Langsung ke konten utama

Postingan

Menjual Kenestapaan

Tetiba saya mendapat kenalan baru. Semalam ada pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Pukul 20.06. Dari nomor yang saya tidak kenal. Hanya sepenggal kalimat salam. Tidak saya balas. Sengaja. Saya menunggu pesan berikutnya. Sampai pagi saya sudah dan masih melupakan salam yang belum saya jawab itu. Simpulan sementara, salam salah alamat. Atau ulah iseng belaka. Atau ... salah seorang mantan lagi kumat kangennya? Saya berangkat seperti biasanya. Pukul 06.15 sidik jari saya sudah teridentifikasi oleh mesin presensi. Pukul 06.36 ada notifikasi pesan masuk. Harus segera saya buka dan balas. Istri saya mengabarkan, dia sudah sampai di tempat kerja. Usai membalas pesan istri, saya tutup lagi layar ponsel. Selang lima menit kemudian ada pesan masuk lagi. Dari nomor yang belum saya simpan dengan nama. Ini sebagian isinya. Ups, dari nomor yang semalam berkirim salam. Yayasan pengelola panti asuhan rupanya. Membuka ladang amal saleh. Tersanjung saya demi mendapat undangan untuk turut "bercoco

Telanjur Beku

Tepat sebulan yang lalu saya menerima titah: merealisasikan obsesi tuan-tuan. Sudah berbulan-bulan impian itu mengemuka ke perbincangan, formal maupun nonformal. Pemicunya, hadiah dari lembaga mitra. Dalam kunjungannya ke lembaga kami, sekitar satu tahun yang lalu, rombongan lembaga mitra dari provinsi tetangga membawa hadiah istimewa: beberapa eksemplar buku. Kemasannya luks. Sampulnya hard cover. Isinya memakai kertas HVS supertebal. Perkiraan saya, itu HVS 120 gsm. Ukuran kuarto. Full color. Keseluruhan isinya 156 halaman. Dua halaman awal dan tiga halaman akhir kosong. Ketika ganti berkunjung ke sana, empat bulan yang lalu, kami kembali diberi buku yang sama. Beberapa eksemplar lagi. Kali ini saya merasa berhak untuk ikut membacanya. Saya pinjam satu. Hingga hari ini belum saya kembalikan. Saya masih menimbang-nimbang, mana yang lebih bermanfaat: saya kembalikan (ke sekretariat lembaga kami) atau saya tahan di laci saya buku itu. Saya tuntaskan membacanya dalam sekali duduk. Mome

Pak Tom

Pak Tom menyiapkan pupuk Maksud hati hendak periksa di klinik keluarga. Pagi-pagi saya sudah berkirim pesan tertulis ke nomor WhatsApp klinik. Saya menanyakan apakah klinik buka atau libur. Hari itu, Jumat (02/06/2023) adalah hari cuti bersama. Semestinya saya periksa Kamis, sehari sebelumnya, tetapi bertepatan dengan hari libur nasional. Dapat dipastikan pelayanan klinik pun libur. Obat yang diberikan oleh klinik pada pemeriksaan pertama, Senin (29/05) sudah habis pada Rabu malam. Sementara, keluhan yang sempat mereda selama tiga hari pengobatan itu mulai kambuh lagi sejak Kamis sore. Hingga menjelang pukul sepuluh, pesan saya tidak terbalas. Mungkin juga belum dibuka. Centangnya sudah dua, tetapi belum biru. Saya tidak bisa memastikan apakah centang biru diaktifkan atau tidak. Yang jelas, hingga saya menulis kalimat ini, centang dua di jendela percakapan itu tak kunjung biru juga. Kalah cacak menang cacak saya berangkat. Bertemu dokter atau tidak, setelah dari klinik sekali

Koalisi tanpa Kompensasi

"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam. Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya? "Belum pada datang, paling," sahutnya. Mengantar istri berbelanja sayur menjadi ritual wajib setiap hari libur. Memang hanya di hari libur, istri saya sempat berbelanja sayur pagi-pagi. Di hari kerja, pukul 06.00 menjadi batas akhir istri saya berangkat. Lebih dari jam itu, dia akan panik berkendara di jalanan yang padat arus lalu lintasnya. Karena belanja untuk kebutuhan seminggu, biasanya volume belanjaannya seperti untuk persiapan jamuan kenduri. Tak pelak, saya sering ditanya orang yang melihat ketika saya menaikkan tas-tas belanja ke motor, "Kok belanjanya banyak amat, Pak?" Pagi kemarin (04/06) ketika saya dan istri t

Sudah Seperti Dukun?

Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023. Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai. "Lo, kenapa?" tanya saya, kaget. " Kejepit pintu gerbang, Pak," jawabnya cepat tapi dengan suara lemah. " Tulung, tangan saya ditambani, Pak," lanjutnya. Saya perhatikan tangannya, yang baru lepas dari jabatan saya. Lebam. Dua jari: tengah dan telunjuk. Jari tengah lebih parah. "Enggak berani, Mas. Saya enggak tahu pijat-memijat. Nanti bisa-bisa malah merusak posisi tulang atau ototnya." "Sudahlah, Pak, dibacakan doa apa saja. Saya percaya dengan njenengan ." "Waduh!" batin saya. Saya silakan ia menunggu di pos satpam. Saya seger