22 Jun 2012

Mengundang Takzim Malaikat

“Aku akan menitahkan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S. 2: 30)

Sontak, maklumat dari Sang Khalik itu membuat para malaikat terperanjat. Dengan nada khawatir, komunitas makhluk langit itu bertanya, “Mengapa Paduka hendak menyerahkan urusan bumi kepada bangsa yang suka berbuat korup di sana? Lagi pula mereka gemar membuat pertumpahan darah? Sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menguduskan Paduka.” (Q.S. 2: 31)

Kekhawatiran malaikat cukup beralasan. Bumi merupakan planet merdeka. Segala fasilitas tersedia. Segenap karsa mendapat kesempatan untuk diwujudkan. Segala macam nafsu punya peluang untuk berkembang. Upaya pemuasan nafsu itulah yang berpotensi memicu pertumbuhan perilaku merusak atau korup. Aneka rupa sumber daya alam yang terhampar di permukaan atau terpendam di dalam perut bumi dieksploitasi secara semena-mena. Aktivitas pendayagunaan sumber daya alam tidak sekadar berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan, melainkan terlampau jauh didedikasikan untuk memuaskan keinginan.

Tabiat mengumbar hawa nafsu tak ayal memicu pertumpahan darah. Penduduk bumi kian hari kian banyak. Sementara, dimensi bumi tidak berkembang. Makin banyak pemuja kesenangan, makin ketat pula tingkat kompetisi untuk meraihnya. Perebutan fasilitas tak terhindarkan. Adu kekuatan tak terelakkan. Perang seolah menjadi solusi. Pertumpahan darah pun terjadi. Nyawa melayang dijemput senjata. Utang darah dibayar darah, utang nyawa ditebus nyawa. Alhasil, hingga hari ini perang terus berkecamuk di seantero dunia, dengan berbagai alasan dan dalam bentuk aneka rupa.

Malaikat bukan peramal. Jika kekhawatiran mereka menjadi kenyataan sejak generasi pertama penghuni bumi, itu pasti karena mereka—dengan izin Tuhan mereka—sudah mengenali perangai manusia, calon khalifah-Nya di bumi itu.

Totalitas ketaatan yang secara demonstratif mereka unjukkan di hadapan Tuhan pun tak selayaknya dimaknai sebagai permohonan untuk membatalkan pengangkatan manusia sebagai khalifah dan mengalihkan tugas itu kepada bangsa mereka sendiri. Sebagai calon attendant atau pamomong bagi sang khalifah, wajar jika malaikat perlu tahu kompetensi yang dimiliki manusia hingga terpilih sebagai calon khalifah-Nya.

Uji Kompetensi

Untuk menjawab kekhawatiran malaikat, Tuhan menggelar uji kompetensi. Serangkaian fenomena kosmis ditampilkan. Kepada malaikat disodorkan titah untuk mengurai fenomena itu. Malaikat pasrah, “Mahasuci Paduka, tiada kami mengetahui selain apa-apa yang telah Paduka ajarkan kepada kami.” Titah serupa kemudian dilempar kepada Adam, delegasi calon khalifah. Prototipe manusia itu—dengan izin Tuhannya—secara saksama dan detail menjabarkan setiap fenomena yang tersaji.

Malaikat pun bersujud kepada Adam. Fit and proper test itu mengungkap secara gamblang kecakapan analitis, deskriptif, dan aplikatif yang bersanding dengan potensi destruktif di dalam diri manusia. Kecakapan ini mutlak diperlukan untuk menunaikan tugas kekhalifahan di muka bumi. Sang khalifah berperan sebagai duta Allah dengan misi memakmurkan bumi demi kesejahteraan penghuninya. Pemakmuran bumi memerlukan kecakapan rekayasa, sedangkan penyejahteraan penduduk planet ini membutuhkan kecakapan manajerial.

Dalam hal kepatuhan, bisa dibilang malaikat lebih unggul dibanding manusia. Namun, kepatuhan mereka itu semata-mata by default, tidak by design. Ketiadaan free will inilah yang membuat mereka tersisih dari nominasi kandidat khalifah di bumi. Ini bukan degradasi kasta. Karakter malaikat, yang nir-pamrih, itu memang disiapkan untuk the right job sebagai pamomong bagi sang pengelola bumi.

Sujudnya malaikat kepada Adam bukan manifestasi penyembahan, melainkan kesanggupan untuk menjalankan misi sebagai pamomong umat manusia. Kelak mereka berbagi tanggung jawab, tugas, fungsi, dan kewenangan. Ada kurir yang menyampaikan berita, petunjuk, perintah, larangan, imbauan, dan peringatan dari Sang Khalik kepada hamba-hamba-Nya. Ada bendahara yang mendistribusikan rezeki kepada makhluk menurut takaran-Nya Yang Mahaadil. Ada jurnalis yang merekam dan mendokumentasikan setiap aktivitas manusia, yang baik dan yang buruk. Demikian seterusnya; tidak ada satu pun urusan manusia yang luput dari pengasuhan sang pamomong.

Sikap takzim malaikat kepada Adam tidak diamini oleh kolega mereka, iblis. Berbekal supremasi primordial, iblis membantah perintah Allah untuk bersujud kepada Adam. Dengan api sebagai unsur utama pembentuk dirinya, iblis merasa punya strata lebih tinggi daripada manusia, yang terbentuk dari anasir tanah. Akibat pembangkangannya, iblis harus menerima konsekuensi terusir dari komunitas dan habitatnya di surga.

Tak cukup hanya besar kepala, ternyata iblis juga tebal muka. Sudah diusir pun, ia masih tak segan-segan mengajukan sejumlah petisi kepada Tuhan. Pertama, ia minta penangguhan jadwal kematian hingga hari kebangkitan manusia dari alam kubur. Kedua, sebagai kompensasi atas hukuman yang ditimpakan kepadanya, iblis minta job untuk merintangi manusia dari lintasan jalan-Nya yang lurus. Ketiga, dalam rangka melancarkan aksi sabotasenya tersebut, iblis bersumpah akan mengurung manusia dari empat penjuru: depan, belakang, kanan, dan kiri. Keempat, dengan lancang iblis meramalkan bahwa kelak Tuhan tidak akan mendapati mayoritas manusia yang bersyukur.

Begitu mendapat restu dari Tuhannya, iblis tak mau menunda-nunda kesempatan untuk memulai aksinya. Adam, sang kandidat khalifah, dibidik sebagai target korban pertama. Yang tidak boleh terlupakan, sebelum beraksi, si durjana melakukan penyamaran untuk mengelabui calon mangsanya. Dalam literatur Ilahiah, kamuflase itu tersirat dalam perubahan identitas dari “iblis” menjadi “setan”.

Dengan mengaku sebagai penasihat, setan merayu Adam dan istrinya agar menanggalkan busana kehormatan mereka. Setan mencari celah dengan memanfaatkan salah satu sikap paling menonjol pada makhluk ilmiah: rasa ingin tahu (curiosity).

“Wahai, Adam, menetaplah kamu beserta istrimu di taman surga. Makanlah apa saja yang  kalian dapatkan dari mana saja, tetapi jangan kalian dekati pohon ini. Kalau mendekati pohon ini, kalian nanti menjadi zalim.”

Rambu-rambu yang diberikan Tuhan itu mengundang penasaran: ada rahasia apa di balik pohon larangan itu? Lewat celah inilah setan merasuki jiwa Adam dan Hawa untuk menyulut nafsu hedonistik dan tamak. Bak advokat tulen, setan berbisik kepada sepasang rivalnya, “Tuhanmu melarang kamu mendekati pohon ini agar kamu tidak menjadi malaikat atau menjadi penduduk abadi di surga.” Adam dan Hawa teperdaya, mengabaikan peringatan Tuhan. Seketika dua sejoli itu menampakkan aurat mereka.

Terhadap kealpaan Adam dan Hawa, Allah memberikan tiga terapi kuratif. Pertama, Allah menunjukkan tiga fungsi pakaian: penutup aurat, perhiasan, dan identitas ketakwaan. Kedua, Dia mengajarkan kalimat tobat. Ketiga, Allah menerbitkan petunjuk dan menjamin kebebasan dari segala kekhawatiran dan kesedihan bagi siapa pun yang mengikuti petunjuk-Nya.

Fragmen interaksi antara manusia, malaikat, dan setan tersebut dipentaskan oleh Tuhan sebagai prolog. Usai prolog di surga itu, manusia resmi mendapat mandat sebagai khalifah Allah di bumi. Berjuta-juta tahun sudah, manusia—silih berganti generasi—melaksanakan tugas tersebut. Sepanjang kurun itu pula, malaikat setia memainkan perannya sebagai pamomong sang khalifah. Sedangkan bangsa setan—sesuai dengan butir-butir petisinya—tidak pernah capek menggoda manusia. Pergulatan nilai antara ketiga spesies on duty itu terus berlangsung, membentuk wajah peradaban dunia hingga hari ini.

Menurut skrip samawi yang sahih, kini manusia telah sampai pada episode terakhir dalam periodisasi kenabian. Oleh penganutnya, Muhammad saw. diyakini sebagai nabi dan rasul pamungkas. Al-Quran merupakan edisi final kodifikasi petunjuk Ilahiah yang menjamin pengikutnya terbebas dari ancaman perasaan khawatir dan sedih—sebagaimana dijanjikan kepada Adam dan Hawa pada adegan prolog.

Malam Istimewa

Sebentar lagi, umat Islam bersiaga menyambut tamu istimewa: bulan Ramadan. Menurut penjelasan Nabi Muhammad saw., Ramadan memiliki sejumlah keistimewaan. Pertama, pada bulan inilah Alquran mulai diwahyukan. Kedua, sepanjang bulan Ramadan, umat Islam diwajibkan berpuasa setiap hari. Ketiga, selama bulan suci ini setan-setan dibelenggu, pintu neraka ditutup rapat-rapat, dan pintu surga dibuka lebar-lebar. Keempat, pada bulan Ramadan terdapat malam yang istimewa, lebih mulia daripada seribu bulan.

Keempat keistimewaan Ramadan itu punya relevansi kuat dengan terapi Tuhan terhadap kelalaian Adam-Hawa. Kepada mereka berdua, Allah menjanjikan petunjuk yang akan menjamin pengikutnya terbebas dari kekhawatiran dan kesedihan. Perasaan murung (paduan khawatir dan sedih) yang pertama dialami manusia timbul akibat terbukanya aurat. Dalam bahasa Indonesia, aurat dijuluki sebagai kemaluan. Ya, aurat merupakan simbol sumber rasa malu. Hanya pengidap gangguan jiwa yang tidak malu membuka aurat di ruang publik. Rasa malu menjadi pangkal tolak keputusan manusia untuk melakukan atau menghindari perilaku dosa.

Dosa pertama yang dialami manusia terjadi lantaran aksi setan yang piawai menghasut. Bagi masyarakat Jawa, setan berkonotasi dengan roh jahat dan makhluk halus. Menurut desain-Nya, setan memang identik dengan karakter jahat. Celakanya, ia tidak rela menanggung konsekuensi atas kejahatannya itu sendirian. Manusialah yang dibidik sebagai mitra untuk menemani penderitaannya pada hari kelak. Hebatnya, provokasi setan dilancarkan secara halus melalui bisikan-bisikan lembut dan samar-samar. Hanya kalangan manusia yang terlatih dalam laku tirakat yang jeli membedakan antara nasihat dan hasutan.

Dari zaman ke zaman, puasa dikenal luas sebagai puncak laku tirakat. Bagi umat Islam,  puasa berfungsi sebagai laku tirakat dalam rangka menapaki tangga promosi ke puncak karier kemanusiaan, yakni takwa. Ketika mendapati Adam dan Hawa sibuk memunguti dedaunan surga untuk menutupi aurat mereka yang terbuka, Allah mendeskripsikan tiga fungsi pakaian. Ada pakaian primer sekadar untuk penutup aurat, ada pakaian sekunder sebagai perhiasan, dan ada pakaian takwa yang disebut sebagai pakaian terbaik. Melalui puasa, manusia mestinya terbimbing menjadi insan bertakwa. Dengan berbalutkan sikap mental takwa, niscaya manusia terhindar dari perilaku tercela yang memalukan.

Bagaimana profil manusia bertakwa itu? Sangat banyak ayat Al-Quran dan Hadis Nabi yang mendeskripsikan unjuk kerja orang bertakwa. Sedikit di antaranya termaktub di Al-Quran surat Az-Zariyat: “Hanya sedikit bagian malam yang dihabiskan untuk tidur; pada waktu sahur (akhir malam) mereka sibuk memohon ampunan; dan di dalam harta mereka ada alokasi untuk kaum papa, yang minta maupun yang tidak minta.” (Q.S. 51: 17 – 19)

Sebentar lagi malaikat akan kembali dibuat takjub demi menyaksikan perilaku asuhannya. Malamnya dihabiskan untuk menjalani ritus vertikal: salat, tadarus Al-Quran, zikir dengan berbagai kalimat pujian dan tobat. Siangnya dilalui dengan berbagai ritus horizontal: bekerja, berdakwah, bersedekah. Di antara seabrek aktivitas itu, terdapat dua amal yang tidak pernah bisa dilakukan malaikat: bersedekah dan bertobat. Malaikat tak mungkin punya peluang untuk bersedekah karena mereka tidak pernah mencari, memperoleh, atau memiliki materi. Mustahil malaikat sempat bertobat karena segala yang dilakukan semata-mata mematuhi perintah Tuhannya.

Kedua aktivitas itulah yang mengundang sikap takzim segenap malaikat penghuni langit. Pada suatu malam yang ditentukan, mereka berbondong-bondong turun ke bumi. Sayap-sayapnya dibentangkan untuk menaungi seluruh permukaan bumi. Dengan izin Tuhan, mereka membawa semua urusan yang diperlukan para hamba yang sedang bergerak ke puncak ketakwaan. Mereka tebarkan salam damai dan sejahtera hingga terbit fajar. Itulah Lailatulqadar, dambaan para pelaku puasa Ramadan.

Kepada segenap kaum muslim, selamat menunaikan puasa Ramadan 1433 H. Selamat berburu kemuliaan Lailatulqadar. Selamat mengejar predikat takwa. Di samping dinilai oleh Tuhan, puasa kita juga dinantikan dampaknya terhadap sesama hamba.

Kepada umat non-muslim, selamat membuktikan kualitas toleransi yang kita warisi dari leluhur bangsa kita. ***

2 komentar:

  1. Harus diakui, kualitas Kang GW memang jempolan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. aduh, kasihan teman-teman yg gak punya jempol, Om.

      Hapus

Populer