Langsung ke konten utama

Minta Maaf: Komoditas Termahal Abad Ini

Seorang anak melukai perasaan temannya dengan kata-kata kotor, jorok, hina, dan ... entah ajektiva apa lagi yang pas untuk mengatributi kata-kata itu. Orang tua si korban naik darah. Itu sikap lumrah, saya pikir. Siapa pun orangnya akan tersinggung mendapati anak kesayangannya yang masih bau kencur "dianugerahi" gelar serendah dan segelap itu. Masih beruntung, orang tua tersebut tidak serta merta melabrak pelaku. Dengan bijak, beliau mengadu kepada pihak--yang menurut harapan beliau--bisa menjadi mediator.

Dengan segala keterbatasan, penerima aduan mencoba mencari solusi. Fakta-fakta dihimpun dari segenap penjuru yang teridentifikasi bisa dijadikan rujukan informasi. Intervensi dilakukan--sekali lagi, dengan segala keterbatasan.
Mediator sangat berharap, orang tua pelaku legawa untuk memintakan maaf anaknya atas ulah isengnya kepada keluarga korban. Di titik inilah kekacauan budaya mulai menampakkan gejalanya.

Dari beberapa pertemuan mediasi, bisa ditengarai sejumlah gejala kekacauan budaya berikut.
  • Ternyata, hak untuk minta maaf itu dipandang hanya monopoli pihak yang bersalah. Rupanya, teladan Nabi Muhammad saw. belum cukup untuk menjadi cermin bagi umat beliau. Manusia pilihan Tuhan yang terlindung dari kesalahan itu tidak pernah sungkan untuk minta maaf setiap hari lebih banyak daripada orang-orang yang berlumur dosa dan kesalahan. Tampaknya, nabi pamungkas itu ingin menyadarkan umat manusia bahwa minta maaf adalah hak, bukan kewajiban. Bukankah maaf itu akan menjadi tiket utama masuk surga? Sementara, mendambakan surga itu semata-mata hak, bukan kewajiban!
  • Mengaku atau dianggap bersalah dipandang sebagai ancaman serius bagi keluhuran martabat. Lagi-lagi, sabda Kanjeng Rasul saw. diabaikan oleh umat yang mengaku sebagai pengikut beliau. Menurut Nabi saw., orang terbaik itu bukan orang yang tidak pernah bersalah, melainkan orang yang sanggup bertaubat dari kesalahannya. Nah, maaf adalah gerbang terdepan menuju ruang taubat.
  • Menyidik pencetus kesalahan pertama dipandang lebih mendesak daripada memperbaiki hubungan yang terkoyak. Ibarat orang mendapati celana robek, mengusut penyebab robeknya celana dianggap lebih penting daripada segera menambal celana yang robek itu. Jadi, biarlah si empunya celana tetap memakai celananya yang robek--walau harus tampil canggung di mana-mana--sampai ditemukan duri yang menjadi penyebab robeknya. Sekali lagi, anjuran Nabi saw. untuk merawat silaturahim gagal mengetuk hati penggemar aneka lafal selawat kepada beliau.
  • Menuding kekeliruan prosedur intervensi dirasa lebih memuaskan daripada mengapresiasi spirit untuk meretas jalan solusi. Bukankah Rasulullah saw. juga tidak sungkan untuk mengapresiasi ijtihad umat beliau--sekalipun ijtihad itu keliru?

Simpulan paling simpel dari peristiwa tersebut: PENDIDIKAN KITA GAGAL MEMBANGUN MANUSIA BERKARAKTER! Berbagai satuan, jenis, dan jenjang pendidikan kita hanya berhasil meluluskan kawanan manusia BERPENDIDIKAN, tetapi gagal menyemai manusia TERDIDIK!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da