Namanya saja sudah tidak begitu jelas: PRAKTIK PENGALAMAN
LAPANGAN. Kalaupun tidak membingungkan, setidaknya nama ini berkesan terlalu
umum.
Beberapa hari yang lalu sekolah kami melepas delapan orang “guru purnatugas”. Semuanya masih muda, sangat muda, bahkan. Masa tugas mereka pun baru sebentar, sekitar tiga bulan potong libur Lebaran. Ya, mereka adalah para calon guru yang baru saja usai menjalani masa PPL. Ekspresi kegembiraan sangat kentara menghiasi wajah mereka. Entah, perasaan apa yang menjadi pencetusnya: puas karena berhasil mengantongi segudang pengalaman yang cukup sebagai bekal untuk menjalani profesi masa depan, optimis akan menyandang profesi yang menjanjikan penghasilan rangkap (gaji + tunjangan profesi), atau sekadar lega karena segera bebas dari tekanan tugas-tugas perploncoan sebagai praktikan?
Sayang, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Sebelum acara
pamitan selesai, “musibah” segera menimpa mereka. Itu gara-gara kepala sekolah
kami berhalangan hadir di “upacara wisuda” mereka. Ya, siang itu beliau sakit
dan hanya bisa menghabiskan waktu dengan berbaring di dipan UKS. Bukan sakit
beliau yang menjadi musibah bagi mereka. Namun, lantaran kepala sekolah sakit
itu, sambutan diwakilkan kepada asisten yang—maaf—tidak pati waras.
Pidato sambutan asisten inilah yang kelak meruntuhkan bangunan kebahagiaan
mereka yang memang rapuh.
Pidato mbeling itu diawali dengan
mengungkap kenangan PPL yang pernah dialaminya. Maaf, tidak perlu
digunakan kata ganti beliau untuk asisten separah beliau, eh, dia.
“Dulu, ketika mewakili ketua gerombolan PPL berpamitan
begini, saya mengungkapkan keirian saya kepada teman-teman calon dokter,”
kisahnya. “Akibat malapraktik dokter, risiko terberat yang menimpa pasien hanya
mati. Dan kematian itu mengakhiri penderitaannya. Sedangkan jika guru yang
melakukan malapraktik, risikonya adalah muridnya bodoh seumur hidup. Dan
kebodohan adalah pangkal segenap penderitaan,” katanya, cumanthaka meniru
pujangga. “Lha wong calon dokter saja PPL-nya dua tahun, kok PPL
calon guru hanya enam minggu?” imbuhnya, protes.
Tidak lupa, dia juga menyisipkan kisah pembanding. “Di
sekolah sebelumnya, saya menjalani PPL dengan pola yang berbeda. Pada waktu itu
kami melaksanakan PPL dalam tiga tahap. Tahap pertama disebut PPL orientasi.
Selama satu semester kami datang ke sekolah latihan sekali dalam seminggu. Di
sana kami hanya melihat-lihat pekerjaan guru, baik pekerjaan di kelas maupun di
kantor. Kembali ke sekolah, kami jagongan dengan Ibu/Bapak Guru tentang
hal-hal yang kami lihat di sekolah latihan.”
“Tahap kedua,” lanjutnya, “Kami diberi kesempatan njajal
menjadi guru. Seminggu sekali kami datang ke sekolah latihan untuk berlatih
mengajar. Sehari kami hanya mengajar satu mata pelajaran di satu kelas. Usai
mengajar, kami masuk kantor. Ketika guru pamong jeda tidak mengajar, kami jagongan.
Kekurangan kami dalam mengajar dikupas di situ. Esoknya, hasil jagongan itu
kami jadikan topik jagongan dengan guru kami di sekolah. Tahap ini
dijuluki PPL terbimbing.”
“Baru pada tahap terakhir, kami “dipercaya” untuk mengajar full
sekitar 1 bulan,” kisahnya, makin bersemangat. “Tahap ini diberi label PPL
mandiri. Setiap hari kami praktik mengajar, bisa lebih dari satu mata
pelajaran, bisa lebih dari satu kelas. Yang tak pernah kami lewatkan, usai
mengajar kami jagongan dengan guru pamong, mengevaluasi praktik kami.
Selalu kami bercermin kepada senior, dan tampaklah wajah pengajaran kami yang
penuh bopeng, mulai dari peraga yang kurang berfungsi sampai kesalahan konsep.
Kami bangga, salut, dan sangat berhutang kepada mereka. Kesalahan-kesalahan
selama masa latihan itu adalah bekal berharga untuk menjalani profesi kelak.”
Wajah tersipu mulai tampak di wajah para purnapraktikan.
Barangkali mereka terenyak oleh penuturan asisten gemblung itu.
Barangkali juga ada perasaan tersinggung. Namun, maaf beribu maaf, jika ocehan
itu hanya membuat mereka tersinggung. Maksud hati si penutur tidak
sekadar menyinggung, melainkan menabrak!
Ya, mereka pantas tersinggung lantaran pola PPL yang mereka
alami jauh dari kebutuhan bekal minimal untuk tampil sebagai guru. Sebagian
besar waktu mereka di sekolah latihan hanya dihabiskan di ruang “kantor” guru
praktikan. Kalaupun sesekali bertandang ke ruang guru, kepala sekolah, atau
tata usaha, mereka sekadar minta tanda tangan atau stempel. Tak ada jagongan
tentang praktik mengajar yang telah mereka lakukan. Bisa jadi, budaya jagongan
sudah terlalu kuno untuk kalangan mereka. Maklum, mahasiswa zaman sekarang
lebih kenal dengan istilah diskusi, seminar, simposium, workshop, dan
sebagainya. Istilah-istilah mutakhir ini identik dengan kehadiran pakar atau
tokoh tersohor, di gedung-gedung besar, megah, dan mewah, atau bahkan convention
hall yang dijajakan di hotel-hotel berbintang.
Hubungan guru praktikan-guru pamong terasa kaku, tak lebih
cair daripada hubungan mahasiswa-dosen di kampus mereka. Sepertinya, tidak ada
kesadaran bahwa hubungan mereka tidak lebih dari junior-senior, yang mana
junior kelak menjadi pewaris takhta profesi senior. Guru pamong diperlakukan—atau,
bisa juga memperlakukan diri—sebagai juri penilai kinerja mereka. Kurang terasa
peran guru pamong sebagai coach yang bertanggung jawab menyiapkan
praktikan sebagai kader pengganti, penerus, dan penyempurna profesi yang kelak
mereka tanggalkan.
“Kepada Pak Dosen pembimbing,” lanjut asisten, “Saya titip
pesan untuk pihak pengelola PPL. Alangkah indahnya bila seusai masa PPL ini ada
forum evaluasi yang melibatkan pihak sekolah latihan. Kami menyambut baik bila
usulan ini bisa diwujudkan. Yang dapat mengamati day by day performa
adik-adik praktikan ini adalah para pengelola sekolah latihan. Temuan-temuan
kami selama menjadi ‘bapak asuh’ adik-adik mungkin bisa menjadi masukan
berharga untuk memperbaiki pola PPL yang akan datang.”
Di pengujung orasinya, si asisten berpesan, “Sebentar lagi
akan lahir kurikulum baru: kurikulum berbasis karakter. Suatu kebahagiaan bahwa
Saudara-saudara memilih guru SD sebagai calon profesi. Guru SD lebih hebat
daripada guru di jenjang lain, karena guru SD adalah guru manusia, tidak ada
guru matematika, guru IPA, dan sebagainya. Objeknya adalah siswa, anak dan
calon manusia. Maka, kepada Saudara-Saudara saya serukan, 'You are character
educators. And as character educators, we cannot teach what we know; even, we
cannot teach what we want; we can only teach what really is inside us.’”
“Luar biasa, Adik-Adik siang ini mendapatkan studium
generale yang jarang dapat diperoleh di tempat lain,” kata pemandu acara,
mengomentari ocehan asisten sinting.
Mengecewakan!
Acara perpisahan diakhiri dengan penyerahan cendera mata
untuk sekolah dan foto bersama. Bagus! Keluar dari ruang pertemuan, eh,
perpisahan, tak seorang pun pensiunan guru praktikan itu berinisiatif untuk
menengok kepala sekolah yang tergolek lemah di dipan UKS! Sungguh, luar biadab!
Tabik.
sungguh menarik..
BalasHapus