Sumber gambar: artikula.id/pixabay.com |
Kamis (22/02/2024) malam saya mengikuti rapat takmir masjid
di lingkungan tempat tinggal kami. Agendanya pembahasan rencana kegiatan
Ramadan. Kudapannya kacang rebus, onde-onde, dan molen pisang. Minumannya air
putih dalam kemasan botol plastik. Andaikan ketahuan siapa itu, barangkali
panitia akan di-bully: tidak ramah lingkungan.
Sahabat saya, salah seorang peserta rapat, usul: penceramah yang isi ceramahnya berpotensi memicu perpecahan perlu ditegur. Ramai mengemuka tanggapan dengan sudut pandang beragam.
Tafsir saya, isi ceramah yang dimaksud adalah pandangan atau
pendapat yang berbeda dari ajaran yang sudah diyakini dan diamalkan oleh
sebagian jemaah. Maka, saya melontarkan tip: menyimak ceramah agama itu seperti
menonton kampanye.
Kalau telanjur hadir di kampanye regu A, ya, kita simak saja
isi kampanyenya. Kalau visi, misi, dan programnya tidak sesuai dengan isi
kepala kita, ya, tinggal kita putuskan di bilik suara: tidak mencoblos kolom A.
Tidak perlu kita bersusah payah mengatur agar regu A menyampaikan materi
kampanye yang sejalan dengan pikiran dan cita-cita kita.
Esoknya saya terperangah. Ramai di media daring, pemberitaan
kasus kericuhan di calon tempat pengajian. Pemicunya, penolakan suatu kelompok
terhadap ustaz yang dijadwalkan mengisi kajian. Alasannya, sang ustaz suka
menyalah-nyalahkan pemahaman, keyakinan, dan praktik keagamaan kelompok
tersebut. Ditambahkan “bumbu”: sang ustaz suka memecah belah umat.
Dugaan saya masih sama: yang dimaksud memecah belah adalah
menyampaikan pandangan yang berbeda dari ajaran yang sudah mapan dalam sistem
religi yang dipahami, diyakini, dan dipraktikkan oleh kelompok yang menolak.
Mengapa yang dinarasikan kemudian frasa “memecah belah”?
Dai, juru dakwah, atau pendakwah adalah idiom yang dipakai
untuk menjuluki orang yang aktif menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat. Kalangan
Kristen tampaknya lebih akrab dengan sebutan misionaris untuk “profesi” serupa.
Kaum politik menyebutnya juru kampanye. Jemaah medsos punya julukan kekinian: influencer.
Pendakwah punya misi memengaruhi pikiran jemaah agar
menerima ajaran yang disampaikannya. Adakalanya, ajaran itu oleh sementara
jemaah diterima sebagai koreksi atas pemahaman dan keyakinannya terdahulu. Kelompok
yang terbuka ini cenderung beralih mengikuti “ajaran baru” dan menanggalkan
“ajaran lama”.
Di pihak lain terdapat kelompok yang tertutup. Mereka
menganggap pendakwah “ajaran baru” itu sebagai pencela “ajaran lama” yang sudah
mendarah daging. Kehadiran pendakwah “ajaran baru” dipersepsikan sebagai
ancaman terhadap wibawa dan otoritas institusi dan pribadi pengusung dan
penjaga “ajaran lama”.
Dari sanalah, tampaknya, dibangun narasi “memecah belah”.
Umat yang semula seragam dalam sistem keberagamaannya, cepat atau lambat akan
berubah menjadi beragam. Praktik ritual tertentu yang semula diikuti oleh
seluruh umat setempat, mulai ditinggalkan oleh sebagian dari mereka. Otoritas
keagamaan tidak lagi menjadi monopoli satu institusi atau seorang pemuka.
Jadi, sejauh amatan saya, memecah belah itu tidak secara
nyata diagendakan oleh pendakwah golongan mana pun. Tiap-tiap
pendakwah hanya bermaksud menyampaikan ajaran yang diyakini sebagai kebenaran
dan mengajak objek dakwah untuk mengikuti keyakinannya. Tentu, keyakinan itu
diperoleh melalui proses pencarian yang panjang, penelusuran yang rumit, serta
verifikasi yang ketat dan berjenjang.
Sejak kelahirannya, Islam telah berkembang melintasi waktu
yang panjang dan menjangkau ruang-ruang yang jauh. Tidak terelakkan, perbedaan
ruang dan waktu itu memengaruhi corak interpretasi, baik metodologi maupun
hasilnya. Kalangan ulama yang rāsikh umumnya cukup toleran dan
akomodatif terhadap perbedaan interpretasi, setajam apa pun, sepanjang hanya pada
tataran furuk (cabang).
Penolakan terhadap “ajaran baru” itu sebenarnya sah-sah
saja. Yang perlu dikelola secara arif ialah modus penolakannya. Jika penolakannya
cukup diekspresikan dengan tidak hadir di forum dakwah “ajaran baru” itu,
kiranya dunia akan tetap damai dan tenteram. Lain halnya jika penolakannya
dimanifestasikan dengan mengalangi kehadiran pendakwah di lokasi tertentu,
niscaya akan pecah konflik antarjemaah pemeluk agama yang sama.
Memberikan kesempatan kepada pendakwah “ajaran baru” untuk menjalankan
misinya di tengah-tengah komunitas yang mayoritas pengikut “ajaran lama” memang
menuntut sikap terbuka dan legawa. Sikap toleran ini mudah ditumbuhkan jika
tidak ada pihak yang mendaku sebagai penguasa teritorial dakwah dan pemegang hegemoni
atas objek dakwah di suatu wilayah.
Dengan demikian, tidak perlu ada pihak yang merasa berwenang
mengeluarkan “paspor” dakwah di lingkungannya. Bukankah dahulu nabi-nabi
kepercayaan Tuhan juga diutus di tengah-tengah masyarakat yang sudah memeluk
“agama” secara turun-temurun?
Apalagi, jika kehadiran seorang pendakwah di sana atas undangan
jemaah setempat. Berarti, di wilayah tersebut sudah ada pengikut “ajaran baru”
yang dibawa si pendakwah. Ini mirip peristiwa hijrahnya Rasulullah saw. ke Yaṡrib,
yang kelak menjadi Madīnah al-Munawwarah.
Tabik.
Artikel ini telah tayang di Kompasiana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar