28 Mar 2018

UN dan Malapraktik Penilaian

Untuk kali kesekian, Ujian Nasional (UN) menjadi topik hangat yang menyedot perhatian publik untuk turut meramaikan perbincangan seputar dunia pendidikan kita. Kali ini, kegaduhan UN dipicu oleh rencana moratorium UN yang dilontarkan oleh Mendikbud Muhadjir Efendi.

Seperti biasa, perubahan kebijakan selalu mengundang beragam tanggapan. Apalagi bila isu perubahan itu diembuskan oleh pejabat baru. Komentar klise yang paling mudah tersulut adalah tuduhan bahwa ganti menteri, ganti kebijakan. Tanggapan miring itu tidak sepenuhnya salah. Lihat saja perubahan kebijakan menyangkut UN dari waktu ke waktu. Mulai sekadar mengganti nama dari UAN (Ujian Akhir Nasional) menjadi UN, mengamputasi fungsi UN sebagai penentu kelulusan, hingga yang terakhir moratorium UN, semua terjadi pascasuksesi Menteri.

Secara konseptual, sebagaimana termaktub dalam Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005, UN memiliki empat fungsi: (1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan pendidikan; dan (4) pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sejak 2015, fungsi nomor (3) dihapus melalui PP 13/2015. Penghapusan fungsi UN sebagai penentu kelulusan itu tampaknya dimaksudkan untuk meredam kecaman publik bahwa proses pendidikan selama enam atau tiga tahun dinafikan oleh “ritus” UN selama tiga atau empat hari.

Setelah tidak lagi berfungsi sebagai penentu kelulusan, UN masih menyisakan pertanyaan menyangkut dua fungsi yang lain: pemetaan dan peningkatan mutu pendidikan. Benarkah hasil UN selama ini sudah dimanfaatkan untuk memetakan mutu pendidikan? Jika ya, sejauh mana hasil pemetaan tersebut dimanfaatkan sebagai acuan bagi upaya peningkatan mutu pendidikan? Jangan-jangan, pemetaan mutu itu hanya mewujud dalam pemeringkatan perolehan nilai UN? Jangan-jangan pula, upaya peningkatan mutu itu hanya sebatas berujung pada mutasi kepala sekolah?

Kedua fungsi tersebut mestinya menjadi fokus evaluasi pasca-UN. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, tujuan utama penilaian adalah untuk memetakan pencapaian kompetensi oleh peserta didik dan menentukan tindak lanjut perbaikan program. Sejauh pengamatan penulis, keduanya sering luput dari perhatian serius—untuk tidak menyebut terabaikan—dalam rangkaian penyelenggaraan UN. Yang lebih dominan, UN terkesan sebagai ajang adu prestasi antarpeserta didik, perebutan posisi antarsatuan pendidikan, dan pertarungan prestise antardaerah.

Penilaian pendidikan yang miskin makna dan dampak tidak hanya terjadi pada UN. Pengabaian makna dan dampak itu dapat dengan mudah dijumpai pada praktik penilaian hasil belajar sepanjang tahun di banyak kelas dan sekolah. Penilaian menjadi bermakna jika mampu mengukur apa yang mesti diukur, dan menjadi berdampak jika mampu menyajikan informasi sebagai rambu-rambu tindak lanjut untuk perbaikan program.

Kebermaknaan penilaian ditentukan oleh teknik yang dipakai. Teknik penilaian tertentu cocok untuk mengukur pencapaian kompetensi pada ranah tertentu, tetapi belum tentu cocok untuk mengukur pencapaian kompetensi pada ranah yang lain. Kompetensi sikap (afektif), misalnya, tidak mungkin dapat diukur dengan teknik penilaian tes tulis. Pemilihan teknik yang benar pun tidak serta merta menjamin kebermaknaan data hasil penilaian. Diperlukan instrumen yang sahih untuk merekam unjuk kerja peserta didik. Perancangan instrumen penilaian inilah yang menuntut kerja ekstrakeras sehingga sering dihindari oleh pelaku penilaian.

Dampak penilaian tercermin pada pemanfaatan data atau informasi yang dihasilkan. Pada tataran praksis, hasil penilaian masih lebih dominan dimanfaatkan sebagai acuan untuk keperluan penempatan. Akumulasi data hasil penilaian bermuara pada angka-angka di rapor dan ijazah. Nilai rapor dan ijazah kelak digunakan untuk menentukan peserta didik naik atau tinggal kelas, lulus atau tidak lulus, dan diterima di sekolah mana setelah lulus.

Ilmu penilaian, tampaknya, menjadi cabang ilmu pendidikan yang terabaikan dalam pendidikan guru— baik pre-service maupun in-service training—di negara kita. Asumsi ini setidaknya didukung oleh dua tengara. Pertama, belum banyak guru yang terampil (atau, enggan?) merancang instrumen penilaian secara saksama. Kedua, masih banyak guru dan sekolah yang puas dengan menjadi konsumen soal, utamanya pada penilaian sumatif semacam ulangan akhir atau tengah semester.

Menilik masalah kronis di tingkat pangkal semacam itu, kiranya perlu dilakukan upaya serius untuk segera menghentikan malapraktik penilaian hasil belajar di semua kelas dan sekolah. Keterampilan merancang teknik dan instrumen penilaian mesti mendapat porsi yang memadai dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan untuk guru dan calon guru. Supervisi juga harus dapat memastikan bahwa sepanjang tahun semua individu guru dan institusi satuan pendidikan menerapkan penilaian yang bermakna dan berdampak.

Jika sudah dapat dipastikan bahwa penilaian hasil belajar peserta didik di semua satuan dan jenjang pendidikan berlangsung secara bermakna dan berdampak, UN tidak akan berlarut-larut menjadi isu kontroversial. Energi kita tidak akan terkuras hanya untuk berdebat apakah perlu ada UN atau tidak. Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah—semacam UN—bisa saja diselenggarakan tidak pada akhir program pendidikan. Tidak ada salahnya, peserta didik kelas V, VIII, dan XI menjadi sasaran penilaian berskala nasional.

Jika tujuannya untuk memetakan dan meningkatkan mutu pendidikan, penilaian oleh Pemerintah juga dapat dilakukan secara sampling dan tidak harus setiap tahun. Pendekatan yang dipakai dalam sejumlah survei internasional seperti PISA (Programme for International Student assessment), TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study), atau PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) layak untuk dapat diadopsi.

Selamat datang, the real assessments. Selamat tinggal, the exhausting debate over UN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer