Langsung ke konten utama

Untung, Sempat Nyicil!

Ketika kecil dulu, aku sering dikudang oleh Simbok (panggilan untuk ibu dalam tradisi keluarga kami). Kudangan beliau tidak berbeda jauh dari impian kebanyakan masyarakat petani tradisional desa: mbesuk gedhe dadi dhokter.

Aku berani memastikan, kala itu Simbok tidak memikirkan konsekuensi yang harus ditanggung untuk mengantarkan anaknya mewujudkan kudangan tersebut. Seandainya sempat berpikir tentang hal itu, pasti beliau tidak bakal berani mengungkapkan kudangan sembrono begitu. Kelak aku pun sempat protes karena ternyata beliau tidak wani nggetih untuk mewujudkan kudangannya sendiri. Sebagai pelampiasan kekecewaan itu, kuabadikan cita-cita besar beliau dalam corak tulisan tanganku. Ya, tulisan tanganku mirip tulisan dokter di resep obat.

Baru setelah jadi orang (bukan anak-anak lagi, maksudku), aku memahami maksud kudangan Simbok, yang kini sudah berusia senja. Kudangan itu setidaknya berguna sebagai pelecut agar aku tumbuh bersama impian besar. Dan ... benar-benar gairahku terpantik oleh kekudangan itu. Anganku sering melambung tak terkendali.

Ada janji tersimpan rapi di balik khayalanku. Kalau sudah besar kelak, aku akan membahagiakan Simbok dan Bapak. Dengan berprofesi sebagai dokter, pasti tidak begitu sulit untuk memanjakan kedua orang tua. Apalagi, hanya kemanjaan ala orang-orang desa. Rumah berdinding gedek hadiah Simbah akan segera kusulap menjadi loji termegah di kampung kami, melebihi kemegahan rumah Pak Lurah. Mobil priyayi nyaris tanpa bunyi akan setia membawa Simbok dan Bapak ke pasar untuk membeli pakaian dan perhiasan paling cantik. Keesokan harinya, kendaraan yang tak terbeli oleh harga seluruh ternak milik para tetangga sekampung itu kembali mengantarkan mereka ke pesta pernikahan kerabat di kampung sebelah. Bapak dan Simbok akan segera pensiun sebagai petani gurem, yang setiap musim tanam tiba selalu tercekik utang benih segala macam tanaman dan pupuk yang ditawarkan secara paksa oleh rentenir berlabel KUD.

Imajinasiku tumbuh seliar itu bukan tanpa alasan. Rekam jejak hasil belajarku di sekolah kiranya cukup untuk bekal bermimpi jadi dokter. Kalau toh gagal jadi dokter seperti kudangan Simbok, aku layak untuk mengejar cita-citaku sendiri: insinyur. Itu juga profesi yang cukup potensial untuk membahagiakan orang tua kelak. Namun, selepas SMP aku mesti mengubur dalam-dalam mimpiku untuk memilih salah satu dari dua profesi itu. Sekolah yang dipilihkan untukku tidak memungkinkan mengantarku ke gerbang sekolah dokter ataupun insinyur. Akhirnya, aku pun harus mencari akal untuk mengabadikan cita-citaku. Singkatan gelar insinyur kuabadikan dalam tanda tanganku.

Kendati sudah kehilangan dua alternatif mimpi, aku tak patah arang. Masih menggebu hasratku untuk dapat membuat kedua orang tuaku tersenyum dengan baktiku kelak. Pokoknya, tiada rotan, akar pun jadi. Yang penting, aku harus mengurangi—kalau tidak bisa menghilangkan—kepayahan Simbok dan Bapak seperti yang bertahun-tahun kusaksikan.

***

Untung, janjiku itu hanya kusimpan di benakku sendiri. Tak seorang pun pernah mendengarnya, termasuk telingaku sendiri. Belum lagi lulus sekolah, aku sudah kecantol seorang bidadari (eh, bidadari itu orang atau bukan, ya?). Menghidupi diri sendiri saja belum cukup, aku nekat menantang tanggung jawab untuk memikul kebutuhan anak orang. Utang untuk biaya maskawin saja belum lunas, aku sudah keburu punya anak.

Alih-alih merenovasi rumah tinggal orang tua, untuk mengangsur ongkos kontrak rumah saja aku justru harus mengiris beberapa petak ladang mereka. Jangankan menyediakan "mobil dinas" untuk mereka, untuk membayar uang muka sepeda motor saja aku malah tak sungkan-sungkan menuntun anak sapi mereka ke pasar.

Ketika anakku berumur dua tahun lebih dua bulan, Bapak meninggal. Aku di-tilap-kan. Beliau sakit beberapa hari, aku tidak mendengar kabarnya. Beliau sudah membujur kaku tanpa napas, aku gagal dilacak. Sampai jasadnya dikubur rapat-rapat di perut bumi, aku belum nongol di antara kerumunan pelayat. Jauh di luar dugaan, sejumlah tetanggaku berhasil mengendus persembunyianku. Tak mau membuang-buang waktu, mereka membawaku meluncur ke rumah orang tuaku.

Sekitar empat jam kami menempuh perjalanan dari tempat persembunyianku ke kampung halamanku yang sudah 12 tahun kutinggalkan. Sampai di desa kelahiranku, aku melihat sebuah payung baru tertancap di tanah makam. "Itu pasti kuburan Bapak." Kucoba menyembunyikan air mata duka. Kutahan untuk tak ada isak tangis. Sampai di rumah, yang kudapati tinggal suasana lengang. Simbok, kelima saudaraku, ipar-iparku, keponakan-keponakan, serta beberapa paman dan bibiku menyambut kehadiranku yang terlampau terlambat.

Inikah kutukan yang pas untuk anak senista aku? Jangankan turut memandikan dan mengafani, untuk ikut menyalati jenazah Bapak saja aku tak kebagian kesempatan!

Ketika malam telah larut, ketika orang-orang yang kecapekan mulai terlelap tidur, ketika suara dengkuran mulai terdengar bersahut-sahutan, baru aku membiarkan air mataku meleleh keluar. Kucoba untuk berdoa. Kucoba melafalkan doa yang pernah diajarkan oleh guru-guruku.

"Wahai, Tuhan, ampunilah aku; 
ampuni juga kedua orang tuaku; 
sayangilah keduanya sebagaimana mereka menyayangi aku ketika aku masih kecil."

Tiba-tiba bibirku mengatup rapat. Lidahku kelu. Bagaimana aku berani memohon agar Tuhan menyayangi kedua orang tuaku? Bukankah Dia sudah terlampau banyak mencurahkan kasih sayang-Nya kepada mereka? Bukankah Tuhan tak pernah menghentikan aliran rahmat-Nya seumur hidup mereka? Bukankah Tuhan tak pernah mencabut kembali kasih sayang-Nya yang pernah dilimpahkan kepada mereka?

Demi mendengar permohonanku, seolah-olah Tuhan menamparku dengan jawaban sarkastik, "Tidak malukah kau memintakan kasih sayang-Ku untuk kedua orang tuamu? Tidak tampakkah olehmu aliran kasih sayang-Ku kepada mereka yang tak pernah putus selama ini? Bukankah kau yang semestinya membalas kasih sayang mereka? Bukankah mereka mencurahkan kasih sayang kepadamu tidak sebatas ketika kau masih kecil? Bukankah kau terus menguras kasih sayang mereka hingga kau setua ini? Dan ... bukankah mereka tak pernah jenuh atau enggan untuk meneruskan kasih sayang-Ku kepadamu, wahai, hamba yang tolol?"

Duh, Gusti! Berhari-hari aku tak berani mengulang doa itu. Sampai akhirnya pujian seorang tetanggaku berhasil membesarkan hatiku.

"Memang tidak sia-sia didikan bapakmu dulu, Kang. Sudah bertahun-tahun menjadi orang kota, setiap pulang ke kampung kau masih tidak lupa ngangsu untuk mengisi gentong sampai penuh. Bapakmu benar-benar berhasil memupuk anak-anaknya," komentar tetanggaku itu ketika bertemu dengan aku, yang tengah memikul sepasang jerigen berisi air di jalan.

Sejak itu aku kembali berani berdoa, memintakan kasih sayang-Nya untuk kedua orang tuaku, terutama Bapak, yang sudah berpulang. Ya, semoga sisa-sisa memar di kedua pundakku bekas beban pikulan, kapal di kedua telapak tanganku bekas alu dan pukulan kedelai, serta bekas luka sayatan sabit yang bertaburan di punggung tanganku layak kupamerkan kepada Tuhan sebagai bukti cicilan baktiku kepada Bapak dan Simbok. Cicilan baktiku itu semoga cukup sebagai sumbu keberanianku untuk mengiba kepada-Nya.

Tak terbayangkan, seandainya semasa kecil dulu aku tidak "dipupuk" oleh Bapak dan Simbok dengan cara seperti itu, mungkin seumur hidup aku tak punya catatan cicilan bakti anak kepada orang tua.

Terima kasih, Pak. Matur nuwun, Mbok. Thank You, Allah, Engkau anugerahkan kepadaku sepasang orang tua tradisional, yang sanggup mendidik anak-anaknya secara bersahaja.


Komentar

  1. Sungguh inspiratif....
    Suatu realitas hidup yang benar-benar reality. Untuk sahabatku yang lain, simak dan teladani ide cerita ini. Segeralah bertanya kepada diri sendiri tentang:
    1. Jangan bertanya apa yang telah diberikan ortu kepada(mu), tapi bertanyalah (dirimu) tentang apa yang telah (kau)berikan kepada ortu?
    2. Saya yakin diantara kalian tak ada yang 'kurang berbakti' kepada ortu, namun seandainya ada, cerita Kang Teguh adalah guru yang baik bagi anda.
    3. Sebelum anda terlambat, (sekali lagi) renungkan, jangan sampai ada sesuatu yang hilang dari makna inspirasi Kang Teguh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Akang Janto: thanks for reading n commenting. Great comment! Lots, lots thanks, Bro...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da