Langsung ke konten utama

Memuliakan Tamu

Prof Furqon menghadiahkan 3 buku karyanya kepada SMA Islam Hidayatullah Semarang

Solo, 11-01-2020
Saya lagi beruntung. Atau, lebih tepatnya: saya beruntung lagi. Di luar rencana, tetiba mendapat kesempatan jalan-jalan. Tidak jauh, memang. Sekitar 1 jam dari kota pangkalan. Mendadak didaulat untuk mewakili pimpinan. Membersamai teman-teman seperjuangan: para guru dan tenaga kependidikan Smaha Hebat. Silaturahmi ke saudara tua: SMA Al-Islam 1 Surakarta. Sembari kulak kawruh. Ikhtiar untuk selalu berbenah.

Jarum jam masih lumayan jauh menuju angka 8. Rombongan kami tiba di tempat tujuan. Di Jalan Honggowongso. Kelurahan Panularan. Kecamatan Laweyan. Sopir bus sempat bingung mencari tempat parkir. Agar tidak mengganggu lalu lintas. Sementara, bus menepi dan berhenti di seberang Sekolah. Beberapa penumpang turun. Lalu berjalan menyeberang. Tidak lama kemudian, datang seorang petugas. Memandu bus untuk kembali berjalan, berputar balik beberapa meter di depan, dan berparkir di depan Sekolah. Di sebelah kiri gerbang. Berbagi bahu jalan dengan dua deret sepeda motor yang sudah lebih dulu diparkir.

Seluruh sisa rombongan turun. Tanpa harus menyeberang jalan. Regu penerima tamu sudah bersiap. Berjajar satu lapis mulai dari gerbang. Mengular hingga tangga menuju aula. Menyambut kedatangan kami. Dengan senyuman ramah mengembang. Melengkapi ucapan tulus selamat datang. Juga jabat tangan dengan tamu berjenis kelamin sama. Kepada yang berbeda jenis kelamin, cukup dengan menangkupkan kedua tangan di depan dada.

Kami disilakan masuk ke aula. Di lantai dua. Satu per satu mengisi daftar hadir. Lalu duduk di kursi-kursi yang sudah tertata rapi. Tak lama berselang, regu sinoman menyusul. Menyangga baki-baki. Masing-masing berisi sejumlah dus, botol air mineral, dan gelas teh. Satu per satu muatan baki diturunkan, ditata rapi di atas meja bertaplak batik. Pramusaji menjulurkan tangan kanan. Ibu jari terbuka, diacungkan ke kudapan yang sudah tersaji. Bibir tersenyum lebar. Sambil berucap, “Mangga.”

Begitulah Solo, julukan populer untuk Kota Surakarta. Sampai hari ini masih setia menjadi Jawa. Tak peduli dengan kehadiran era revolusi 4.0. Yang memicu hiruk pikuk itu. Kultur Jawa Soloensis tetap eksis. Belum tega menyerahkan hidangan kepada tamu langsung dari tangan ke tangan. Seperti transaksi dengan pengemis. Apalagi, mendistribusikan makanan dan minuman secara berantai. Yang kadang penyampaiannya setengah dilempar. Mirip pembagian sembako kepada kaum fakir. Yang rela berjam-jam berdesakan memadati halaman luas di depan rumah besar nan mewah. Atau, berlepotan lumpur di lapangan desa yang becek setelah diguyur hujan semalam. Demi memperebutkan sedekah dari dermawan berlimpah harta.

Sejumlah meja ditata menyela deretan kursi. Suguhan makanan dan minuman diparkir di atasnya. Tamu-tamu tak perlu repot memegang botol atau gelas minuman dan memangku kotak kudapan. Atau, bersusah payah mencari titik aman untuk menaruhnya di bawah atau sekitar kursi. Selain menyusahkan, gaya nyuguh tamu ala pengungsian itu juga mengandung unsur penistaan terhadap makanan/minuman.

Hidup tak selalu cukup dengan pragmatisme. Meski sudah ada air minum dalam kemasan, kami tetap disuguhi teh manis hangat. Manis adalah simbol. Kami disambut dengan sepenuh ketulusan hati. Itu terpancar jelas pada berpuluh-puluh muka yang menyambut kehadiran kami. Lengkap dengan tatapan mata bersahabat dan sunggingan senyum ramah. Hangat adalah sasmita. Bahwa kami diterima dengan sepenuh kehangatan jiwa. Itu sungguh terasa dalam jabat tangan yang erat. Kami diterima dan diakui sebagai saudara. Tak bersyarat. Teh manis hangat. Disajikan dalam gelas. Memantik sentuhan langsung. Bibir gelas dan bibir si peminum. Tak berjarak. Tak berantara.

Solo: the spirit of Java. Masih begitu terasa.
Oleh pimpinan rombongan, saya didudukkan di barisan kursi terdepan. Bersama beberapa anggota rombongan. Tersisa satu kursi. Paling kanan. Di deretan kami. Datang kemudian seseorang. Berbaju batik bermotif sederhana. Bukan batik berkelas, dugaan saya. Berpeci hitam. Khas peci orang biasa. Berjalan memasuki aula. Seorang diri. Menyalami kami yang duduk di tepi. Mulai dari belakang. Sampai di baris terdepan lalu belok kanan. Akhirnya berlabuh di kursi paling kanan. Yang belum berpenghuni tadi. Selisih satu kursi di sebelah kanan saya.

Saya mulai menduga-duga: apakah ia pengurus Yayasan? Yang didaulat untuk menyampaikan pidato sambutan? Yang bersangkutan tak kunjung berkata-kata. Masih betah duduk dengan santainya. Teman sebelah saya, yang duduk persis di sebelahnya, juga tampak tidak berminat untuk mengajaknya berbincang. Terpaksa saya dikte. Dengan membisikkan pertanyaan, “Apakah Bapak itu pengurus Yayasan?” Teman saya menoleh ke Bapak di sebelah kanannya. Mewakili penasaran saya, “Nuwun sewu, Bapak pengurus Yayasan?” “Inggih,” jawaban Bapak yang ditanya. Percakapan pun berakhir. Dengan skor 1 : 1. Rupanya, teman yang satu ini telanjur dominan unsur asamnya. Kurang piawai berbasa-basi.

Upacara penyambutan pun dimulai. Pewara memegang mikrofon. Setelah salamnya dijawab serempak, ia lalu menyapa hadirin. Mulai dari pihak yang paling dituakan. “Yang terhormat, Ketua Yayasan, Profesor Doktor Haji Muhammad Furqon Hidayatullah, eMPede ...,” sebutnya.

Deg! ... Pyarrr ...! Serasa pecah dada saya. Ambyar! Saya tersipu. Nama yang sudah cukup lama akrab di telinga, eh, mata saya. Dulu sering saya jumpai di halaman media massa. Liputan kiprahnya. Atau kutipan pandangan dan pendapatnya. Menyangkut isu-isu aktual. Seputar pendidikan. Sayangnya, saya hanya mengakrabi namanya. Wajahnya, tidak saya kenali. Hingga hari ini kehadirannya saya cuekkan. Padahal duduk sebaris. Hanya tersekat satu orang.

Masih sambil berusaha menyembunyikan perasaan berdosa. Saya rogoh dan keluarkan ponsel dari saku jaket. Saya ketik nama itu. Untuk berburu informasi terkini. Apa jabatan beliau (nah, mulai dari sini saya pakai kata ganti beliau) sekarang? Tak mau kehilangan jejak mutakhir. Maklum, terbilang cukup lama saya tidak mendapati nama beliau di media. Akibat saya tidak sesering dulu memelototi media cetak. Yang masih saya ingat, berita tentang pencalonan beliau sebagai rektor. UNS, tentu. Kampus yang sempat mencantumkan nama saya. Sebagai calon cantrik di salah satu program studi diploma. Namun saya batal melakoninya. Demi menepati akad yang lebih dulu memastikan status saya. Kampus lain di kota lain.

Berselancar sejenak, akhirnya saya temukan profil mutakhir beliau. Direktur Pascasarjana. Tertulis: sejak 2015. Setelah menuntaskan jabatan Dekan FKIP dua periode. Tampaknya beliau menjabat direktur hanya satu periode. Berarti berakhir pada 2019. Di laman https://uns.ac.id/id/tentang-uns/pimpinan-unit-kerja tercantum nama lain pada jabatan itu.

Lagi-lagi, saya dibuat terbelalak. Kami hanya rombongan anak-anak ingusan. Ditakar secara kualitatif maupun kuantitatif, kami terlampau kecil. Diterima oleh Kepala Sekolah saja sudah merasa terhormat. Kenapa mesti disambut langsung oleh Ketua Yayasan? Yang adalah seorang guru besar? Yang mantan dekan dua periode? Yang juga pernah menjabat Direktur Pascasarjana? Di perguruan tinggi negeri yang cukup besar? Kontan, kami merasa tersanjung. Harga diri kami melambung.

Sungguh! Teladan berharga dari saudara tua: adab memuliakan tamu. Pendidikan karakter yang konkret. Yang luput dari target observasi kami. Barangkali karena kami (eh, diganti saya saja, biar aman) terlalu jemawa. Merasa sudah mengkhatamkan pelajaran akhlak terhadap tamu. Secara tekstual saya memang hafal pesan (lafaz dan tulisannya) teladan utama dan guru paripurna saya. Tentang akhlak terhadap tamu itu. Yang artinya begini: “Sesiapa yang mengaku beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah memuliakan tamunya.”

Namun, saya gagal merumuskan SOP-nya. Belum apa-apa sudah menyerah. Merasa tidak menemukan petunjuk teknisnya. Kedunguan telah membutakan saya. Hingga tak sanggup menangkap makna pesan “memuliakan tamu” itu dalam etika luhur warisan leluhur. Prinsip gupuh, yang mengejawantah dalam optimalisasi aruh, lungguh, dan suguh mestinya dipahami sebagai kearifan lokal. Yang 100% akur dengan konsep memuliakan tamu. Yang sahih untuk diangkat sebagai tafsir kontekstual atas pesan tekstual itu. Yang layak belaka dijadikan prosedur operasional standar pengamalan autentik atas sunah qauliyyah itu. Atau, kelewat permisif terhadap penetrasi budaya global? Yang mendewakan spirit kepraktisan dan efisiensi di atas segala-galanya?

Last but not least, saya merasa perlu mencatat bonus perjumpaan kami dengan Prof. Furqon. Beliau diagendakan untuk memaparkan profil Yayasan Perguruan Al-Islam, yang menaungi SMA Al-Islam 1 Surakarta. Masih dalam rangkaian upacara penyambutan. Setelah sebelumnya disuguhkan tari saman. Menampilkan gerak ritmis nan kompak para siswi setempat. Lengkap dengan musik pengiring: perkusi dimainkan oleh dua siswa dan vokal dibawakan oleh dua siswi. Yang sudah menorehkan prestasi di level Kota Surakarta. Juga dibuka dengan pidato selamat datang oleh Kepala Sekolah, Ibu Umi Faizah. Yang disambung dengan pidato kula nuwun oleh Pak Muwahidin. Wakil Kepala Sekolah Smaha Hebat yang didaulat memimpin rombongan. Mewakili Kepala Sekolah, yang berhalangan hadir. Lantaran sedang berkabung.

Di luar ekspektasi kami. Prof. Furqon tak sekadar memaparkan informasi datar dan dangkal. Tentang sejarah singkat dan profil ringkas Yayasan maupun Sekolah. Setiap butir informasi dielaborasi secara akademis. Aspek historisnya diungkap. Landasan filosofisnya digali. Konsep pedagogisnya dicerna. Rekayasa kontekstualnya diproyeksikan. Kami merasa tercerahkan. Kentara sekali minat dan kepedulian beliau dalam bidang pendidikan. Jauh melampaui latar belakang pendidikan dan pekerjaan formal beliau. Sebagai dosen pendidikan olahraga. Studinya--mulai S1, S2, hingga S3--juga tak pernah beranjak keluar dari bidang pendidikan olahraga.

Mengakhiri paparan yang dilanjut dengan sesi tanya jawab, Prof. Furqon menghadiahkan tiga buku karyanya kepada kami. Berikut buku-bukunya.

Mendidik: Memahami dan Peduli
Pendidikan Karakter Ibnu Miskawaih
Pendidikan Al-Ghazali

Pucuk dicinta ulam tiba. Semoga Prof. Furqon selalu dijaga dalam kesehatan prima. Agar terus dapat berkarya nyata. Berkontribusi untuk pendidikan anak Bangsa. Demikian juga SMA Al-Islam 1 Surakarta beserta semua sekolah di bawah naungan Yayasan Perguruan Al-Islam Surakarta. Semoga selalu mencapai kinerja dan prestasi optimal. Dan kami mampu meneladani kebaikan-kebaikannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da