Langsung ke konten utama

Berguru kepada Guru-Guru Finlandia


“Pendidik profesional—apakah ia seorang guru yang mengajar di kelas, petugas perpustakaan, konselor, atau di bagian mana pun ia bertugas—memiliki satu tujuan yang sama: menyaksikan semua muridnya berhasil di sekolah dan dalam kehidupan kelak. Tak hanya bangga ketika muridnya berprestasi, mereka juga tak bisa tidur bila ada muridnya yang gagal. Pendidik profesional secara rutin menghampiri murid-muridnya sebelum dan seusai jam sekolah, memeriksa pekerjaan murid-muridnya untuk memperbaiki rencana pembelajaran, menjumpai keluarga muridnya pada malam hari dan akhir pekan, dan berjuang keras untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya. Kendati demikian, pengorbanan mereka jarang ‘dilirik’ oleh masyarakat yang dilayaninya.”
(American Educator, Summer 2011, pg. 34)

Secara mengejutkan, Finlandia bercokol di puncak peringkat hasil penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) pada tahun 2000. Dari 41 negara peserta, Finlandia menduduki peringkat ke-1 untuk literasi membaca, peringkat ke-5 untuk literasi matematika, dan peringkat ke-4 untuk literasi sains. Prestasi ini bukan sebuah kebetulan. Hal ini dibuktikan dengan konsistensinya dalam penilian serupa periode berikutnya. Pada 2003, Finlandia masih bertengger di peringkat ke-1 untuk literasi membaca, peringkat ke-2 (matematika), dan ke-1 (sains). Sedangkan pada 2006 peringkatnya menjadi ke-2 (membaca), ke-2 (matematika), dan ke-1 (sains).

Kinerja pendidikannya yang terus berkilau sepanjang dekade pertama abad ke-21 itu telah mengantarkan Finlandia menjadi pusat perhatian para pakar, pemerhati, peneliti, dan praktisi pendidikan dari seantero dunia. Sampai-sampai mereka menjuluki lompatan prestasi itu sebagai “mukjizat Finlandia”. Betapa tidak?! Sampai era 1960-an, Finlandia masih tertinggal jauh di belakang negara-negara tetangganya di kawasan Skandinavia (Denmark, Norwegia, Swedia). Bahkan, ia masih keteteran untuk disejajarkan dengan Peru—yang pada penilaian PISA tahun 2003 menempati urutan buncit (41).
***
Dalam sebuah wawancara, Reijo Laukkanen—pakar pendidikan dan anggota Badan Pendidikan Nasional Finlandia (di sini semacam BSNP, mungkin)—menyebut tiga unsur pertama faktor penentu keberhasilan sistem pendidikan Finlandia, yakni: guru, guru, dan guru. Memang, masih menurut Laukkanen, ada dua lagi faktor penting yang lain: standar yang tinggi dan perhatian/kepedulian kepada semua anak.
Hasil liputan Smithsonian Magazine edisi September 2011 seolah membuktikan pernyataan Laukkanen. Majalah ini mewawancarai Kari Louhivuori, guru senior yang menjadi kepala sekolah di Kirkkojarvi Comprehensive School. Louhivuori berkisah tentang pengalamannya mendidik salah seorang murid di sekolahnya.

Adalah Besart Kabashi, anak Kosovo. Akibat perang di negaranya, ia mengungsi dan bersekolah di Finlandia. Pada akhir tahun pelajaran, rapat dewan guru memutuskan bocah 13 tahun ini harus mengulang belajar di kelas 6—keputusan yang sudah kedaluwarsa dalam tradisi pendidikan di Finlandia. Keputusan tak lazim ini terpaksa diambil lantaran Besart menunjukkan hasil belajar yang jauh di bawah standar yang berlaku di Finlandia. Segala upaya maksimal yang dilakukan oleh para guru tidak ada bekasnya. Segenap unsur pendidik di sekolahnya sepakat bahwa kemalasan tidak boleh dikambinghitamkan.

“Besart menjadi murid privat saya tahun itu,” kenang Kari Louhivuori, sang kepala sekolah. Di sela-sela belajar sains, geografi, dan matematika, Besart “diparkir” di ruang kepala sekolah untuk belajar membaca. Perlahan-lahan ia mulai membaca satu demi satu, hingga akhirnya melumat berlusin-lusin buku. Menjelang akhir tahun pelajaran, ia sudah berhasil menaklukkan bahasa “negara angkatnya” yang kaya vokal itu dan menyadari bahwa ia bisa belajar.

Sekian tahun berselang, Besart—yang sudah berusia 20-an tahun—menemui Louhivuori dan berkata, “Bapak telah menyelamatkan saya.” Kala itu Besart sudah membuka usaha bengkel mobil dan jasa kebersihan sendiri. “Tak dapat disangkal,” kata Louhivuori, “Itulah yang kami lakukan setiap hari: mempersiapkan anak-anak untuk mengarungi kehidupan.”
***
Secuil kisah “penyelamatan” seorang anak pengungsi tersebut tidak hanya menggambarkan watak 30-an guru di Kirkkojarvi Comprehensive School—tempat Besart Kabashi menumpang belajar—melainkan merepresentasikan hampir semua dari 62.000-an guru di 3.500-an sekolah yang tersebar di seluruh Finlandia.

Standar Tinggi
Kalau bukan karena tuntutan untuk mencapai standar tinggi, mungkin Besart tak perlu mengulang satu tahun di kelas 6. Toh, kegagalannya waktu itu lebih disebabkan oleh kesulitannya membaca dalam bahasa Finlandia, yang notabene merupakan bahasa asing baginya. Bukankah di banyak negara—bahkan di sini sampai jenjang pendidikan tinggi sekalipun—literasi bahasa asing tidak begitu dipentingkan?

Demi menjaga standar pendidikan mereka, guru-guru di Sekolah Kirkkojarvi berani mengambil putusan “kontroversial” untuk menunda kenaikan kelas Besart. Di negara tertentu, apa susahnya mendongkrak nilai rapor Besart agar dapat naik kelas? Jelas, itu pilihan yang jauh lebih meringankan guru daripada harus memperpanjang masa penderitaan bersama Besart! Jika jalan pintas ini pilihannya, berarti standar itu dipasang sekadar sebagai takaran prestis, bukan sebagai pengawal kemajuan belajar siswa. Dan mereka tidak melirik pilihan ini.

Kita simak konsiderans yang dikemukakan para guru untuk memutuskan Besart mengulang kelas: “kemalasan tidak boleh dikambinghitamkan”. Keputusan untuk tidak menaikkan Besart ke kelas 7 sama sekali jauh dari nuansa hukuman (punishment). Bahkan, kegagalan Besart mencapai standar kecakapan tidak dialamatkan pada faktor kemalasannya dalam belajar. Kegagalan itu justru diakui secara ksatria sebagai ketidakefektifan didaktik yang diterapkan kepada Besart. Walhasil, kepala sekolah mengambil alih tanggung jawab itu. Luar biasa!

Peduli Semua Anak
Apatah arti seorang Besart Kabashi, anak pengungsi korban perang Serbia itu, bagi masa depan bangsa dan negara Finlandia? Jadi apa pun Besart dewasa kelak, itu tidak menuntut tanggung jawab politis dan yuridis negara Finlandia. Tapi, begitulah kebijakan pendidikan di sana: hak setiap anak—apa pun latar belakangnya—untuk memperoleh pendidikan bermutu begitu dihormati. Pendidikan ramah anak tampaknya benar-benar sudah mendarah daging di sana.

Ah, jangankan Besart, si anak korban konflik berdarah! Kita—yang pelaku konflik berdarah-darah—saja juga berutang budi kepada jiwa peduli kemanusiaannya Finlandia. Bukankah pakta perdamaian Tanah Rencong juga dianyam di sana?

Kualitas Guru
Jika benar (hampir) seluruh guru di Finlandia memiliki kualitas unjuk kerja unggul, sistem penilaian secanggih apa yang dipakai untuk mengandalikan mereka? Jangan kaget! “Kami tidak punya instrumen apa pun untuk menilai para guru sejak mereka masuk universitas (menjadi mahasiswa calon guru) sampai setelah mereka diterjunkan (menjadi guru) di sekolah,” kata Laukkanen. “Jadi, tak seorang pun menilai guru,” tegasnya. “We talk about the culture of trust, and we really can trust  them, because of  the  working  morale and  the working ethics of the teachers. It’s very high, and we can also trust that they are competent; they know what to do.” (Kunci sumber kepercayaan kepada guru: [1] moral dan etos kerja tinggi; [2] kompeten)

Senada dengan Laukkanen, Henna Virkkunen—Menteri Pendidikan Finlandia—menyatakan, “Masyarakat pendidikan kami dibangun atas dasar kepercayaan dan kerja sama. Maka, ketika menyelenggarakan tes atau evaluasi, kami memakainya untuk kepentingan pengembangan, bukan untuk mengawasi guru-guru. Kami percaya kepada para guru,” tegas Bu Menteri, menjawab pertanyaan wartawan Amerika pada 16 Maret 2011.

Berkait dengan peran serikat guru, Virkkunen membeberkan, “For me, as Minister of Education, our teachers’ union has been one of the main partners because we have the same goal: we all want to ensure  that the quality of education is good and we are working very much together with the union. Nearly every week we are in discussions with them. They are very powerful in Finland. Nearly all of the teachers are  members. I think we don’t have big differences in our thinking. They are very good partners for us.”

Sayang, Bu Menteri tidak menyinggung apakah petinggi serikat guru di Finlandia juga gemar membagi-bagikan kalender menjelang pergantian tahun begini—atau, setidaknya menjelang perhelatan lima tahunan—seperti yang terjadi di negara tetangganya Timor Leste sana?
***

Bagaimana Finlandia mendapatkan stok guru-guru terpercaya? Seheboh apa prosedur, proses, dan dampak sertifikasi guru—jika ada—di sana? Itu yang mengundang nafsu untuk menelusuri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

11 Prinsip Pendidikan Karakter yang Efektif (Bagian 1)

    Tulisan ini  disadur dari  11 Principles of Effective Character Education ( Character Education Partnership, 2010)       Apa pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah usaha sadar untuk mengembangkan nilai-nilai budi dan pekerti luhur pada kaum muda. Pendidikan karakter akan efektif jika melibatkan segenap pemangku kepentingan sekolah serta merasuki iklim dan kurikulum sekolah. Cakupan pendidikan karakter meliputi konsep yang luas seperti pembentukan budaya sekolah, pendidikan moral, pembentukan komunitas sekolah yang adil dan peduli, pembelajaran kepekaan sosial-emosi, pemberdayaan kaum muda, pendidikan kewarganegaraan, dan pengabdian. Semua pendekatan ini memacu perkembangan intelektual, emosi, sosial, dan etik serta menggalang komitmen membantu kaum muda untuk menjadi warga negara yang bertanggung jawab, tanggap, dan bersumbangsih. Pendidikan karakter bertujuan untuk membantu kaum muda mengembangkan nilai-nilai budi luhur manusia seperti keadilan, ketekunan, kasih say

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da