Langsung ke konten utama

Postingan

Merindukan Cetak Biru Pendidikan Nasional

Peta jalan itu memicu kegaduhan. Fenomena ini tidak jauh berbeda dari pengalaman sementara orang ketika bepergian ke suatu tempat yang belum dikenali secara pasti rutenya. Pada era sekarang makin banyak orang mengandalkan jasa peta digital yang aplikasinya bisa diinstal di telepon pintar. Aplikasi canggih ini memang cukup memanjakan. Hanya dengan memasukkan alamat yang hendak dituju, pelawat akan dipandu menyusuri rute menuju alamat tersebut. Tak perlu repot-repot berhenti di sana sini untuk bertanya. Efisien. Di balik kecanggihannya, adakalanya aplikasi digital membuat penggunanya kesal. Alih-alih menghemat waktu dan jarak tempuh, kadang-kadang pengguna peta virtual itu justru dibawa berputar-putar tak kunjung sampai ke alamat. Bahkan, lebih tragis lagi, ada yang perjalanannya berujung di tempat angker, kuburan misalnya. Dalam situasi demikian, wajar jika penggunaan jasa peta digital berbuntut kekesalan. Tak aneh pula jika kekecewaan itu dilampiaskan dengan gerutu, caci maki, umpatan,

Ketika Semua Harus (Bisa) Menulis

“Halhaaah ... yang penting kamu itu nulis!”  Begitu, komentar salah seorang guru saya atas keputus(asa)an saya. Tiga huruf di dalam kurung itu opsional: boleh dipakai, boleh juga tidak dipakai. Ada unsur keputusasaan, memang. Akibat kegagalan saya untuk meyakinkan seseorang. Bahwa argumentasi di dalam prosposal saya benar. Secara empiris. Pun solusi yang saya tawarkan. Rasional. Prospektif. Penolakan atas proposal nakal itu kemudian mengantarkan saya ke sebuah keputusan. Bulat. Memutus rantai ritual akademik.  Yang penting menulis. Itulah pengakuan jujur dari guru saya itu. Memang, kesimpulan saya, mata rantai yang saya tampik itu beraroma “yang penting menulis”. Tidak harus “menulis yang penting”. Bahkan, praktiknya bisa lebih parah lagi: yang penting setor tulisan. Entah karya sendiri atau belian. Semua harus menulis. Fardu ain ini sekarang tidak hanya berlaku sebagai ritual untuk memperoleh titel akademik terentu. Syariatnya sudah merambah ke dunia kerja. Menjadi syarat untuk kenaik

Berkorban untuk Berkurban

  السلام عليكم ورحمة الله وبركاته اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ هَدَانَالِهٰذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا اَنْ هَدَانَا اللهُ اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهٗ لَا شَرِيْكَ لَهٗ   وَاَشْهَدُ انَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهٗ وَرَسُوْلُهٗ لَا نَبِيَّ بَعْدَهٗ اَللّٰهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلٰي نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰي آلِهٖ وَاَصْحَابِهٖ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسٰنٍ اِلٰي يَوْمِ الْقِيٰمَةِ يٰٓأَيُّهَا الّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَ اَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ اَللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ اَللهُ اَكْبَرُ وَ لِلّٰهِ الْحَمْدُ Kaum muslimin, yang dimuliakan Allah, Hari ini, Jumat, 31 Juli 2020 Miladiyyah bertepatan dengan 10 Zulhijah 1441 Hijriyyah , Allah sub ḥ ānahū wa ta`ālā izinkan kita berjumpa dengan hari raya Iduladha. Tiada kalimat yang lebih pantas untuk kita ucapkan daripada ungkapan syukur اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ . Umu

Memuliakan Tamu

Prof Furqon menghadiahkan 3 buku karyanya kepada SMA Islam Hidayatullah Semarang Solo, 11-01-2020 Saya lagi beruntung. Atau, lebih tepatnya: saya beruntung lagi. Di luar rencana, tetiba mendapat kesempatan jalan-jalan. Tidak jauh, memang. Sekitar 1 jam dari kota pangkalan. Mendadak didaulat untuk mewakili pimpinan. Membersamai teman-teman seperjuangan: para guru dan tenaga kependidikan Smaha Hebat. Silaturahmi ke saudara tua: SMA Al-Islam 1 Surakarta. Sembari kulak kawruh . Ikhtiar untuk selalu berbenah. Jarum jam masih lumayan jauh menuju angka 8. Rombongan kami tiba di tempat tujuan. Di Jalan Honggowongso. Kelurahan Panularan. Kecamatan Laweyan. Sopir bus sempat bingung mencari tempat parkir. Agar tidak mengganggu lalu lintas. Sementara, bus menepi dan berhenti di seberang Sekolah. Beberapa penumpang turun. Lalu berjalan menyeberang. Tidak lama kemudian, datang seorang petugas. Memandu bus untuk kembali berjalan, berputar balik beberapa meter di depan, dan berparkir di depan Sek

7 Kemerdekaan yang Terenggut dari Guru (Tafsir Radikal atas Pidato Mendikbud pada Peringatan Hari Guru Nasional 2019)

Pidato Mendikbud Nadiem Makarim pada upacara bendera peringatan Hari Guru Nasional 2019 menuai apresiasi luas. Ini kalimat utamanya: “Guru Indonesia yang tercinta, tugas Anda adalah yang termulia sekaligus yang tersulit.” Kalimat utama tersebut segera diikuti tujuh kalimat penjelas. Ketujuh-tujuhnya berisi potret kontradiksi antara  das Sollen  dan  das Sein  yang disandang guru. Khas guru Indonesia, tentu. Pertama, “Anda ditugasi untuk membentuk masa depan bangsa, tetapi lebih sering diberi aturan dibandingkan dengan pertolongan.” Inilah akar kemerdekaan guru yang tercerabut. Justru seiring pengakuan guru sebagai profesi. Kontraproduktif. Konyol, bahkan. Di belahan dunia mana pun, profesionalisme ditandai dengan otonomi. Guru profesional mestinya bekerja dan berkarya secara otonom. Seorang profesional bertanggung jawab atas dasar kepercayaan  (trust-based responsibility).  Sementara, regulasi demi regulasi yang mengatur kerja dan karya guru cenderung menempatkan guru sebagai  a total

Tak Ada Murid Tak Pintar

Dia itu salah satu murid saya. Murid ilmu per-SOAL-an. Mulai dari nol. Besar. Dulu dia suka menyodorkan soal. Sudah jadi naskah sepaket. Minta disuntingkan. Saya baca sekilas. Lalu saya tanyakan: mana kisi-kisinya? Terbelalaklah si empunya soal. Saya hafal. Mayoritas soal tes di negeri ini tidak menetas dari telur kisi-kisi. Entah. Mungkin terlalu merepotkan. Sempat membuat soalnya saja sudah bejo. Tak perlu dibebani tuntuntan yang lebih merepotkan: membuat kisi-kisi. Atau ada alasan lain: sudah mahir. Tiap pekan membuat soal. Masa, masih harus membuat kisi-kisi juga? Dalam coaching kelompok pekan lalu, saya bertanya. Kepada seorang teman. Guru, yang juga penjahit. “Apakah penjahit yang sudah mahir juga biasa membuat baju yang dipesan pelanggannya tanpa membuat pola?” Begitu saya bertanya. “Ya tidaklah, Pak,” jawabnya. Sambil berekspresi gemas. Atau menggemaskan?

Ulah Radikal dalam Merawat Kompetensi Guru

Menggemaskan! Itu kesan saya tentang modus pendidikan di negeri tetangga. Tetangganya Timor Leste. Betapa tidak? Ups, tahan dulu. Nanti saja narasinya. Di paragraf ujung sana. Atau di ujung tulisan ini. Dua pekan terakhir ini saya berkutat dengan koreksi soal. Aneh, memang. Lazimnya, yang dikoreksi jawabannya. Kok, ini soalnya? Begitulah. Eh, belum. Baru begini. Maksudnya, begini ceritanya. Seperti dalam catatan HOTS yang Lagi Hot #1 dan #2, pada 26 Januari lalu  saya menerima titah. Menemani teman-teman belajar membuat soal HOTS. Lengkapnya: soal tes tulis yang menguji keterampilan berpikir aras lebih tinggi (higher order thinking skills atau HOTS). Kegiatannya bertajuk coaching. Saya juga kewalahan menemukan padanan yang pas untuk kata coaching itu. Di kamus pernah saya temukan arti coach : kereta yang ditarik oleh empat kuda. Semacam kereta kencana tunggangan Prabu Kresna, barangkali. Yang turut berjasa dalam perang agung Bharatayudha itu. Saya menyanggupi. Dalam hati, say