? Mana ada guru yang berani bertemu orang tua murid untuk menyerahkan rapor atau ijazah anaknya yang di dalamnya bertebaran angka nilai merah? Sekolah tak lagi menjadi taman yang menggembirakan dan membahagiakan. Diksi “taman” yang dipakai oleh Ki Hadjar Dewantara sudah lama ditanggalkan. Sudah dilupakan! Bahkan, sudah dihapus dari glosarium pendidikan kita. Kecuali pada jenjang prasekolah.
Kelima, “Anda frustrasi karena Anda tahu bahwa di dunia nyata kemampuan berkarya dan berkolaborasi akan menentukan kesuksesan anak, bukan kemampuan menghafal.” Semua guru paham bahwa bukti autentik penguasaan ilmu pengetahuan adalah amal (karya nyata). Namun, apa daya? Semua pemangku kepentingan mengukur keberhasilan siswa hanya berdasarkan angka-angka semu yang tertera di rapor dan ijazah! Yang sebagian besar terbatas sebagai representasi capaian siswa dalam menghafal pengetahuan faktual dan konseptual! Semua guru tahu dan yakin bahwa manusia ditakdirkan tidak sanggup menjalani hidup seorang diri. Karenanya ia dijuluki sebagai makhluk sosial. Tapi, apa boleh buat? Institusi pendidikan sudah disulap menjadi sirkuit! Ajang kompetisi antarsiswa. Ring pertarungan antarsekolah. Arena adu prestise antardaerah.
Keenam, “Anda tahu bahwa setiap anak memiliki kebutuhan berbeda, tetapi keseragaman telah mengalahkan keberagaman sebagai prinsip dasar birokrasi.” Satu-satunya keberagaman siswa yang masih diakui: peringkat kepintaran yang ditentukan oleh nilai hasil tes/ujian kognitif! Apa yang harus dipelajari, seragam untuk semua siswa dengan berbagai keberagaman. Bagaimana dan dengan apa mereka diajar dan belajar, seragam. Bagaimana mereka menampilkan hasil belajar, seragam. Semua guru pun dituntut tampil seragam. Kecuali dalam hal-hal terkait kasta sosial: status kepegawaian, pangkat dan jabatan, serta (tentu saja) gaji.
Ketujuh, “Anda ingin setiap murid terinspirasi, tetapi Anda tidak diberi kepercayaan untuk berinovasi.” Bagi guru, tantangan berinovasi hanya hadir di ajang lomba. Dalam menjalankan tugas keseharian, inovasi menjadi makhluk langka. Atau tabu, bahkan. Bagaimana sempat berinovasi, jika keenam kemerdekaan yang tersebut terdahulu sudah direnggut dari guru? Forum-forum yang mengumpulkan para guru pun (apa pun tajuk kegiatan dan label penyelenggaranya) hampir selalu berujung pada tiga agenda utama: [1] penyeragaman rencana pembelajaran; [2] penyeragaman buku teks pelajaran; dan [3] penyeragaman alat penilaian hasil belajar. Itu dulu. Ketika saya masih aktif menjadi guru. Sekarang? Tidak, pasti! Tidak berubah! Barangkali. Semoga saya (tidak) salah.
Kini, Mendikbud Nadiem “Milenial” Makarim pasang badan untuk memperjuangkan kemerdekaan belajar. Tetapi, buru-buru ia menimpali dengan pernyataan, “Namun, perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semua berawal dan berakhir dari guru. (Versi saya: semua berawal dari dan berakhir pada guru).”
Di satu sisi, pernyataan itu hendak memantik kesadaran dan mengobarkan semangat guru untuk menjadi pelaku utama perjuangan merebut kemerdekaannya yang sekian lama terenggut. Namun, di sisi lain, sekaligus ia mencerminkan keraguan Mas Menteri akan kesanggupannya mengubah mindset birokrasi pendidikan yang menjadi sasaran perjuangannya. Aroma pesimistis itu juga tercium dari pernyataan sebelumnya, “Perubahan adalah hal yang sulit dan penuh dengan ketidaknyamanan.”
Bagaimana jika kemudian pihak pro status quo mati-matian mempertahankan cengkeramannya? Lalu menciptakan ketakutan pada pasukan yang digadang-gadang menjadi garda depan perjuangan merebut kemerdekaan itu? Atau, jangan-jangan pion-pion itu justru sudah telanjur nyaman menikmati ketakmerdekaan?
Selamat merayakan Hari Guru Nasional! Ibu/Bapak Guru abad ke-21, selamat menyelami alam pikiran Menteri baru yang gelisah memandang wajah pendidikan bangsanya. Mas Menteri Nadiem “Milenial” Makarim, selamat mengarungi lautan pendidikan nasional. Anda boleh yakin, di kedalaman sana terpendam mutiara-mutiara berkilauan. Juga aneka biota unik nan indah memesona. Namun Anda juga sudah menyadari, badai dahsyat silih berganti menggiring ombak ganas yang berpotensi menghempaskan Anda ke dinding karang nan keras dan tajam.
Satu senjata, setidaknya, sudah tergenggam di tangan Anda: merdeka dari ancaman pre-power maupun post-power syndrome. Anda menjadi Menteri tanpa melanggar hierarki senioritas di habitat asal. Begitu pun kelak, setelah pensiun dari Menteri. Anda tak perlu khawatir akan menjadi target balas dendam para senior yang sempat kehilangan superioritas.
Pidato singkat itu cukup membuktikan kepekaan lensa Anda. Salah satu pilar utama pendidikan yang rapuh terbidik dari angle yang pas. Montasenya juga apik.
Akhirnya, “bisnis” baru Anda membutuhkan kejelian dan kepiawaian dalam melumasi segenap gir, rantai, dan sumbu roda penghela kereta pendidikan Tanah Air. Karat yang sudah mengerak tentu rentan terhadap gesekan.
Sebagai penutup, tak bosan saya mengutip kredo yang keliru ini: “The quality of an educational system cannot exceed the quality of its teachers.” (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar