20 Jun 2012

Minta Maaf: Komoditas Termahal Abad Ini

Seorang anak melukai perasaan temannya dengan kata-kata kotor, jorok, hina, dan ... entah ajektiva apa lagi yang pas untuk mengatributi kata-kata itu. Orang tua si korban naik darah. Itu sikap lumrah, saya pikir. Siapa pun orangnya akan tersinggung mendapati anak kesayangannya yang masih bau kencur "dianugerahi" gelar serendah dan segelap itu. Masih beruntung, orang tua tersebut tidak serta merta melabrak pelaku. Dengan bijak, beliau mengadu kepada pihak--yang menurut harapan beliau--bisa menjadi mediator.

Dengan segala keterbatasan, penerima aduan mencoba mencari solusi. Fakta-fakta dihimpun dari segenap penjuru yang teridentifikasi bisa dijadikan rujukan informasi. Intervensi dilakukan--sekali lagi, dengan segala keterbatasan.
Mediator sangat berharap, orang tua pelaku legawa untuk memintakan maaf anaknya atas ulah isengnya kepada keluarga korban. Di titik inilah kekacauan budaya mulai menampakkan gejalanya.

Dari beberapa pertemuan mediasi, bisa ditengarai sejumlah gejala kekacauan budaya berikut.
  • Ternyata, hak untuk minta maaf itu dipandang hanya monopoli pihak yang bersalah. Rupanya, teladan Nabi Muhammad saw. belum cukup untuk menjadi cermin bagi umat beliau. Manusia pilihan Tuhan yang terlindung dari kesalahan itu tidak pernah sungkan untuk minta maaf setiap hari lebih banyak daripada orang-orang yang berlumur dosa dan kesalahan. Tampaknya, nabi pamungkas itu ingin menyadarkan umat manusia bahwa minta maaf adalah hak, bukan kewajiban. Bukankah maaf itu akan menjadi tiket utama masuk surga? Sementara, mendambakan surga itu semata-mata hak, bukan kewajiban!
  • Mengaku atau dianggap bersalah dipandang sebagai ancaman serius bagi keluhuran martabat. Lagi-lagi, sabda Kanjeng Rasul saw. diabaikan oleh umat yang mengaku sebagai pengikut beliau. Menurut Nabi saw., orang terbaik itu bukan orang yang tidak pernah bersalah, melainkan orang yang sanggup bertaubat dari kesalahannya. Nah, maaf adalah gerbang terdepan menuju ruang taubat.
  • Menyidik pencetus kesalahan pertama dipandang lebih mendesak daripada memperbaiki hubungan yang terkoyak. Ibarat orang mendapati celana robek, mengusut penyebab robeknya celana dianggap lebih penting daripada segera menambal celana yang robek itu. Jadi, biarlah si empunya celana tetap memakai celananya yang robek--walau harus tampil canggung di mana-mana--sampai ditemukan duri yang menjadi penyebab robeknya. Sekali lagi, anjuran Nabi saw. untuk merawat silaturahim gagal mengetuk hati penggemar aneka lafal selawat kepada beliau.
  • Menuding kekeliruan prosedur intervensi dirasa lebih memuaskan daripada mengapresiasi spirit untuk meretas jalan solusi. Bukankah Rasulullah saw. juga tidak sungkan untuk mengapresiasi ijtihad umat beliau--sekalipun ijtihad itu keliru?

Simpulan paling simpel dari peristiwa tersebut: PENDIDIKAN KITA GAGAL MEMBANGUN MANUSIA BERKARAKTER! Berbagai satuan, jenis, dan jenjang pendidikan kita hanya berhasil meluluskan kawanan manusia BERPENDIDIKAN, tetapi gagal menyemai manusia TERDIDIK!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer