Tiga tahun terakhir saya mendapat tugas mengampu kelas 6—kelas terakhir di sekolah dasar. Pada awal tahun pelajaran, saya selalu bertanya kepada anak-anak, "Siapa yang selama bersekolah belum pernah menyontek?"
Berikutnya saya bertanya, "Siapa yang pernah diajari nyontek oleh orang tua kalian?" Di antara 420 anak tidak ada yang mengacung. Tanya saya lagi, "Siapa yang pernah diajari nyontek oleh ibu atau bapak guru kalian?" Kembali sepi. Tak ada yang tunjuk tangan.
Apakah nyontek itu warisan? Ataukah ia insting? Jadi, mereka bisa tanpa perlu diajari? Simak jawaban mereka atas pertanyaan berikutnya: "Siapa orang yang pernah mengajari kalian ilmu untuk tidak nyontek?" Sunyi! Renungkan!
Bisa jadi, anak-anak seusia itu ketagihan nyontek lantaran mereka tidak tahu menyontek itu tergolong perbuatan apa. Karena selama mereka bersekolah tidak ada orang dewasa yang sempat mendidik mereka untuk tidak menyontek, apa salahnya bila mereka menjadi pencandu perilaku haram itu?
Demi menangkap tengara itu, saya pun mengutip kisah yang ditulis Ratna Megawangi di dalam bukunya Pendidikan Karakter. Tiga tahun berturut-turut, kisah ini menjadi menu pertama yang saya sajikan di depan kelas. Andai Bu Ratna tahu kisahnya dibagi-bagi di depan anak-anak imut begini, saya berharap beliau bangga.
"Anak-anak, pada 1980-an ada seorang mahasiswa IPB (tentu, saya mesti menyela dengan bertanya, 'Siapa yang orang tuanya pernah berkuliah di IPB?') sedang mengikuti ujian semester. Mata pelajaran (mereka belum tahu mata kuliah) yang sedang diujikan adalah IPA (mereka tak kenal Fisika Dasar). Di antara sepuluh soal, si mahasiswa mampu menyelesaikan delapan soal. Dan, ... ia yakin kedelapan soal itu diselesaikan dengan sempurna. Jadi, nilai 80 (mereka tak paham nilai A, B, C, D, atau E) dijamin tercapai. (Saya kembali menyela dengan pertanyaan, 'Apakah kalian puas dengan nilai 80?' Serentak mereka menjawab, 'Tidaaak!')
Begitu juga mahasiswa itu. Ia ingin mendapat nilai utuh 100. Sayang, ia lupa rumus yang harus dipakai untuk menyelesaikan dua soal yang tersisa itu. Waktu yang tersedia untuk menyelesaikan ujian masih tersisa beberapa menit. Si mahasiswa pun memanfaatkan sisa waktu itu untuk memeriksa pekerjaannya.
Thing! Tanpa dinyana—apalagi diminta—temannya yang duduk persis di bangku depannya memegang lembar jawabannya dalam posisi tegak (saya sambil mendemonstrasikan). Otomatis, si mahasiswa tadi (sebut saja Mr. M, sesuai tulisan Bu Ratna) dapat melihat pekerjaan temannya itu. Tak tertinggal, rumus dua soal yang tersisa itu pun tampak jelas di kertas yang dipegang temannya. Waktu yang masih tersisa dimanfaatkan Mr. M untuk mengerjakan dua soal yang tertunda gara-gara lupa rumusnya. Dan, ... siiip! Ketika dua soal selesai dikejar, waktu ujian belum habis. 100! Ya, nilai penuh 100 pasti jadi miliknya.
Ngiiingngng ....! Tiba-tiba telinga Mr. M berdengung kencang. Seakan-akan ada bisikan nasihat agar ia menimbang-nimbang lagi jawaban dua soal yang baru saja usai disusulkan. Bukan menimbang benar atau salah jawaban yang ditulisnya! Yang harus ditimbang adalah halal-haramnya dua jawaban itu. Perang hebat terjadi di benaknya hingga waktu ujian hampir habis. Ketika waktu tersisa hanya dalam hitungan detik, Mr. M memutuskan untuk menghapus jawabannya atas dua soal tersebut.
Waktu ujian habis! Dosen pengawas ujian minta semua mahasiswa meninggalkan ruang ujian. Seorang mahasiswa belum beranjak dari bangkunya: Mr. M. Dengan nada marah, Pak Dosen membentak Mr. M untuk segera hengkang dari ruang ujian. Bahkan beliau mencurigai bahwa Mr. M mencuri waktu untuk menyelesaikan ujian. Mr. M bergeming. Ia terus saja menghapus dua jawaban hasil korupsi itu. Setelah beres, barulah ia keluar. Sambil berpamitan, ia menjelaskan apa yang dilakukannya hingga melewati batas waktu yang tersedia. Pak Dosen melepas kepergian Mr. M dari ruang ujian dengan senyum bangga."
Lalu, begini closing saya, "Anak-anak, jika sekarang Mr. M menjadi pejabat, apakah menurut perkiraan kalian ia akan melakukan korupsi?"
Kompak, mereka menjawab,"Tidaaak!"
"Kalian yakin itu?"
"Yakiiin!" jawab mereka, masih berjemaah.
"Kenapa kalian yakin bahwa ia tidak akan tertarik untuk melakukan korupsi?" Kali ini saya minta anak-anak yang ingin menjawab untuk tunjuk tangan.
Beberapa anak menegakkan salah satu lengannya (saya tidak mempersoalkan tunjuk tangan kanan atau kiri) ke atas. Salah satu di antara mereka saya beri kesempatan untuk berbicara.
"Begini, Pak. Kalau nyontek nggak sengaja saja ia nggak mau, apalagi korupsi. Pasti ia juga nggak selera makan uang hasil korupsi. Ya, kan, Pak?" argumennya.
Pertanyaan saya selanjutnya, "Siapa yang kelak ingin jadi koruptor?"
Sunyi! Tak ada tangan mengacung.
"Siapa yang suka dengan koruptor?" kejar saya.
Sepi! Tak ada yang tunjuk jari.
"Siapa yang benci dengan koruptor?" kejar saya berikutnya.
"Sayaaa ...!" teriak mereka kompak, sambil mengacungkan tangan ke atas.
"Siapa yang masih ingin nyontek lagi?" tantang saya.
Suwung! Tak ada tangan menjulur ke atas. Setelah itu, mereka mendadak mual setiap kali mendengar kata nyontek.
Ironinya, kenapa mesti ada gerakan nyontek massal di sekolah-sekolah kita? Apakah sekolah-sekolah itu sedang giat dan gigih berjuang mencetak bibit-bibit koruptor andal di negeri ini?
Ampun!
Kini, responden saya bertambah 30 anak. Dan ... seperti Anda tebak, ke-30 mereka mengaku pernah nyontek. Bahkan, sebagian besar mereka melakukan tindakan korup itu pada tes kenaikan kelas terakhir.
BalasHapusTapi, syukurlah, mereka kini berani menyatakan MUAK dengan perbuatan nyontek itu. Semoga Dia menerima taubat mereka. Amin.
Selamat berjuang, benih-benih pemimpin bangsaku ...