26 Feb 2024

Menyikapi Keberagaman Sistem Keberagamaan

 

Sumber gambar: artikula.id/pixabay.com

Kamis (22/02/2024) malam saya mengikuti rapat takmir masjid di lingkungan tempat tinggal kami. Agendanya pembahasan rencana kegiatan Ramadan. Kudapannya kacang rebus, onde-onde, dan molen pisang. Minumannya air putih dalam kemasan botol plastik. Andaikan ketahuan siapa itu, barangkali panitia akan di-bully: tidak ramah lingkungan.

Sahabat saya, salah seorang peserta rapat, usul: penceramah yang isi ceramahnya berpotensi memicu perpecahan perlu ditegur. Ramai mengemuka tanggapan dengan sudut pandang beragam.

Tafsir saya, isi ceramah yang dimaksud adalah pandangan atau pendapat yang berbeda dari ajaran yang sudah diyakini dan diamalkan oleh sebagian jemaah. Maka, saya melontarkan tip: menyimak ceramah agama itu seperti menonton kampanye.

Kalau telanjur hadir di kampanye regu A, ya, kita simak saja isi kampanyenya. Kalau visi, misi, dan programnya tidak sesuai dengan isi kepala kita, ya, tinggal kita putuskan di bilik suara: tidak mencoblos kolom A. Tidak perlu kita bersusah payah mengatur agar regu A menyampaikan materi kampanye yang sejalan dengan pikiran dan cita-cita kita.

Esoknya saya terperangah. Ramai di media daring, pemberitaan kasus kericuhan di calon tempat pengajian. Pemicunya, penolakan suatu kelompok terhadap ustaz yang dijadwalkan mengisi kajian. Alasannya, sang ustaz suka menyalah-nyalahkan pemahaman, keyakinan, dan praktik keagamaan kelompok tersebut. Ditambahkan “bumbu”: sang ustaz suka memecah belah umat.

Dugaan saya masih sama: yang dimaksud memecah belah adalah menyampaikan pandangan yang berbeda dari ajaran yang sudah mapan dalam sistem religi yang dipahami, diyakini, dan dipraktikkan oleh kelompok yang menolak. Mengapa yang dinarasikan kemudian frasa “memecah belah”?

Dai, juru dakwah, atau pendakwah adalah idiom yang dipakai untuk menjuluki orang yang aktif menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Kalangan Kristen tampaknya lebih akrab dengan sebutan misionaris untuk “profesi” serupa. Kaum politik menyebutnya juru kampanye. Jemaah medsos punya julukan kekinian: influencer.

Pendakwah punya misi memengaruhi pikiran jemaah agar menerima ajaran yang disampaikannya. Adakalanya, ajaran itu oleh sementara jemaah diterima sebagai koreksi atas pemahaman dan keyakinannya terdahulu. Kelompok yang terbuka ini cenderung beralih mengikuti “ajaran baru” dan menanggalkan “ajaran lama”.

Di pihak lain terdapat kelompok yang tertutup. Mereka menganggap pendakwah “ajaran baru” itu sebagai pencela “ajaran lama” yang sudah mendarah daging. Kehadiran pendakwah “ajaran baru” dipersepsikan sebagai ancaman terhadap wibawa dan otoritas institusi dan pribadi pengusung dan penjaga “ajaran lama”.

Dari sanalah, tampaknya, dibangun narasi “memecah belah”. Umat yang semula seragam dalam sistem keberagamaannya, cepat atau lambat akan berubah menjadi beragam. Praktik ritual tertentu yang semula diikuti oleh seluruh umat setempat, mulai ditinggalkan oleh sebagian dari mereka. Otoritas keagamaan tidak lagi menjadi monopoli satu institusi atau seorang pemuka.

Jadi, sejauh amatan saya, memecah belah itu tidak secara nyata diagendakan oleh pendakwah golongan mana pun. Tiap-tiap pendakwah hanya bermaksud menyampaikan ajaran yang diyakini sebagai kebenaran dan mengajak objek dakwah untuk mengikuti keyakinannya. Tentu, keyakinan itu diperoleh melalui proses pencarian yang panjang, penelusuran yang rumit, serta verifikasi yang ketat dan berjenjang.

Sejak kelahirannya, Islam telah berkembang melintasi waktu yang panjang dan menjangkau ruang-ruang yang jauh. Tidak terelakkan, perbedaan ruang dan waktu itu memengaruhi corak interpretasi, baik metodologi maupun hasilnya. Kalangan ulama yang rāsikh umumnya cukup toleran dan akomodatif terhadap perbedaan interpretasi, setajam apa pun, sepanjang hanya pada tataran furuk (cabang).

Penolakan terhadap “ajaran baru” itu sebenarnya sah-sah saja. Yang perlu dikelola secara arif ialah modus penolakannya. Jika penolakannya cukup diekspresikan dengan tidak hadir di forum dakwah “ajaran baru” itu, kiranya dunia akan tetap damai dan tenteram. Lain halnya jika penolakannya dimanifestasikan dengan mengalangi kehadiran pendakwah di lokasi tertentu, niscaya akan pecah konflik antarjemaah pemeluk agama yang sama.

Memberikan kesempatan kepada pendakwah “ajaran baru” untuk menjalankan misinya di tengah-tengah komunitas yang mayoritas pengikut “ajaran lama” memang menuntut sikap terbuka dan legawa. Sikap toleran ini mudah ditumbuhkan jika tidak ada pihak yang mendaku sebagai penguasa teritorial dakwah dan pemegang hegemoni atas objek dakwah di suatu wilayah.

Dengan demikian, tidak perlu ada pihak yang merasa berwenang mengeluarkan “paspor” dakwah di lingkungannya. Bukankah dahulu nabi-nabi kepercayaan Tuhan juga diutus di tengah-tengah masyarakat yang sudah memeluk “agama” secara turun-temurun?

Apalagi, jika kehadiran seorang pendakwah di sana atas undangan jemaah setempat. Berarti, di wilayah tersebut sudah ada pengikut “ajaran baru” yang dibawa si pendakwah. Ini mirip peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. ke Yaṡrib, yang kelak menjadi Madīnah al-Munawwarah.


Tabik.

Artikel ini telah tayang di Kompasiana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer