Ini kegiatan yang dirancang secara grusa-grusu tapi berakhir mubra-mubru. Sedari awal tak jelas struktur organisasinya. Juga tak ada job descriptions. Apalagi sampai standard operating procedure-nya, blas!
Sebenarnya sempat beberapa kali muncul pertanyaan, “Aku kebagian bawa apa?” Tapi—seperti lazimnya soal ujian untuk anak sekolah—pertanyaan terbuka macam itu selalu memantik keraguan untuk menjawabnya. Takut salah. Kali lain, tawaran kesanggupan mengemban tugas itu dirumuskan dalam soal pilihan ganda saja.
Seperti ini, misalnya:
Perlengkapan
yang harus saya bawa adalah ....
A. anglo
B. baskom
C. ceret
D. dandang
E. enthong
Juga pernah muncul pertanyaan, “Kumpul di mana? Jam berapa?”
Lagi-lagi, pertanyaan ini tidak menarik minat untuk menjawab. Alhasil,
masing-masing berangkat menurut naga dina-nya sendiri. Ada yang
menjelang jam 10 sudah take off dari tanah airnya, tapi kesasar touring dulu
ke Segawe-Kendil-Pojok. Ada yang bakda salam salat Jumat langsung nggendring,
wiridnya dilafazkan sambil sai dari rumah ke Kori hingga tawaf di seputar calon
lokasi kemah. Dan lain-lain. Pokoknya, lain penjuru angin lain pula jam
berangkatnya.
Lantaran tak ada SOTK, tupoksi, dan SOP, semua pekerjaan beserta
peralatan dan bahan yang diperlukan mengalir begitu saja. Ada yang tumpang
tindih, ganda, atau malah zonk. Ini misalnya: ada yang membawa BBA (bahan
bakar arang) sekira cukup untuk nyate unta selama seminggu nonstop. Mungkin
yang terbayang, kemahnya di Bukit Uhud yang tidak memberikan kesempatan tumbuh
bagi segala jenis pohon. Tak tahunya, sang baureksa lokasi sudah menyiapkan
setumpuk kayu pohon secang kering kemripik yang cukup untuk bedhihan
sekaligus mengkremasi Manihot selama sebulan.
Ada juga bekal beras sekantong plastik, hasil panen sendiri
tampaknya. Padahal sudah di-wanti-wanti, tidak usah masak. Nanti mbakar
bodin saja, sambil ngopi. Eee, ... lha kok jebul-nya ada dapur
siluman yang menyediakan makan malam komplet+++. Matur nuwun, Mbak
Parti. Semoga (harapan sepenuh keyakinan) Yang Maha Pembalas melipatgandakan
imbalan atas kemurahan hati pyenengan sekeluarga dengan rezeki yang
melimpah dari segala arah dan disempurnakan dengan sepenuh berkah. Untung, ada
yang menyewagratiskan piring, sendok, gelas, panci, ember, dll., dsb., dst. Matur
thengkiyuh, Mbak Lasi. Semoga (dan pasti) Yang Mahateliti mencatat semua
itu sebagai amal jariah pyenengan sekeluarga.
Masih ada pula perbekalan pakaian yang ganda. Ada yang
menyimpan kaus warok di dalam tas TNI-AD-nya. Halhuaaahhh ... ternyata sudah
disiapkan kostum seragam kaus bermotif warok juga. Ya tentu, pilih memakai yang
baru! Matur kamsia, Masbro Harso. Semoga (tanpa keraguan) Sang Mahacahaya
senantiasa menerangi setiap jengkal bumi pijakan sampeyan dan segenap
keluarga, yang masih di sini maupun yang sudah di sana.
Lalu tentang tenda itu. Susah-susah diangkut dari sekolah,
bersama bambu-bambu yang harus ditebang, dipotong, dan di-sisiki, lalu
dengan payah dibentangkan dengan tali-tali hingga berdiri menyerupai vila mini.
Eee, ... lha kok disinggahi selama makan lalu ditinggal menggelandang di
luar hingga gelapnya malam terusir terangnya mentari pagi. Para arsitek,
kontraktor, mandor, dan tukang yang telanjur mengerahkan segenap daya dan usaha
dijamin tidak kecewa, apalagi merasa sia-sia. Yang Mahabijak mustahil salah
fokus dalam membidik sisi mana yang mesti dinilai.
Persiapan grusa-grusu menghasilkan keadaan mubra-mubru.
Adakah yang salah? Jelas ada! Adakah yang layak dipersalahkan? Jelas ada!
Adakah yang perlu disesalkan? Jelas ada! Adakah manfaatnya jika yang salah,
yang dipersalahkan, dan yang disesalkan sudah ditemukan dan dikenai sanksi? Blas
nggak ada! Nah, di sinilah letak keindahan manajemen wong Jawa. Di
tanah ini, Jawadwipa, mana dikenal kata “rugi” (tuna)? Yang dikenal
hanya kata “untung” (begja). Maka ... untung cuma membawa arang; coba
kalau tabung elpiji plus kompornya! Untung berasnya belum diliwet, untung belum
telanjur jajan! Untung yang didirikan cuma tenda, mudah dibongkar; coba kalau
loji!
Begitulah. Secanggih apa pun manajemen modern tak pernah
sanggup mengungguli keefektifan manajemen Jawa. Manajemen modern itu baru
sampai di level ilmu, sementara manajemen Jawa sudah mencapai tataran hikmah. Ah,
tak laik untuk dikupas di sini. Biarlah bab ini menjadi mata kuliah di
peTUAlangan warok episode berikutnya, atau berikutnya lagi.
Yang jelas, kemah satu malam itu tercukupi sempurna
kebutuhan primernya: pangan, sandang, dan papan. Tapi ketiga kebutuhan itu baru
di dasar piramidanya Maslow. Bagi para ksatria weton Pedepokan Sendang
Lanang, hajat hidupnya tidak boleh berhenti terpuaskan di situ. Demi menaikkan
makam (biasa ditulis maqom) itulah, mereka berani melakoni peralihan
sejumlah situasi: dari kehangatan tabir tenda ke kehangatan api unggun, dari
kelezatan masakan dapur ke kenikmatan bakaran singkong, dari silaunya sinar
lampu ke temaramnya cahaya rembulan, dari serbuan darat semut ke serangan udara
nyamuk, dari kebasahan oleh keringat dari tubuh sendiri ke kebasahan oleh
tetesan embun dari langit.
Di kampus Kori itulah kitab kejadian-kejadian mulai dibedah.
Ada kejadian-kejadian masa sekolah, kejadian-kejadian pascasekolah, dan
kejadian-kejadian kontemporer. Kitab kejadian masa sekolah sudah dapat ditebak,
pasti berisi suka duka selama menempuh pendadaran di Sendang Lanang. Kitab
kejadian pascasekolah didominasi cerita-cerita heroik dalam upaya menyambung
nyawa dan membelah jiwa. Kitab kejadian kontemporer tak kalah menggelitik,
membutuhkan keterampilan tingkat dewa untuk mengolah cipta dan menyelaraskan
rasa.
Jika hanya disimak narasi adegannya, kaleidoskop 1986—1989
itu tak lebih dari sekadar cerita basi. Insiden pecahnya cermin di toilet
kampus baru (yang sering menguapkan bau pesing karena langka air itu, lho)
misalnya, narasi adegannya ya hanya seperti yang terjadi kala itu. Teman-teman
bercanda, lepas kendali, terjadi kontak fisik hingga menyebabkan cermin pecah. Pelaku
dan saksi disidang, lalu konsekuensi disepakati. Selesai. Itu kulitnya.
Namun, ketika kini rekaman adegan itu diputar ulang, daya
jangkau pandangan warok besutan Sendang Lanang sudah jauh melampaui jaringan
kulit, menembus tulang. Terbayanglah ekspresi para pihak yang terlibat dalam
insiden cermin pecah itu. Menampaklah wajah-wajah yang berusaha melepaskah sorak
tawa, namun sejatinya hanyalah akting untuk menyembunyikan penyesalan dan
ketakutan. Tak ada motif untuk mengambil keuntungan apa pun yang mendorong dan
menyertai tindakan ceroboh yang berujung kerusakan fasilitas sekolah itu.
Itulah tugas perkembangan. Ya, gojek antarteman adalah tugas
perkembangan yang tidak pernah absen sepanjang rentang usia manusia. Bentuknya
bisa beragam sesuai dengan impuls, tingkat usia, dan ruang ekspresi yang
tersedia. Motifnya juga beraneka, tergantung suasana batin yang terbentuk dari
interaksinya dengan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya.
Pada kadar tertentu, gojek bisa dicap sebagai kenakalan.
“Nakal” itu sebenarnya label subjektif, yang dilekatkan hanya oleh orang yang
memiliki standar berbeda. Si X dibilang nakal oleh si B ketika tindakan X
menyimpang dari standar perilaku yang oleh B diharapkan terjadi pada X. Seorang
anak yang mandi di sungai sambil memercik-mercikkan air ke wajah temannya,
dibilang nakal oleh nenek-nenek yang lewat di tepi sungai karena si nenek
mengharapkan si anak mandi tanpa memercikkan air ke wajah temannya. Sebaliknya,
bagi teman sepermandiannya itu, dia sama sekali tidak nakal, justru teman yang
asyik.
Beruntung, kampus Sendang Lanang dulu gudangnya guru-guru
berilmu dan berhikmah. Walau tidak dituturkan oleh si empunya cerita, suasana
sidang penghakiman (jangan dibaca: pengadilan) para pihak yang terlibat insiden cermin
pecah itu tergambar jelas di benak para penyimak. Di sana tidak terdengar nada bentakan, tidak terpancar aura
kemarahan, tidak terlihat aksi tuding-tuding muka, pun tidak ada pengutipan pasal-pasal
pidana. Apalagi percobaan pemerasan yang dikemas dalam lembutnya rayuan atau
kasarnya ancaman! Yang hadir di ruang sidang itu hanya suasana permakluman dan
permaafan. Oh, betapa teduhnya roh almarhumah sekolah kita itu! Maka, nikmat
manakah yang pantas untuk kita dustakan?
Kini saatnya kawanan warok mewarisi ilmu dan hikmah pusaka
para guru maharesi, yang tidak sekadar dikhotbahkan di ruang-ruang kelas dan di
mimbar inspektur upacara, melainkan juga mengejawantah dalam sikap ketika
berhadapan dengan “kenakalan” putra-putri didiknya kala itu. Bukankah para
mantan cantrik Sendang Lanang itu kini juga sering mendapati “kenakalan”
anak-anak (anak biologis, ekonomis, atau pedagogis) mereka? “Nakal” adalah
fitrah yang tak mengenal batasan usia dan kasta. Hatta di kalangan siswa calon
guru sekalipun, “kenakalan” masih punya ruang untuk tumbuh secara natural.
Layak untuk direnungi—bila perlu, diriset secara
saksama—adakah bukti bahwa “kenakalan” dapat dihilangkan, dihentikan, atau
bahkan sekadar diredam dengan hukuman, kemarahan, kejengkelan, atau bahkan
sekadar penolakan? Jika tak sanggup mendekati “kenakalan” anak-anak dengan ilmu
dan hikmah, setidaknya kaum dewasa bisa bersakinah di posisi rida (sering
ditulis ridha, ridho, ridla, atau ridlo). Petuah bijak menegaskan,
“Rida Tuhan berada di dalam (membersamai) rida kedua orang tua.” Bukankah rida Tuhan
menjadi puncak cita-cita setiap hamba? Nah, senakal-nakalnya anak, ketika sudah
mendapat rida Tuhannya, siapa yang kuasa mencegah perubahan perilakunya ke garis
hidup yang bertabur cahaya kebaikan?
Sayonara, Bukit Kori yang menginspirasi!
Tabik.
Keren....menunggu kisah berikutnya
BalasHapusMatur nuwun. Semoga masih ada yang layak dikisahkan dan yang mau mengisahkan.
HapusYa Allah, kenapa pas waktu itu barengan Kakung mriang yaa, jadi tak terpikir sama sekali aku harus gimana, mana juga ga tahu kalau mampir ke gubuk Kakung, coba ngasih tahu kan bisa di bawain apa kek, duuuh masih kepikiran sampai sekarang, moment yg tak mungkin untuk mengulanginya lagi, maafkan daku 🙏🙏
BalasHapusSiapa tahu kita akan dipertemukan dalam perjalanan yang begitu ketat berkejaran dengan waktu? Semoga ada kesempatan lain yang lebih longgar. Aamiiiiiin.
Hapus