2 Jan 2023

Menuju Sekolah Karakter: Definisi Karakter (2/5)

Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai “… you do the right thing even when no one seeing.” Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat.

Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril `alaihi as-salām: “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48)

Dua definisi yang berbeda secara harfiah, tetapi senada secara maknawi. Perilaku baik baru bisa disebut sebagai karakter jika telah menjadi perilaku konstan. Terhadap stimulus yang sama—apa pun situasinya—responsnya konsisten. Orang yang berkarakter jujur, misalnya, tidak akan pernah mengambil atau menerima pemberian apa pun yang bukan haknya.

Selain konsistensi, pengejawantahan karakter juga ditandai dengan spontanitas. Respons seketika, seperti refleks, itulah cerminan karakter. Seseorang yang berkarakter peduli dan welas asih tidak perlu berpikir lama untuk menolong anak ayam yang tercebur ke dalam got. Ia tidak berpikir apakah ada orang lain yang melihat tindakannya. Ia tidak berpikir apakah perbuatannya terekam CCTV. Ia tidak berpikir untuk mengambil ponsel pintar demi mengabadikan dan memviralkan aksinya.

Karakter menjelma aksi nyata secara konstan—konsisten dan spontan. Konsistensi dan spontanitas itu pola yang terbentuk melalui proses panjang pencelupan. Nilai-nilai luhur sudah mengakar di hati dan pikirannya, mendarah daging dalam pola sikap dan perilakunya.

Karakter vs. Reputasi

“Character is like a tree and reputation is like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing,” petuah Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat (1861—1865). Karakter itu ibarat pohon, reputasi ibarat bayangannya. Bayangan itu sangkaan kita, sedangkan pohon adalah benda sejatinya.

“Character is what you are, reputation is what others think you to be,” kata Rev Sam Davis, pensiunan pastor Kristen Ortodoks di Amerika. Karakter adalah apa sejatinya kita, sedangkan reputasi adalah seperti apa kita dalam sangkaan orang lain.

Belakangan kita makin sering terkena prank sejumlah figur publik. Betapa banyak politisi yang terpilih duduk di kursi bergengsi—eksekutif maupun legislatif—tiba-tiba muncul dengan rompi oranye berlabel “tahanan KPK”. Tak berbilang sudah aparat penegak hukum—bahkan sampai petinggi puncak: Ketua MK—terjerat kasus rasuah. Belum lenyap dari pemberitaan, kehebohan oleh dua jenderal: yang satu dalam kasus pembunuhan sadis, satunya lagi kasus peredaran narkoba.

Seseorang berhasil meraih kedudukan tinggi pasti telah melalui penilaian oleh pihak lain. Seorang politisi mendapat kepercayaan untuk mewakili rakyat di kursi legislatif atau memimpin pemerintahan karena rakyat pemilihnya menilainya sebagai orang baik. Seseorang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pasti sudah melalui seleksi untuk meyakinkan bahwa ia—selain mumpuni di bidang hukum—berintegritas tinggi. Seorang polisi berhasil meniti karier hingga menjadi perwira tinggi pasti melalui penilaian berjenjang, yang menyimpulkan ia polisi berprestasi dan terpuji.

Jika akhirnya orang-orang tersebut “tersandung” masalah hukum, berarti yang sebelumnya mereka tampilkan di muka publik hanyalah reputasi. Para pendukung, pemilih, penyeleksi, pengangkat mereka hanya melihat “bayangan pohon yang jatuh di tanah”—meminjam perumpamaan Lincoln. Bayangan pohon memang tampak hitam mulus. Tidak terlihat kulitnya yang mengelupas, rantingnya yang patah, daunnya yang robek, sarang dan tahi burung yang menempel di dahan.

Seseorang yang hanya mengejar reputasi pada umumnya memang berhasil mengecoh penglihatan orang lain. Namun, mustahil seseorang bisa mengelabuhi kesadarannya sendiri. Serapi apa pun dalam menjaga perilakunya di mata orang lain, seseorang pasti menyadari motif yang tebersit di hati dan pikirannya.

Dalam bahasa awam, pengawas paling jeli dan jujur atas perilaku seseorang adalah nuraninya sendiri. Dalam bahasa agama—setidaknya Islam, yang saya sedikit tahu; saya menduga, agama-agama apa pun juga demikian—ada Tuhan, Yang Maha Awas, selain nurani.

Pendidikan karakter punya orientasi jelas: membentuk karakter, bukan sekadar membangun reputasi.

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) menyampaikan, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” Maka, lebih lanjut ia mengingatkan, “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.”

Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat.

Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik. “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial jatah rakyat miskin yang menjadi tanggung jawab jabatannya.”

Bukan Menu Baru

Character education is not something new added to the plate; it is the plate itself. Pendidikan karakter bukan menu baru yang ditambahkan ke piring, melainkan piringnya itu sendiri. Kredo ini sangat populer di kalangan penggerak pendidikan karakter di sekolah.

Sejak awal kemunculannya, sekolah sejatinya hadir sebagai ajang untuk menempa karakter anak-anak muda. Aneka disiplin ilmu pengetahuan, berbagai cabang seni, olahraga, dan keterampilan dihidangkan sekadar sebagai alat bantu untuk menumbuhkan dan menyuburkan karakter siswa.

Dalam jamuan makan di sebuah pesta, tidak semua tamu bisa dipaksa untuk melahap seluruh makanan yang terhidang. Masing-masing hanya menyantap makanan yang sesuai dengan selera dan tidak mengganggu sistem pencernaan dan metabolismenya. Mengambil makanannya boleh suka-suka, asal bermanfaat bagi kesehatan dan kebugarannya.

Demikian pula sekolah, mustahil semua siswa mahir dalam seluruh mata pelajaran. Kegagalan siswa pada sebagian atau seluruh mata pelajaran sekolah hanya akan membatasi kesempatannya untuk memiliki keahlian dan memilih mata pencaharian kelak. Kegagalan itu sama sekali tidak mengunci mati peluang baginya untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Sebaliknya, siswa yang gagal menginternalisasi nilai-nilai luhur dan mematrikannya dalam pola tingkah laku, kelak akan menjadi biang kekacauan yang membahayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Kepintaran, profesi, dan kedudukannya tidak mengantarkannya menjadi problem solver dan menghadirkan kemaslahatan, tetapi justru menjadikannya problem maker dan memicu kerusakan.

Kesadaran Kolektif

Jika pendidikan diibaratkan proses pembuatan batik tulis, sekolah semestinya mengambil peran sebagai kolam celupan. Nilai-nilai luhur adalah “wenter” untuk mewarnai “mori” kepribadian siswa. Kepribadian yang sudah “diwarnai” dengan “wenter” nilai-nilai luhur itulah karakter.

Bakat dan minat siswa adalah “motif teraan malam” yang terbentuk oleh “goresan canting” kodrat alam. Kemelekatan “malam” kodrati pada “mori” potensi kognitif dan psikomotorik siswa itu sedemikian kuat sehingga menyulitkan penetrasi “wenter” pendidikan. Artinya, pendidikan tidak bisa memaksakan obsesi dan ambisi ala Kadariah hingga menyeragamkan standar capaian akademik seluruh siswa.

Celupan “wenter” karakter “hanya” memberikan “warna” afektif dalam proses memfasilitasi setiap siswa untuk mengembangkan potensi sesuai dengan “motif” bakat dan minat yang diterakan oleh “Sang Canting”. Dengan celupan nilai-nilai luhur, kodrat alam—yang mesti diterima dan diyakini sebagai mahakarya nircela (aḥsani taqwīm)—yang dibawa oleh setiap anak akan berkembang menjadi “batik” pribadi yang memesona. Karakter itulah yang bisa diseragamkan standarnya.

Siswa yang jago dan yang loyo dalam matematika, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Siswa yang berbakat dan yang sekarat dalam sepak bola, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang sportif dan kesatria. Siswa yang berobsesi menjadi pemusik dan yang mengharamkan musik, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang santun dan tabah.

Seberapa banyak karakter yang diinginkan untuk mewarnai kepribadian siswa-siswinya, sebanyak itu pula sekolah harus menyediakan “kolam wenter”. Teknik celup (dyeing, ṣibgah) memang tidak efisien, memakan waktu yang panjang dan menuntut ketelatenan tingkat dewa.

Karut-marut etika sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menerpa bangsa kita—juga hampir semua bangsa di dunia—tidak terlepas dari lemahnya kapasitas sekolah dalam menjalankan fungsi utamanya itu. Keprihatinan atas kekacauan massal itu semestinya memicu kesadaran segenap pemangku kepentingan untuk mendorong dan membantu sekolah-sekolah kembali ke khitahnya: institusi pendidikan karakter.

Energi pendidikan mesti dikerahkan untuk menguatkan kapasitas sekolah sebagai “kolam celupan” karakter generasi muda. Selera untuk sebentar-sebentar memodifikasi kurikulum adalah pemubaziran energi, selama rekonstruksi peran sekolah sebagai pendidik karakter dianaktirikan—apalagi diabaikan.

29 Nov 2022

Ketika Sekolah (Tak) Tergoda Atribut Semu

"Kau ini bagaimana? Dipercaya jadi jago kecamatan, kok, enggak serius?"

Pejabat pemegang otoritas bidang pendidikan tingkat kecamatan menegur saya. Sekitar tiga bulan sebelumnya, sekolah kami ditunjuk sebagai kontestan dalam lomba sekolah sehat (LSS) tingkat kota. Pada tahun yang sama, satu sekolah lain di kecamatan kami maju ke tingkat nasional pada ajang lomba serupa setelah menyabet gelar juara I tingkat provinsi pada tahun sebelumnya.

Saya bertanya kepada kepala sekolah duta provinsi: berapa dana yang sudah dihabiskan untuk memoles wajah sekolahnya dan berapa dana yang sudah diterima sebagai hadiah juara tingkat kota dan provinsi. Jawabannya menciutkan nyali saya untuk berjibaku. Total nilai hadiah yang terkumpul tidak mencapai lima persen dari biaya permak yang sudah keluar.

Saya mulai berhitung. Untuk memenuhi kriteria sekolah sehat, sekolah kami masih harus menambah sejumlah sarana dan prasarana. Kebutuhan itu tidak tercantum di dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) yang sudah disahkan sebelum memasuki tahun ajaran tersebut. Kalau kami nekat berutang untuk membiayai pengadaan sarana/prasarana baru itu, seandainya menang di tingkat nasional pun, hadiahnya jauh dari cukup untuk melunasinya.

Seperti sekolah yang sedang maju LSS ke tingkat nasional, sekolah kami swasta. Yayasan yang tertib administrasi tentu tidak berkenan mengabulkan proposal belanja di luar anggaran. Apalagi, nilai belanjanya cukup besar.

Memenangi LSS itu baru kemungkinan. Ya, mungkin sekolah kami akan dinobatkan sebagai juara sekolah sehat tingkat kota, provinsi, atau nasional. Secara fisik, sekolah kami punya peluang untuk dinyatakan lebih sehat daripada sekolah-sekolah lain yang menjadi kompetitor kami. Namun, di balik fisik yang digelari sehat itu, sekolah kami rapuh di anggaran. Diakui sehat secara fisik itu baru mungkin, sedangkan mengalami sakit secara finansial itu sudah pasti.

"Tidak serius bagaimana, Pak?" tanya saya.

"Lha wong dokumen yang dikirim saja hanya fotokopian gitu, kok."

Kesempatan untuk menolak—bahkan, menawar pun—titah untuk berlaga di ajang LSS itu tidak ada. Perintah itu serta merta disampaikan dalam rapat dinas bersama para kepala sekolah sekecamatan. Tidak ada negosiasi sebelumnya. Sekadar pemberitahuan pun nihil.

Bila tidak mungkin menolak, masih ada kemungkinan: mengelak. Saya menemukan celah untuk lolos dari jebakan maut itu. Tahap pertama dalam penjurian LSS adalah penilaian administrasi. Disebutkan, dokumen semacam profil sekolah sehat yang diterima panitia harus asli. Bakat nakal saya mendapatkan panggung. Dokumen tetap kami—hanya berdua dengan deputi bidang humas dan sarana/prasarana—siapkan secara lengkap. Konsep sekolah sehat kami paparkan di sana. Baru sebatas konsep, angan-angan, karena kami belum mengimplementasikan seluruhnya.

Dapat dipastikan, sekolah kami gugur di tahap pertama: penilaian administrasi. Alhasil, tidak ada visitasi tim penilai ke sekolah kami. Saya tidak membantah titah atasan. Saya hanya mengelak dari iming-iming yang akan menyengsarakan. Gelar, piala, dan piagam sebagai pemenang LSS memang bisa menjadi atribut mentereng. Namun, mengejar ambisi dadakan seperti itu akan mendatangkan penyakit organisasi: carut-marut tata kelola keuangan, setidaknya.

"Penunjukan sekolah kami itu serius, to?" saya balik bertanya.

Kalau serius, semestinya penunjukan itu dilakukan selambat-lambatnya tahun anggaran sebelumnya. Dengan demikian, sekolah yang ditunjuk bisa memprogramkan LSS dalam rencana kegiatan dan anggaran sekolah (RKAS). Kebutuhan biaya bisa dianggarkan. Pembagian tugas personel bisa dijabarkan. Langkah-langkah kerja bisa disusun.

Saya justru merasa serius menyikapi penugasan yang tidak serius itu. Kalau tidak serius, bisa saja saya membujuk yayasan untuk menggelontorkan dana pengadaan dan perbaikan sarana/prasarana. Dengan bahasa kekuasaan, mudah saja saya mengerahkan personel untuk memoles tampilan sekolah. Toh saya bisa menyusun narasi ilusif untuk meyakinkan yayasan dan bawahan bahwa menjadi juara LSS akan mengibarkan nama sekolah di mata khalayak.

Mengapa itu tidak saya lakukan? Ya, karena saya serius menakar derajat kesehatan sekolah kami. Lingkungan fisik memang bisa disulap dalam sekejap agar berkesan sehat. Itu pun sudah cukup ampuh untuk mengelabui juri yang memotret profil kesehatan sekolah hanya beberapa jam—atau, bahkan beberapa menit—selama visitasi. Sementara, saya merekamnya secara real time dari hari ke hari, dari menit ke menit. Yang terekam tidak sekadar tampilan lingkungn fisik. Ada sisi yang jauh lebih signifikan untuk menggambarkan potret kesehatan sekolah: perilaku warganya.

Rekaman autentik perilaku sehari-hari kami masih jauh dari kriteria budaya hidup sehat. Seandainya kami ngotot maju dalam LSS dan berhasil membuat juri silau hingga memenangkan kami, apa yang saya dapatkan kemudian? Tidak mustahil kami akan terjebak di dalam kepuasan palsu: begini saja sudah juara, kok. Dus, kami akan nyaman melanggengkan budaya hidup taksehat. Mburu uceng kelangan deleg, kata pepatah Jawa.

Lain cerita seandainya gaya hidup sehat sudah menjadi budaya yang mendarah daging di komunitas sekolah. Amanah untuk bertarung dalam LSS itu akan saya manfaatkan sebagai senjata untuk menodong yayasan. Ajang LSS menjadi wasilah untuk menutup kekurangan sarana/prasarana dan memperbaiki tata lingkungan sekolah. Kalau kalah, kami tidak rugi dan tidak merugikan. Kalau menang, kami tidak menyembunyikan kepalsuan.

Setiap atribut yang disandang mesti melambangkan cerita asli dan citra sejati. Bukankah to be itu lebih memuaskan daripada to get?


Tabik.

25 Nov 2022

Jepang Guru Dunia

 

Pergelaran Piala Dunia 2022 baru memasuki hari ke-6. Pertandingan final baru akan berlangsung pada 18 Desember. Penyisihan grup baru akan berakhir sepekan ke depan. Para pengamat dan penggila bola mulai ramai memprediksi tim negara mana yang akan keluar sebagai juara. Beragam pendekatan mereka gunakan: analisis ilmiah, fanatisme primordial, hingga ramalan mistis.

Saya bukan pengamat persepakbolaan. Bukan pula penggila bola. Jangankan menonton langsung di stadion, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil ngopi dan ngemil di depan TV pun kalau dirata-rata tidak sampai satu kali setahun. Andaikan ditanya tentang hasil pertandingan babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 ini—yang sudah memainkan 16 laga—saya hanya bisa menyebut dua: Jepang menang atas Jerman dan Arab Saudi menang atas Argentina. Dua kemenangan itu pun tanpa saya ingat skornya.

Meski buta bola, jika ditanya siapa juara Piala Dunia di Qatar kali ini, saya punya jawaban yang jauh lebih maju daripada para pengamat jeli dan peramal sakti. Mereka baru memprediksi dan menjagokan, saya sudah menetapkan: Jepang. Apakah jawaban saya terpengaruh oleh kemenangan mengagetkan Jepang atas Jerman dalam duel Rabu lalu? Sama sekali tidak. Sampai detik ini saya bahkan belum mencari rekaman pertandingannya.

Adalah Jurgen Klopp yang pertama membisiki saya. "GORGEOUS! Dozens of Japanese fans stayed at the end of the Qatar-Ecuador match to clean the stadium's stands," tulis Klopp di halaman Facebooknya. "While everyone rushed to the stadium exit to avoid traffic, the Japanese waited for the stadium to empty and then came with their own trash bags to clean the stands for over an hour. RESPECT," lanjutnya.

Entah kapan Klopp mengunggah tulisan itu. Saya menemukannya kemarin. Jangan pula tanyakan kepada saya: siapa Jurgen Klopp. Saya menemukan fan page-nya tanpa sengaja. Tulisan singkat Klopp itu mendorong saya untuk mengulik informasi lebih banyak. Ternyata sudah beredar video yang merekam aktivitas para "pemulung" dari Jepang usai laga perdana di Al Bayt Stadium itu. Omar Farooq, influencer dan youtuber dari Bahrain, membagikan video hasil rekamannya itu melalui sejumlah platform media sosial.

Seorang penonton dari Jepang menenteng dua kantong plastik besar berisi sampah hasil menyisir tribune

Tukang sampah gratis itu tidak sendirian. Anggota pasukannya banyak dan menyebar di segala penjuru stadion. Tidak hanya yang pria dan muda, regu kebersihan sukarela itu juga melibatkan kaum wanita dan tua. Masing-masing membawa kantong plastik untuk menyimpan sampah-sampah yang ditinggalkan produsernya. Mereka bergerak tanpa komando. Satu-satunya aba-aba yang mereka pahami sebagai tengara untuk memulai aksi adalah bunyi panjang peluit wasit tanda pertandingan berakhir.

Tidak seperti para penonton lain yang berebut jalan menuju pintu keluar, para penonton dari Jepang justru bergeming di tempat duduk. Mereka bersiap-siap untuk beralih peran: dari penonton menjadi relawan kebersihan. Setelah ditinggalkan penghuninya, deretan kursi penonton mereka sisir. Segala macam sampah—yang luput dari perawatan oleh produsernya—mereka pungut dan simpan di kantong plastik yang sudah mereka siapkan.

Aksi pungut dan simpan sampah tidak mengenal gender

Usia bukan penghalang untuk menjadi relawan sampah

Usut punya usut, Qatar bukan negara pertama yang menjadi ladang pengabdian mereka. Beberapa media meliput aksi serupa dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2018 di Rusia dan 2014 di Brasil. Bisa jadi, operasi sampah itu selalu berlangsung di stadion mana pun asal ada penonton dari Jepang. Boleh jadi pula, peluang "memulung" di stadion itu tertutup jika seluruh pengunjungnya orang Jepang. Sebab, masing-masing merawat sampahnya sendiri.

Tidak hanya penonton, pemain pun punya perilaku yang sama. Sejumlah portal berita menyebut, usai pertandingan, para pemain timnas Jepang selalu meninggalkan ruang ganti dalam keadaan bersih dan rapi. Perilaku beradab orang Jepang tidak hanya dapat dijumpai di ruang ganti pemain dan tribune penonton. Foto berikut menunjukkan betapa santun dan legawa para pemain timnas Jepang menyikapi kekalahannya.

Para pemain timnas Jepang memberikan hormat setelah dikalahkan Pantai Gading pada Piala Dunia 2014 di Brasil

Dalam banyak hal, Jepang layak menyandang gelar Guru Dunia.


Tabik.

14 Nov 2022

Sepeda (Lagi)


Sepeda lagi. Kendaraan tak bermesin ini belakangan kian populer. Fungsinya tak lagi sekadar alat transportasi. Selain untuk berolahraga, kini banyak orang bersepeda sebagai hobi. Tampaknya ada juga tren bersepeda sebagai medium sosialisasi—bersosialisasi atau menyosialisasikan.

Sebagai kendaraan, sepeda mengemban tugas untuk bergerak dari satu titik ke titik lain. Di dalam tugas tersebut terkandung dua fungsi: arah dan laju. Untuk mengendalikan arah dan laju itu, tiga komponen berperan secara langsung: setang, rangkaian pedal-gir-rantai, dan rem. Ketiganya menjadi penentu arah dan laju gerak putar roda.

Untuk menunaikan misinya—menggerakkan roda sepeda dari titik keberangkatan ke titik tujuan—pengendara cukup mengoperasikan tiga komponen: setang, pedal, dan rem. Namun, terdapat demikian banyak komponen lain untuk menjamin ketiganya dapat beroperasi secara baik.

Harus ada sumbu (as) yang menghubungkan lengan pedal kanan dan lengan pedal kiri. Diperlukan gotri-gotri sebagai bantalan untuk menghindari gesekan antara as dan selongsongnya. Dibutuhkan vaselin untuk melumasi gotri-gotri agar leluasa berputar. Pada setiap persendian—antara pedal dan lengannya, lengan pedal dan as—mesti ada pasak pengencang.

Bantalan, pelumas, dan pasak itu diperlukan di banyak komponen sepeda. Mereka tidak tersentuh tangan dan kaki pengendara. Mereka juga bukan pelaku pengoperasian gerak sepeda. Sebagian bahkan tidak kasatmata wujud dan perannya. Namun, mereka berkontribusi nyata dalam menghadirkan kelancaran, keringanan, kenyamanan, keselamatan, dan kemudahan ("larinya semu") berkendara.

Demikianlah tata kerja sebuah organisasi. Jabatan struktural—pemegang fungsi direktif dan wewenang eksekutif—tidak perlu banyak: setang, pedal-gir-rantai, dan rem saja sudah cukup. Namun, agar direksinya akurat dan eksekusinya efektif-efisien, pejabat struktural membutuhkan komponen-komponen pendukung "larinya semu" dalam penyelenggaraan organisasi: pasak, bantalan, dan pelumas. Adakalanya dibutuhkan juga tuas dan pegas.

Karena tidak memiliki kewenangan direktif dan eksekutif tetapi peran dan fungsinya tidak bisa dinafikan, komponen-komponen nonstruktural itu lazim disebut sebagai jabatan fungsional. Pemangku jabatan fungsional tidak perlu berebut peran struktural. Komponen fungsional tak usah bernafsu untuk ikut mengoperasikan komponen struktural. 

Gotri-gotri sumbu pedal tak perlu ikut memutar as. Mereka cukup me-"larinyasemu"-kan putaran as pedal yang dikendalikan oleh kayuhan kaki pada pedal. Gotri-gotri sumbu roda tak perlu ikut memutar as roda. Mereka cukup me-"larinyasemu"-kan putaran as roda yang dikendalikan oleh tarikan rantai pada gir roda. Gotri-gotri sumbu setang tak perlu ikut memutar as setang. Mereka cukup me-"larinyasemu"-kan putaran as, mengikuti gerakan setang yang dikendalikan oleh tangan pengemudi.

Rangka

Rangka menentukan konstruksi sepeda dan komposisi komponen-komponennya. Letak, ukuran, dan jumlah komponen-komponen sepeda mengikuti konstruksi yang terbentuk oleh rangka. Lengan bawah (chain-stay), misalnya, menentukan diameter roda dan panjang rantai. Diameter roda pada gilirannya menentukan panjang dan jumlah ruji-rujinya. Diameter roda menentukan ground clearance sebagai dasar untuk menentukan panjang lengan pedal.

Konstruksi tiap-tiap sumbu berpengaruh terhadap ukuran dan jumlah gotri bantalannya. Diameter dan jumlah gotri ditentukan oleh ukuran rongga yang terbentuk oleh selisih antara keliling selongsong dan keliling as. Ukuran ban berpengaruh terhadap volume udara yang dibutuhkan untuk mengisinya. Begitu seterusnya; konstruksi dan komposisi komponen-komponen sepeda ditentukan oleh struktur rangkanya. 

Seperti rangka sepeda itulah fungsi struktur organisasi. Tanpa struktur yang jelas, komponen-komponen organisasi tidak punya pedoman untuk memahami kedudukannya, menentukan ukuran dan jumlahnya. Atau, lebih parah lagi, ketiadaan struktur organisasi yang jelas itu bisa memicu komponen-komponennya untuk beroperasi menurut insting dan nafsunya masing-masing.

Jika tidak ingin menjadi sekadar kumpulan organ-organ, organisasi harus melengkapi diri dengan struktur organisasi dan tata kerja. Cukuplah sepeda menjadi cermin.


Tabik.

Terbaru

Qada 3.000

Senin, 8 April 2024. Hari kedua terakhir puasa. Sidang isbat memang belum digelar. Namun, saya sudah memastikan diri untuk berlebaran pada R...

Populer