Langsung ke konten utama

Semalam di Bukit Kori #2 (Habis)

Ini kegiatan yang dirancang secara grusa-grusu tapi berakhir mubra-mubru. Sedari awal tak jelas struktur organisasinya. Juga tak ada job descriptions. Apalagi sampai standard operating procedure-nya, blas! 

Sebenarnya sempat beberapa kali muncul pertanyaan, “Aku kebagian bawa apa?” Tapi—seperti lazimnya soal ujian untuk anak sekolah—pertanyaan terbuka macam itu selalu memantik keraguan untuk menjawabnya. Takut salah. Kali lain, tawaran kesanggupan mengemban tugas itu dirumuskan dalam soal pilihan ganda saja.

Seperti ini, misalnya:

Perlengkapan yang harus saya bawa adalah ....

A. anglo

B. baskom

C. ceret

D. dandang

E. enthong


Juga pernah muncul pertanyaan, “Kumpul di mana? Jam berapa?” Lagi-lagi, pertanyaan ini tidak menarik minat untuk menjawab. Alhasil, masing-masing berangkat menurut naga dina-nya sendiri. Ada yang menjelang jam 10 sudah take off dari tanah airnya, tapi kesasar touring dulu ke Segawe-Kendil-Pojok. Ada yang bakda salam salat Jumat langsung nggendring, wiridnya dilafazkan sambil sai dari rumah ke Kori hingga tawaf di seputar calon lokasi kemah. Dan lain-lain. Pokoknya, lain penjuru angin lain pula jam berangkatnya.

Lantaran tak ada SOTK, tupoksi, dan SOP, semua pekerjaan beserta peralatan dan bahan yang diperlukan mengalir begitu saja. Ada yang tumpang tindih, ganda, atau malah zonk. Ini misalnya: ada yang membawa BBA (bahan bakar arang) sekira cukup untuk nyate unta selama seminggu nonstop. Mungkin yang terbayang, kemahnya di Bukit Uhud yang tidak memberikan kesempatan tumbuh bagi segala jenis pohon. Tak tahunya, sang baureksa lokasi sudah menyiapkan setumpuk kayu pohon secang kering kemripik yang cukup untuk bedhihan sekaligus mengkremasi Manihot selama sebulan.

Ada juga bekal beras sekantong plastik, hasil panen sendiri tampaknya. Padahal sudah di-wanti-wanti, tidak usah masak. Nanti mbakar bodin saja, sambil ngopi. Eee, ... lha kok jebul-nya ada dapur siluman yang menyediakan makan malam komplet+++. Matur nuwun, Mbak Parti. Semoga (harapan sepenuh keyakinan) Yang Maha Pembalas melipatgandakan imbalan atas kemurahan hati pyenengan sekeluarga dengan rezeki yang melimpah dari segala arah dan disempurnakan dengan sepenuh berkah. Untung, ada yang menyewagratiskan piring, sendok, gelas, panci, ember, dll., dsb., dst. Matur thengkiyuh, Mbak Lasi. Semoga (dan pasti) Yang Mahateliti mencatat semua itu sebagai amal jariah pyenengan sekeluarga.

Masih ada pula perbekalan pakaian yang ganda. Ada yang menyimpan kaus warok di dalam tas TNI-AD-nya. Halhuaaahhh ... ternyata sudah disiapkan kostum seragam kaus bermotif warok juga. Ya tentu, pilih memakai yang baru! Matur kamsia, Masbro Harso. Semoga (tanpa keraguan) Sang Mahacahaya senantiasa menerangi setiap jengkal bumi pijakan sampeyan dan segenap keluarga, yang masih di sini maupun yang sudah di sana.

Lalu tentang tenda itu. Susah-susah diangkut dari sekolah, bersama bambu-bambu yang harus ditebang, dipotong, dan di-sisiki, lalu dengan payah dibentangkan dengan tali-tali hingga berdiri menyerupai vila mini. Eee, ... lha kok disinggahi selama makan lalu ditinggal menggelandang di luar hingga gelapnya malam terusir terangnya mentari pagi. Para arsitek, kontraktor, mandor, dan tukang yang telanjur mengerahkan segenap daya dan usaha dijamin tidak kecewa, apalagi merasa sia-sia. Yang Mahabijak mustahil salah fokus dalam membidik sisi mana yang mesti dinilai.

Persiapan grusa-grusu menghasilkan keadaan mubra-mubru. Adakah yang salah? Jelas ada! Adakah yang layak dipersalahkan? Jelas ada! Adakah yang perlu disesalkan? Jelas ada! Adakah manfaatnya jika yang salah, yang dipersalahkan, dan yang disesalkan sudah ditemukan dan dikenai sanksi? Blas nggak ada! Nah, di sinilah letak keindahan manajemen wong Jawa. Di tanah ini, Jawadwipa, mana dikenal kata “rugi” (tuna)? Yang dikenal hanya kata “untung” (begja). Maka ... untung cuma membawa arang; coba kalau tabung elpiji plus kompornya! Untung berasnya belum diliwet, untung belum telanjur jajan! Untung yang didirikan cuma tenda, mudah dibongkar; coba kalau loji!

Begitulah. Secanggih apa pun manajemen modern tak pernah sanggup mengungguli keefektifan manajemen Jawa. Manajemen modern itu baru sampai di level ilmu, sementara manajemen Jawa sudah mencapai tataran hikmah. Ah, tak laik untuk dikupas di sini. Biarlah bab ini menjadi mata kuliah di peTUAlangan warok episode berikutnya, atau berikutnya lagi.

Yang jelas, kemah satu malam itu tercukupi sempurna kebutuhan primernya: pangan, sandang, dan papan. Tapi ketiga kebutuhan itu baru di dasar piramidanya Maslow. Bagi para ksatria weton Pedepokan Sendang Lanang, hajat hidupnya tidak boleh berhenti terpuaskan di situ. Demi menaikkan makam (biasa ditulis maqom) itulah, mereka berani melakoni peralihan sejumlah situasi: dari kehangatan tabir tenda ke kehangatan api unggun, dari kelezatan masakan dapur ke kenikmatan bakaran singkong, dari silaunya sinar lampu ke temaramnya cahaya rembulan, dari serbuan darat semut ke serangan udara nyamuk, dari kebasahan oleh keringat dari tubuh sendiri ke kebasahan oleh tetesan embun dari langit.

Di kampus Kori itulah kitab kejadian-kejadian mulai dibedah. Ada kejadian-kejadian masa sekolah, kejadian-kejadian pascasekolah, dan kejadian-kejadian kontemporer. Kitab kejadian masa sekolah sudah dapat ditebak, pasti berisi suka duka selama menempuh pendadaran di Sendang Lanang. Kitab kejadian pascasekolah didominasi cerita-cerita heroik dalam upaya menyambung nyawa dan membelah jiwa. Kitab kejadian kontemporer tak kalah menggelitik, membutuhkan keterampilan tingkat dewa untuk mengolah cipta dan menyelaraskan rasa.

Jika hanya disimak narasi adegannya, kaleidoskop 1986—1989 itu tak lebih dari sekadar cerita basi. Insiden pecahnya cermin di toilet kampus baru (yang sering menguapkan bau pesing karena langka air itu, lho) misalnya, narasi adegannya ya hanya seperti yang terjadi kala itu. Teman-teman bercanda, lepas kendali, terjadi kontak fisik hingga menyebabkan cermin pecah. Pelaku dan saksi disidang, lalu konsekuensi disepakati. Selesai. Itu kulitnya.

Namun, ketika kini rekaman adegan itu diputar ulang, daya jangkau pandangan warok besutan Sendang Lanang sudah jauh melampaui jaringan kulit, menembus tulang. Terbayanglah ekspresi para pihak yang terlibat dalam insiden cermin pecah itu. Menampaklah wajah-wajah yang berusaha melepaskah sorak tawa, namun sejatinya hanyalah akting untuk menyembunyikan penyesalan dan ketakutan. Tak ada motif untuk mengambil keuntungan apa pun yang mendorong dan menyertai tindakan ceroboh yang berujung kerusakan fasilitas sekolah itu.

Itulah tugas perkembangan. Ya, gojek antarteman adalah tugas perkembangan yang tidak pernah absen sepanjang rentang usia manusia. Bentuknya bisa beragam sesuai dengan impuls, tingkat usia, dan ruang ekspresi yang tersedia. Motifnya juga beraneka, tergantung suasana batin yang terbentuk dari interaksinya dengan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

Pada kadar tertentu, gojek bisa dicap sebagai kenakalan. “Nakal” itu sebenarnya label subjektif, yang dilekatkan hanya oleh orang yang memiliki standar berbeda. Si X dibilang nakal oleh si B ketika tindakan X menyimpang dari standar perilaku yang oleh B diharapkan terjadi pada X. Seorang anak yang mandi di sungai sambil memercik-mercikkan air ke wajah temannya, dibilang nakal oleh nenek-nenek yang lewat di tepi sungai karena si nenek mengharapkan si anak mandi tanpa memercikkan air ke wajah temannya. Sebaliknya, bagi teman sepermandiannya itu, dia sama sekali tidak nakal, justru teman yang asyik.

Beruntung, kampus Sendang Lanang dulu gudangnya guru-guru berilmu dan berhikmah. Walau tidak dituturkan oleh si empunya cerita, suasana sidang penghakiman (jangan dibaca: pengadilan) para pihak yang terlibat insiden cermin pecah itu tergambar jelas di benak para penyimak. Di sana tidak terdengar nada bentakan, tidak terpancar aura kemarahan, tidak terlihat aksi tuding-tuding muka, pun tidak ada pengutipan pasal-pasal pidana. Apalagi percobaan pemerasan yang dikemas dalam lembutnya rayuan atau kasarnya ancaman! Yang hadir di ruang sidang itu hanya suasana permakluman dan permaafan. Oh, betapa teduhnya roh almarhumah sekolah kita itu! Maka, nikmat manakah yang pantas untuk kita dustakan?

Kini saatnya kawanan warok mewarisi ilmu dan hikmah pusaka para guru maharesi, yang tidak sekadar dikhotbahkan di ruang-ruang kelas dan di mimbar inspektur upacara, melainkan juga mengejawantah dalam sikap ketika berhadapan dengan “kenakalan” putra-putri didiknya kala itu. Bukankah para mantan cantrik Sendang Lanang itu kini juga sering mendapati “kenakalan” anak-anak (anak biologis, ekonomis, atau pedagogis) mereka? “Nakal” adalah fitrah yang tak mengenal batasan usia dan kasta. Hatta di kalangan siswa calon guru sekalipun, “kenakalan” masih punya ruang untuk tumbuh secara natural.

Layak untuk direnungi—bila perlu, diriset secara saksama—adakah bukti bahwa “kenakalan” dapat dihilangkan, dihentikan, atau bahkan sekadar diredam dengan hukuman, kemarahan, kejengkelan, atau bahkan sekadar penolakan? Jika tak sanggup mendekati “kenakalan” anak-anak dengan ilmu dan hikmah, setidaknya kaum dewasa bisa bersakinah di posisi rida (sering ditulis ridha, ridho, ridla, atau ridlo). Petuah bijak menegaskan, “Rida Tuhan berada di dalam (membersamai) rida kedua orang tua.” Bukankah rida Tuhan menjadi puncak cita-cita setiap hamba? Nah, senakal-nakalnya anak, ketika sudah mendapat rida Tuhannya, siapa yang kuasa mencegah perubahan perilakunya ke garis hidup yang bertabur cahaya kebaikan?

Sayonara, Bukit Kori yang menginspirasi!

Tabik.

Komentar

  1. Keren....menunggu kisah berikutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur nuwun. Semoga masih ada yang layak dikisahkan dan yang mau mengisahkan.

      Hapus
  2. Ya Allah, kenapa pas waktu itu barengan Kakung mriang yaa, jadi tak terpikir sama sekali aku harus gimana, mana juga ga tahu kalau mampir ke gubuk Kakung, coba ngasih tahu kan bisa di bawain apa kek, duuuh masih kepikiran sampai sekarang, moment yg tak mungkin untuk mengulanginya lagi, maafkan daku 🙏🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siapa tahu kita akan dipertemukan dalam perjalanan yang begitu ketat berkejaran dengan waktu? Semoga ada kesempatan lain yang lebih longgar. Aamiiiiiin.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da