Langsung ke konten utama

Postingan

Guru Mengejar Hakim

  "Bergerak Bersama Rayakan Merdeka Belajar". Demikian tema peringatan Hari Guru Nasional tahun ini. Pokoknya, "merdeka" menjadi mantra paling sakti di kalangan pendidik dan tenaga kependidikan selama 4 tahun terakhir. Merdeka itu bebas. Bebas itu ya bebas saja. Di alam merdeka belajar ini publik sering disuguhi berita tentang berbagai manifestasi kebebasan di dunia pendidikan. Aneka perilaku ekspresi kebebasan itu sepertinya bisa dihimpun menjadi satu kata: perundungan. Ada  pendidik—dengan segala sebutan spesifiknya—merundung peserta didik—juga  dengan segala julukan spesifiknya. Ada perundungan antarpeserta didik. Ada peserta didik merundung pendidik. Ada perundungan oleh orang tua peserta didik kepada pendidik. Barangkali ada juga perundungan antarpendidik, antarorang tua peserta didik, atau antara pendidik dan pemangku kuasa bidang pendidikan.  Yang tidak boleh dilupakan, swaperundungan (self-bullying) : bunuh diri. Beberapa bulan belakangan muncul tren baru: m

Indonesia Belum Mantan

  Bu Guru Lis, Pak Guru Jack, Pak Guru Yo, dan Kang Guru Gw "Selamat pagi, Prof. Saya sedang explore di Semarang," tulis Mas Joko "Jack" Mulyono dalam pesan WhatsApp-nya ke saya. Langsung saya sambar dengan berondongan balasan, "Wow, di mana, Mas? Sampai kapan? Om Yo nanti sore tiba di Semarang juga, lho." "Bukit Aksara, Tembalang (yang dia maksud: SD Bukit Aksara, Banyumanik—sekira 2 km ke utara dari markas saya)," balas Mas Jack, "Wah, sore bisa ketemuan  di Sam Poo Kong, nih ." Cocok. Penginapan Om Yohanes "Yo" Sutrisno hanya sepelempar batu dari kelenteng yang oleh masyarakat setempat lebih lazim dijuluki (Ge)dung Batu itu. Jadi, misalkan Om Yo rewel di perjamuan, tidak sulit untuk melemparkannya pulang ke Griya Paseban, tempatnya menginap bersama rombongan. Masalahnya, waktunya bisa dikompromikan atau tidak? Mas Jack dan rombongan direncanakan tiba di Sam Poo Kong pukul 4 sore. Om Yo pukul 10.12 baru sampai di Mojokerto.

Sopir Einstein dan Dalang

  Albert Einstein, fisikawan teoretis kelahiran Jerman (14 Maret  1879—18  April 1955) Pagi itu Albert Einstein terjadwalkan memberikan kuliah di sebuah universitas. Sejak mereka cipta teori relativitas, sang jenius itu memang laris diundang ke berbagai universitas. Para profesor (yang terhormat maupun yang kehormatan), para doktor (yang asli maupun yang HC [hanya caosan] ), para master dan termagis, eh, magister, para sarjana tua dan sarjana muda, serta para mahasiswa jalur seleksi tes maupun mandiri yang menggeluti fisika kebelet  menyimak teori baru itu langsung dari inventornya. Sopir pribadinya sudah tiba di rumah Einstein. Uluk  salamnya tidak mendapat sahutan. Pintu diketuk hingga tiga kali tiga, tidak ada respons dari dalam rumah. Akhirnya sang sopir memukul keras-keras kentongan bambu petung  yang menggantung di sudut teras. Titir. Yang datang bukan majikannya, melainkan para tetangga yang kaget dan gugup mendengar alarm bahaya itu. Akhirnya,  kentongan  dilepas dari gantunga

Bisnis Kompetisi, Obral Sertifikat

  Gambar 1. Profil salah satu penyelenggara kompetisi akademik Gila sertifikat. Demam kompetisi. Itu barangkali yang menjadi pemicunya. Sertifikat menjadi tolok ukur harga diri. Sertifikat menjadi alat untuk menaikkan reputasi. Dahulu, ketika sertifikasi guru dapat ditempuh melalui jalur portofolio, banyak kaum pendidik sibuk berburu sertifikat. Salah satu yang tergolong mudah didapat adalah sertifikat kepesertaan dalam forum ilmiah: lokakarya (workshop),  pelatihan, hingga seminar. Dengan mencantumkan nama kegiatan, tempat, waktu, materi, dan narasumber, sertifikat diterima sebagai bukti sah keikutsertaan seseorang dalam sebuah kegiatan pengembangan diri. Kebutuhan akan sertifikat itu memicu berahi bisnis. Ada (jangan-jangan banyak?) organisasi profesi yang mendadak bermutasi menjadi event organiser  (EO): menggelar pelatihan di mana-mana, dari satu kota ke kota lain. Saya pernah terpancing untuk mencicipi pelatihan yang ditawarkan. Bendahara sekolah yang mendesak saya untuk ikut. Tid

Seni versus Agama

  Penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti" Pagi ini saya menyaksikan kuliah umum Orientasi Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (OPSBM) Program Pascasarjana UGM. Setelah pidato sambutan Rektor, acara diselingi penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti". Penarinya delapan mahasiswi. Semua bertudung caping. Dari delapan wanita penari itu, hanya satu yang tidak mengenakan kerudung. Satu yang berbeda itu sudah cukup untuk mengantarkan saya kepada simpulan: kerudung bukan bagian dari ketentuan busana untuk tari tersebut. Seketika ingatan saya melayang ke pengalaman belasan tahun silam. Saya menghadiri sarasehan di Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK). Unit pelaksana teknis Kemdikbud yang terletak di Gunungpati, Semarang, itu kini sudah "almarhum". Saya belum tahu, gedungnya yang cukup representatif dan relatif masih muda itu sekarang difungsikan untuk apa. Dalam sarasehan itu, tampaknya BPMPK hanya menjadi fasilitator. Penyelenggaranya Dinas K