25 Jul 2024

Gawai, Medsos, dan Guru

Sekitar tahun 2007 atau 2008 saya mengikuti sebuah pelatihan. Penyelenggaranya sebuah produsen sabun mandi. Pesertanya guru-guru sekolah dasar (SD) se-Kota Semarang. Tentu, hanya sekolah-sekolah yang mendapat undangan yang dapat mengirim delegasi. Selain saya, dari sekolah kami ada satu guru yang turut hadir: Pak Parno. Senior saya itu telah berpulang sekitar 10 tahun yang lalu.

Sebelum pelatihan dimulai, panitia membagikan kantong plastik bening dan potongan kertas kecil kepada semua peserta. Di kertas sesobek itu kami diminta menulis nama dan asal sekolah masing-masing. Kertas beridentitas itu kami masukkan ke dalam kantong plastik seukuran bungkus gula seperempat kilogram.

"Bapak/Ibu, silakan berkabar kepada orang-orang yang penting dalam hidup Anda hari ini," aba-aba seorang panitia. "Setelah cukup, silakan matikan HP Anda, lalu masukkan ke kantong plastik yang sudah berisi 'kartu nama'," lanjutnya.

Saya segera ber-SMS, "Beng, HP meh disita panitia. Selama pelatihan ora oleh nyekel HP. Engko dienteni satekaku wae. Nek acarane wis bar, engko takkabari."

SMS saya kirimkan ke nomor istri. Istri saya sendiri, tentu. Saya tidak tahu, pada zaman itu sudah musim telepon pintar atau belum. Yang jelas, ponsel saya masih model kuno. Hadiah ketika istri saya membeli sepeda motor. Fungsinya—tepatnya, saya memfungsikannya—hanya tiga: telepon, SMS, dan alarm.

Hari itu istri saya lagi manja. Berangkat minta diantar, pulang minta dijemput. Jam kepulangannya lebih awal daripada berakhirnya kegiatan saya.

Semua peserta menyerahkan ponsel kepada panitia yang sudah menunggu di luar ruang pelatihan. Ponsel-ponsel berbagai merek berjajar-jajar di meja yang teronggok di sudut teras kecil sebelum tangga turun ke lantai dasar. Selama pelatihan berlangsung—sejak pembukaan, sekitar pukul 8 pagi, sampai penutupan, tepat bersamaan azan magrib—semua ponsel tertawan bersama kantong plastiknya di meja itu.

***

Sebulan yang lalu, selama dua hari saya berkumpul dengan guru-guru di sebuah sekolah. Kami belajar manajemen kelas.

"Ibu-Ibu (kebetulan, kesepuluh teman saya itu perempuan semua) tahu, ini apa?" seloroh saya sambil mengacungkan ponsel, mengawali kegiatan belajar.

Sudah dapat ditebak, jawaban mereka kompak: "HP."

Saya berjalan dua langkah ke kanan. Ponsel saya taruh di lantai panggung di kanan saya. Kemudian saya bercerita agak panjang.

"Saya memakai nada dering berbeda antara panggilan suara dan notifikasi pesan. Nanti kalau terdengar nada dering notifikasi pesan masuk, ponsel saya cuek-kan. Orang yang berkabar lewat pesan tertulis, saya anggap bisa menunggu respons tertunda. 

Kalau ada nada dering panggilan, baru saya akan menengoknya. Kalau panggilan datang dari orang yang tidak begitu penting bagi saya, apalagi dari nomor yang tidak saya kenal, saya akan mengabaikannya. 

Kalau panggilan dari keluarga, saya akan minta izin Ibu-Ibu untuk menerima telepon. Keluarga saya tidak pernah menelepon saya pada jam kerja, kecuali sangat penting atau genting. Kalau Ibu-Ibu mengizinkan, saya akan bawa ponsel ke luar. Saya tidak rela, Ibu-Ibu mencuri dengar rahasia di antara kami."

Teman-teman saya tampak khusyuk menyimak.

"Nah," sambung saya, "kalau Ibu-Ibu sependapat dengan saya, silakan ikuti."

Satu per satu, sepuluh teman saya itu—satu sangat senior dan sembilan amat junior—menyerahkan ponselnya ke panggung tak bertuan di belakang saya.

***

Dua cerita tadi seratus persen nyata. Sedangkan cerita berikut ini nonfiksi belaka. (Aduh, kumatnya mulai kambuh! 😜)

Syahdan, orang-orang terlihat khusyuk dalam salat berjemaah. Usai memungkasi salat dengan dua salam, mereka masih bertahan dalam kekhusyukan zikir. Masing-masing bersimpuh khidmat. Ada yang melafazkan kalimat-kalimat wirid secara jahar. Sebagian yang lain bermunajat secara sir. Tampaknya mereka berzikir dan berdoa dengan redaksi yang dihafal masing-masing.

"Ups, ada yang belum hafal," batin saya demi menyaksikan ada yang merogoh dan mengeluarkan ponsel dari sakunya begitu selesai salam.

"Kasihan," batin saya lagi ketika ia mulai membuka layar gawainya, "ia masih harus wiridan dengan membaca teksnya."

Akhirnya saya harus curiga. Ujung jarinya sibuk menggulir-gulir layar ponselnya ke atas dan ke bawah. Kalau yang dibuka teks wirid, tentu menggulirnya ajek. Mustahil redaksi zikir tidak disusun urut dari atas ke bawah.

Saya jadi ketagihan mengintai. Penasaran: buka gawai begitu salat selesai itu insidental karena penting bin genting atau sudah menjadi rutinitas.

"Duh!" desah saya kali lain. "Tidak cuma scrolling! Mengetik juga!"

Kali lain lagi, jarinya tidak aktif menyentuh layar. Pandangan matanya tampak serius menatap layar. Lalu ia tersenyum-senyum sendiri.

Kali ini lain lagi dari kali-kali yang sudah lain tadi. Momennya pun berbeda. Ikamah sudah selesai dikumandangkan. Imam sudah bersiap untuk takbiratulihram. Barisan makmum sudah menata saf. Sambil merapat ke makmum lain, ada yang masih memegang ponsel. Layarnya masih terbuka. Eits, malah ditunjukkan kepada makmum sebelahnya. Sepertinya konten lucu. Yang satu tersenyum siput. Satunya yang lain agak tergelak.

Menilik locus decasus-nya, saya memastikan bahwa jemaah salat itu komunitas pendidik. Dalam hal daya literasi, niscaya sudah cukup terdidik. Bertolak dari sana, saya yakin tulisan ini mampu mengubah cerita nonfiksi ini menjadi fiksi. Artinya, segera setelah terbaca, cerita ini akan mengakhiri status nonfiksinya. Ketika dibaca pada hari berikutnya, cerita ini berubah menjadi fiksi. Artinya, esok hari kejadian serupa sudah tidak dapat dijumpai di dunia nyata.

Adapun misalkan tulisan ini tidak mempan, jurus maut mesti dikeluarkan. Di dekat pintu masuk ruang ibadah disiapkan meja. Di pintunya dipasang mantra sakti: TINGGALKAN GAWAI DI SINI! lengkap dengan tanda panah mengarah ke meja. Boleh ditambah panglulu: AMBIL KAPAN SAJA ANDA MAU. Jurus dan mantra pemungkas ini jauh dari jangkauan otoritas penulis cerita ini. Hak untuk mengeksekusinya ada di tangan pemegang wewenang resmi. 

Guru abad kedua puluh satu tidak melek gawai dan segala kecanggihan fiturnya memang wagu. Namun, guru dengan kecakapan teknologi informasi nomor satu tetapi buta adab penggunaan gawai jelaslah saru. Yang tidak wagu boleh digugu. Yang saru pantang ditiru.


Tabik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer