Langsung ke konten utama

Postingan

Sersan dan Kopral Junjungan Jenderal

Mayjen Farid Makruf, Pangdam V/Brawijaya "Harus lebih banyak menampilkan babinsa. Kiprah mereka. Keteladanan mereka. Kepeloporan mereka. Juga, prestasi-prestasi mereka di tengah masyarakat desa," pesan Mayjen Farid Makruf, seperti dikutip Dahlan Iskan ( Harian Disway , 24 Juli 2023, hlm. 2). Jenderal Farid menyampaikan instruksi itu ketika dirinya belum genap satu minggu menjabat Panglima Daerah Militer (Pangdam) V/Brawijaya. Dia tidak ingin media milik Kodam hanya menampilkan foto-foto dan berita seputar kegiatan Pangdam. “Isi website Kodam Brawijaya jangan melulu wajah pangdamnya. Seminggu pertama, oke. Biar kenal dulu. Setelah itu harus lebih banyak menampilkan wajah babinsa. Atau Danramil. Dandim,” ujarnya. Perhatiannya kepada prajurit garda terdepan tidak berhenti di situ. Tepat lima bulan setelah mengemban tugas, Pangdam menandatangani nota kesepahaman (MoU) bersama pendiri Harian Disway, Dahlan Iskan, 28 April 2023. MoU tersebut mengatur penyelenggaraan Brawijaya Awar

Maaf, Terlambat

"Mohon maaf, Bapak/Ibu. Saya terlambat mengirim tulisan." Kalimat itu—atau ungkapan senada—sesekali tertulis sebagai takarir (caption) , menyertai fail yang diunggah ke grup percakapan Telegram. Failnya berisi tulisan yang sulit dikategorikan genrenya. Tulisan itu diunggah untuk diperiksakan: dicari—kadang kala dicari-cari—penyakitnya, lalu diresepkan obatnya. Grup percakapannya memang dinamai "Klinik Menulis". Klinik? Seram? Sekilas ya, begitu. Namun, sebenarnya penamaannya itu justru demi menghindar dari berbagai tuntutan. Sebelumnya pernah terpikir untuk memakai nama yang keren seperti "Kelas Menulis" atau "Akademi Menulis". Setelah dipikir-pikir, justru nama keren itu lebih menakutkan. Harus ada kurikulum yang terstruktur. Harus ada "pertemuan" terjadwal. Harus ada guru atau instruktur yang mumpuni, setidaknya tersertifikasi. Yang lebih menakutkan, (maha)siswa menulis demi tugas. Terjajah. Tidak merdeka belajar. Kelahiran klinik itu

Sayang

“Anak-anak lebih   manut   kepada gurunya. Karena orang tuanya   jarkoni, bisa ngajar ora bisa nglakoni, ” seloroh ibu seorang murid kelas 1. Sebelumnya, beliau menyatakan, “Perkembangan itu tidak hanya didapatkan anak-anak, tapi juga menular di rumah.” Ibu yang—saya tebak—seusia istri saya belasan tahun silam itu menyampaikan pidato sambutan mewakili orang tua teman-teman anaknya. Rabu (21/06/2023) pagi itu, sekolah anaknya menggelar Ekshibisi Kreativitas Siswa. Menu acaranya—seperti terpampang pada layar panggung—terdiri dari gelar karya, pentas, dan peluncuran buku. Kegiatan ini digelar untuk menandai akhir tahun ajaran. Dua hari berikutnya, anak-anak akan menerima buku laporan hasil belajar. Laporan itu sekaligus menentukan status anak-anak: naik ke kelas 2 atau mengulang belajar di kelas 1. Ruang kelas disulap menjadi panggung jadi-jadian. Meja-kursi dikeluarkan. Beberapa lembar karpet dihamparkan menutup permukaan lantai. Sehelai layar panggung terbentang di dinding sisi timur, m

Wisuda-wisudaan

an di laman-laman media online. Ujung-ujungnya, ditegaskan bahwa anak-anak yang baru lulus dari jenjang PAUD-Dasmen itu belum layak untuk diwisuda. Lebih jauh dikatakan, wisuda-wisudaan itu justru melecehkan makna wisuda beneran yang berlaku di perguruan tinggi. Kegaduhan itu terdengar oleh pemerintah. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merespons dengan menerbitkan surat edaran yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal. Surat edaran yang ditujukan kepada para kepala dinas pendidikan provinsi dan kabupaten/kota serta kepala satuan pendidikan itu berisi tiga butir imbauan. Hanya butir ke-1 yang secara eksplisit menyebut kata wisuda. Begini bunyinya: "memastikan satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar, dan satuan pendidikan jenjang pendidikan menengah di wilayah kerja Saudara tidak menjadikan kegiatan wisuda sebagai kegiatan yang bersifat wajib dan pelaksanaan kegiatan wisuda tidak boleh membebani ora

Kumakaruh

Karanggeneng, 19/06/2023 " Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya. "Nokerto," jawab saya. "Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi. " Prunan [anak adiknya]." Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi . Kak Yato utusan dari Kwarcab (Kwartir Cabang, organisasi Pramuka di tingkat kabupaten/kota) Wonogiri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sana. Sama seperti saya, beda kecamatan. Kami dipertemukan di SPG—sekolah pendidikan guru setingkat SMA, menemui ajalnya pada 1991—di ibu kota kabupaten. Setelah lulus, kami tidak pernah berkomunikasi. Apalagi berjumpa. Mulai terjalin komunikasi jarak jauh setelah musim WhatsApp. Tepatnya, setelah saya punya akun WhatsApp. Gara-gara dipaksa sejumlah orang baik untuk memegang ponsel pintar. Setiap menunaikan