Keutuhan Bangsa sedang terancam. Kata mereka. Benarkah demikian? Benar atau salah bergantung pada keyakinan dan sikap Anda.
Saya sih sudah biasa menonton pentas ketoprak. Dulu. Di kampung. Di atas panggung, para pemain saling menyerang. Antarkubu. Saling menyalahkan kubu lain. Tantang-menantang. Menebar ancaman. Berantem. Mengadu ketebalan kulit, kekenyalan daging, kekuatan otot, dan kekokohan tulang. Berlomba kesaktian mantra dan keampuhan jimat. Unjuk keterampilan menggunakan dan ketangkasan mengelakkan senjata. Tubuh-tubuh lincah bermanuver. Akrobatik. Berguling-guling. Berlompatan. Jatuh korban. Bertumbangan. Mengerang kesakitan. Terkapar bersimbah darah.
Lalu tampil adegan selingan. Dagelan. Bisa solo, duo, trio, atau kwartet. Para prajurit yang kelelahan beristirahat di belakang panggung. Di balik screen. Berbagi kopi. Secangkir berdua. Segelas bertiga. Atau berempat. Atau bertakberbilang. Bahkan. Juga berbagi rokok. Sebatang berlima. Berenam. Berberapa pun. Sambil terbahak. Berbarengan. Atau bersahutan. Tak terlihat. Juga tak terdengar. Oleh penonton.
Saya menikmati saja setiap adegan. Sesekali sambil menepuk-nepuk paha. Atau memukul-mukul dengkul. Meniru dansa kedua tangan si tukang kendang. Yang menjadi dirigen korps karawitan. Tak ada lintasan di kepala saya. Bahwa ada gejala perpecahan di balai pertunjukan. Bahwa para prajurit keraton saling sikat dan sikut, itu iya. Benar belaka. Tapi aksi mereka itu sekadar mengikuti irama orkestra. Bebunyian gamelan di bawah panggung. Andai para penabuh gamelan ngambek massal. Dijamin aksi para pemeran lakon ketoprak pun berhenti. Mematung. Tanpa adegan. Tanpa dialog. Lalu. Yang terdengar tinggal gemuruh penonton. Yang memadati gedung. Atau tobong. Mencaci maki. Mengumpat. Melempar kursi. Jika ada. Marah. Kepada kru ketoprak yang batal berpentas.
Penonton boleh bereaksi. Apa saja. Macam-macam. Terbawa emosi. Menangis iba. Marah geregetan. Atau tertawa geli. Namun. Itu semua tak berpengaruh. Terhadap nasib pemain. Yang berakting di panggung. Maupun yang sibuk di bawah. Menabuh gamelan. Yang terasa pengaruhnya bagi mereka: berapa banyak karcis yang terjual. Dalam jadwal pertunjukan itu. Atau tepatnya, yang terbeli. Oleh penonton. Yang merelakan diri. Memerankan lakon memelas. Sebagai korban.
Yang bejo sahabat saya. Yang namanya juga Bejo. Kebetulan. Dia ikut ke lokasi pertunjukan. Digendong ibunya. Ketika berangkat. Tapi tidak ikut masuk gedung. Uang karcisnya diminta cash. Dibelikan kacang goreng kulitan. Dikupas kulitnya. Satu per satu. Dikunyah biji demi biji. Hingga lumat. Lalu ditelan. Sampai habis. Bersama pentas usai. Kemudian turut pulang. Bersama massa penonton. Ganti bapaknya. Yang menggendong sampai rumah. Dan sahabat saya sudah tertidur pulas. Berkasur punggung bapaknya.
Dus, nyatakah acaman perpecahan Bangsa? Atau hanya ilusi penonton? Yang dibangun oleh ilustrasi adegan panggung? Dan diprovokasi oleh orkestra di bawah panggung? Untuk membangun opini bahwa telah terjadi kekacauan? Lalu melahirkan pahlawan? Untuk dielu-elukan!?
Sabegja-begjane sing lali nganti keli, luwih begja si Bejo tidur pulas dalam kenyang.
Begitu saja. Paham?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar