2 Jan 2023

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #2 (5/5)

 Kepemimpinan, Pelibatan, dan Keberlanjutan

Sebagaimana layaknya sebuah gerakan, pendidikan karakter membutuhkan kepemimpinan dengan multiperan. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan sosok panutan, maka pimpinan sekolah harus hadir sebagai kampiun karakter. Gerakan pendidikan karakter membutuhkan petarung tangguh, maka pimpinan sekolah harus tampil sebagai pendekar karakter. Gerakan pendidikan membutuhkan arsitek strategi, maka pimpinan sekolah harus berperan sebagai senapati pasukan karakter.

Sebagai gerakan pembudayaan, pendidikan karakter memerlukan keterlibatan segenap pemangku kepentingan. Rancang bangun pendidikan karakter yang mati-matian ditata oleh guru kelas akan berantakan bila tidak dibarengi pranata serupa di lapangan olahraga, perpustakaan, kantin, dan tempat-tempat lainnya di sekolah. Sebab itu, pimpinan mesti melibatkan seluruh komunitas sekolah dalam gerakan karakter.

Keterlibatan unsur-unsur komunitas sekolah akan mencapai totalitas hanya jika masing-masing merasa diberi peran sebagai subjek (diuwongake), bukan sekadar objek penyelenggaraan program. Jadi, pelibatan itu harus dimaknai sebagai distribusi peran kepemimpinan, pembagian tanggung jawab dan wewenang. Kepercayaan dan apresiasi menjadi sepasang kunci pembuka keran partisipasi proaktif mereka.

Tidak hanya GTK, murid pun perlu diberi kesempatan untuk mengambil peran kepemimpinan dalam gerakan karakter. Rotasi kepemimpinan di kalangan murid dapat dilakukan sesering mungkin. Peran kepemimpinan murid bisa dimulai dari skala kecil. Memimpin kerja kelompok dan rutinitas kelas dapat dipergilirkan kepada semua murid. Dari pengalaman mereka dalam peran kepemimpinan skala kecil itu dapat diidentifikasi kapasitas per individu. Murid yang menunjukkan kapasitas menonjol kelak diberi kesempatan untuk menjalankan peran kepemimpinan dengan skala lebih besar.

Dalam konteks gerakan pendidikan karakter, harus dihindari pemaknaan suksesi kepemimpinan sebagai kontestasi politik dan perebutan kekuasaan. Tiap-tiap individu perlu sesekali maju ing ngarsa untuk belajar memikul tanggung jawab sung tuladha, kali lain membaur ing madya untuk belajar gotong royong mangun karsa, dan kali lain lagi mundur untuk belajar legawa tut wuri seraya handayani tim agar tetap berdiri tegak dan melangkah tegap.

Pelibatan secara total itu membuat semua anggota komunitas sekolah merasa handarbeni. Kontribusi mereka terhadap gerakan karakter bukan sekadar berorientasi unjuk kepatuhan, melainkan lebih dirasakan sebagai panggung aktualisasi diri. Motivasi intrinsik ini menjadi sumbu dukungan yang loyal dan awet. Guru-guru tidak merasa sungkan untuk menawarkan ide-ide kreatif demi menyegarkan pendekatan pendidikan karakter atau saling berbagi praktik baik di kelas mereka. Dengan demikian, terbangun kolaborasi sinergis: yang kuat berdaya guna untuk memberdayakan yang lemah.

Distribusi peran kepemimpinan juga bermakna kaderisasi. Jalan menuju alih generasi pimpinan sekolah menjadi lapang dan mulus. Suksesi antargenerasi yang sevisi dan sudah biasa bersinergi itu menyumbangkan separuh jaminan keberlanjutan gerakan pendidikan karakter.

Bagi anggota komunitas, rotasi peran kepemimpinan memberikan pelajaran berharga. Pengalaman melakoni peran bervariasi itu akan meluaskan sudut pandangnya terhadap jabatan dan status seseorang dalam sebuah organisasi—formal maupun informal. Dengan persepsi bahwa peran dan kontribusi lebih bernilai daripada jabatan dan status, mereka tidak silau ketika melihat ke atas dan tidak rabun ketika memandang ke bawah. Jabatan apa pun yang dipangku orang lain dipandang dengan kacamata kewajaran dan status apa pun yang disandangnya sendiri diterima dengan lapang dada.

Iklim kepemimpinan yang kondusif menjadi modal penting untuk mempererat keterlibatan proaktif dan menggalang dukungan autentik. Iklim kepemimpinan juga berdampak terhadap keberlanjutan ikhtiar pembudayaan karakter di sekolah. Last but nor least, iklim kepemimpinan yang dibangun di atas fondasi kepercayaan dan dinaungi atap apresiasi adalah pilar pendidikan karakter itu sendiri.

Asesmen Berkala dan Perbaikan Kontinu

Sebaik apa pun desainnya, tidak pernah ada program yang bebas dari ancaman cacat dan usang. Demikian pula yang berlaku bagi program pendidikan karakter di sekolah. Ia memerlukan penyesuaian dan pembaharuan sepanjang masa. Sekali dianggap sempurna dan disakralkan, program pendidikan karakter akan kehilangan kompatibilitasnya terhadap dinamika ruang dan waktu.

Nilai-nilai kesalehan berlaku universal (melintasi sekat-sekat ruang) dan abadi (melintasi batas-batas zaman). Namun, pendekatan yang dipakai dalam penanaman dan penumbuhan nilai-nilai tersebut memerlukan adaptasi dan modifikasi dari waktu ke waktu dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Dulu kala, untuk menjaga kelestarian sumber air, orang tua cukup mengatakan kepada anak-anaknya bahwa di pohon besar di dekat mata air di kampung mereka ada penunggunya. Lalu diutuslah seorang juru kunci untuk menaruh benda-benda “sesaji” di bawah pohon tersebut pada momen-momen tertentu. Jadilah anak-anak takut mengganggu “si penunggu” pohon. Alhasil, pohon “keramat” itu selamat dari perusakan dan desa mereka terhindar dari bencana kekeringan.

Anak-anak generasi milenial dan berikutnya, mana bisa percaya kepada mitos takhayul seabsurd itu? Mereka menuntut penjelasan logis: mengapa pohon-pohon di sekitar mata air itu harus dilestarikan. Mereka perlu dibimbing untuk menalar: apa hubungan antara keberadaan pepohonan dan masa depan kehidupan masyarakat, apa akibat yang akan diderita anak cucu mereka kelak jika pepohonan musnah dari desa mereka, apa yang harus mereka lakukan terhadap pohon-pohon itu untuk menyelamatkan masa depan mereka.

Asesmen berkala menjadi keniscayaan demi keberlanjutan ikhtiar pendidikan karakter. Data diperlukan untuk mengukur keberhasilan program, efektivitas pendekatan, dan kompatibilitas teknik. Beragam instrumen pengumpulan data memiliki peran penting: catatan anekdot hasil pengamatan guru, survei pengalaman murid, survei kepuasan orang tua murid, dan—kalau perlu—survei pandangan masyarakat sekitar.

Data yang terkumpul menjadi pijakan untuk mengambil langkah-langkah perbaikan. Kegagalan dan keberhasilan dipetakan. Ada peluang, pembudayaan nilai tertentu gagal di salah satu kelas tetapi sukses di kelas yang lain. Boleh jadi, pembangunan karakter tertentu gagal di tangan salah seorang guru tetapi gemilang di tangan guru yang lain. Ada kemungkinan, implementasi sebuah pendekatan berantakan di seluruh sekolah. Bisa jadi, penerapan teknik tertentu berjalan mulus di semua kelas.

Kegagalan dan keberhasilan sama-sama layak untuk dipetik sebagai pelajaran. Keberhasilan yang dicapai oleh sebuah kelas atau seorang guru diakui sebagai praktik baik dan ditularkan ke kelas atau guru lain. Kegagalan yang merata di seantero sekolah diakui sebagai area kritis dan membutuhkan curah gagasan dari segenap pemangku kepentingan.

Dalam evaluasi keberhasilan dan kegagalan, iklim kepemimpinan kembali memegang peran kunci. Keberhasilan di salah satu kelas—yang tidak terjadi di kelas lain—bisa jadi merupakan buah dari keberanian “berijtihad”, mencoba pendekatan atau teknik yang berbeda dari desain sekolah. Keberanian berbeda semacam itu tumbuh hanya dalam iklim kepemimpinan yang demokratis. Pengakuan atas keberhasilan ijtihad nyeleneh semacam itu akan menyulut keberanian teman-teman sejawat untuk mengambil inisiatif. Sewaktu-waktu mendeteksi gejala kegagalan metode yang diresepkan sekolah, mereka berani banting setir.

Curah gagasan dalam rangka revisi program juga akan subur dengan ide-ide segar dan kreatif hanya dalam iklim kepemimpinan yang akomodatif. Fondasi kepemimpinan yang demokratis dan akomodatif adalah kultur egaliter dalam organisasi. Egalitarianisme itu akan menjelma menjadi pola kepemimpinan kolektif-kolegial. (TAMAT)

Menuju Sekolah Karakter: Implementasi #1 (4/5)

 Mimpi Bersama, Kontribusi Semua

Segenap pemangku kepentingan sekolah diajak merajut mimpi yang sama: sekolahku surgaku. Masing-masing diberi kesempatan untuk mengidentifikasi karakter yang selayaknya dimiliki oleh setiap penghuni sekolah yang diimpikan sebagai replika surga. Lalu semua diberdayakan dan didayagunakan untuk membangun replika surga itu.

Kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, murid, orang tua murid, dan pengurus yayasan (untuk sekolah swasta) membuat daftar atribut surga yang mereka dambakan. Boleh jadi, daftar tersebut akan sarat dengan atribut ideal seperti bersih, sehat, rapi, indah, aman, tertib, lancar, asri, segar, dan mantra-mantra magis sejenis yang pernah populer dalam perlombaan memperebutkan anugerah Adipura.

Tiap-tiap fitur surga menuntut kontribusi amal saleh dari para penghuninya. Sekolah bersih akan terwujud hanya jika seluruh warganya cinta kebersihan. Sekolah aman akan tercipta hanya jika setiap penghuninya berperan aktif menjaga keamanan. Sekolah damai akan tercapai hanya jika segenap anggota komunitasnya gemar menebar kasih sayang.

Nilai-nilai kesalehan pembentuk fitur surgawi itu didefinisikan dalam perilaku aktual. Setiap nilai luhur didefinisikan dalam perilaku-perilaku spesifik sebagai respons atas berbagai situasi yang berbeda-beda. Definisi spesifik disusun mulai dari yang sederhana hingga yang kompleks sesuai dengan tingkat usia, perkembangan jasmani dan rohani, serta pengalaman murid. Pengenalan definisi karakter tidak perlu nggege mangsa, tetapi juga tidak boleh kasep.

Holistik-Integratif

Karakter—dalam pengertian positif (mulia)—terbentuk sebagai hasil internalisasi nilai-nilai kesalehan yang mendarah daging hingga menjadi jati diri seseorang. Proses internalisasi nilai melibatkan tiga ranah: pemahaman, penghayatan, dan pengamalan. Pemerolehan ketiganya berlangsung secara holistik-integratif, tidak mengharuskan sekuens secara baku dan kaku. Walau demikian, modus pemerolehan salah satu ranah berdampak terhadap kualitas ranah yang lain.

Pemahaman suatu nilai akan melahirkan penghayatan dan pengamalan yang berkualitas jika diperoleh melalui penalaran, berpikir kritis. Penalaran kritis itu mesti mengantarkan seseorang menerima kebenaran suatu nilai secara bulat dan tulus atas dasar kesadaran nilai. Kebenaran yang diterima sebagai hasil penalaran akan mengakar kokoh, berbeda dari hasil indoktrinasi dogmatis yang cenderung rapuh.

Penghayatan nilai akan mentransformasikan pemahaman menjadi keyakinan dan memantik hasrat untuk mengamalkannya secara konsisten jika dipandu oleh keselarasan antara pemahaman (kebenaran logis) dan pengalaman (kebenaran empiris). Sebaliknya, penghayatan nilai akan memorak-porandakan pemahaman dan melumpuhkan niat untuk mengamalkan jika dikecoh oleh bias kebenaran—antara kebenaran logis dan kebenaran empiris tidak sejajar.

Pengamalan nilai akan makin mengokohkan keyakinan dan mempertajam kepekaan penghayatannya jika dilandasi motivasi intrinsik atas dasar cinta kebenaran dan kebajikan. Pengamalan autentik atas nilai-nilai kesalehan hanya bisa dilahirkan dari motivasi intrinsik: semata-mata ingin menjadi pribadi saleh. Pengamalan nilai mengeruhkan pemahaman dan membimbangkan penghayatan selama masih berorientasi pada motivasi eksternal, yakni kepatuhan demi menghindari hukuman dan mengejar penghargaan.

Karakter juga mesti berkembang secara holistik-integratif dalam segala dimensi. Sementara pakar pendidikan karakter mengelompokkan nilai-nilai kebajikan ke dalam empat dimensi kesalehan: intelektual, moral, kewarganegaraan, dan kinerja.

Kesalehan intelektual berkenaan dengan kearifan dalam mencari pengetahuan, kebenaran, dan pemahaman. Sekadar menyebut beberapa contoh, kesalehan intelektual tercermin pada karakter otonom, berpikir kritis, melit, bernalar logis, menilai secara jeli dan adil, reflektif, dan cerdik (banyak akal).

Kesalehan moral memandu jiwa untuk setia pada keluhuran budi ketika berhadapan dengan situasi yang menuntut respons etis. Kesalehan moral tercermin—antara lain—pada karakter jujur, berintegritas, welas asih, berani, adil, rendah hati, bersyukur, dan hormat.

Kesalehan kewarganegaraan memandu peran sebagai warga negara (dan warga dunia) yang bertanggung jawab dalam merawat harmoni dengan pranata sosial yang berlaku dalam konteks pergaulannya. Karakter penjelmaan kesalehan kewarganegaraan tercermin pada sikap beradab, rela berkorban, berjiwa pengabdian, kesadaran hidup berbangsa, bernegara, bermasyarakat, dan bertetangga.

Kesalehan kinerja merupakan nilai-nilai instrumental yang dengannya seseorang dapat mengejawantahkan tiga dimensi kesalehan yang disebut terdahulu: intelektual, moral, dan kewarganegaraan. Kesalehan kinerja mewujud—di antaranya—dalam kepercayaan diri, motivasi, ketekunan, keuletan, kepemimpinan, kerja sama, dan pendirian yang kuat.

Seseorang dikatakan berkarakter bila mampu memadukan nilai-nilai kesalehan pada semua dimensi dalam merespons suatu situasi tertentu. Ketekunan dan keuletannya dalam meluaskan pengembaraan intelektual, misalnya, seorang yang berkarakter tidak akan menanggalkan kesalehan moral atau mengabaikan kesalehan kewarganegaraan. Pun kekuatan motivasinya untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tidak akan melunturkan kesalehan intelektual atau mengorbankan kesalehan moral.

Komprehensif

Dalam rangka membangun karakter murid secara holistik-integratif, pendidikan karakter mesti diimplementasikan secara komprehensif pada seluruh aspek kehidupan sekolah. Seluruh aktivitas sekolah adalah wahana pembangunan karakter. Setiap jengkal tanah dan sudut ruang sekolah adalah lahan pesemaian karakter. Seluruh staf sekolah adalah model (teladan) karakter bagi murid. Setiap murid adalah cermin pemeriksa kepantasan karakter murid yang lain.

Pimpinan sekolah, guru, dan tenaga kependidikan (GTK) memandang setiap aktivitas sekolah dan perilaku murid dengan kacamata karakter. Proses pemerolehan kompetensi dan unjuk prestasi murid—akademik maupun nonakademik—tidak pernah lepas dari kawalan karakter. Interaksi antara GTK dan murid, sesama GTK, dan sesama murid senantiasa berbingkai pembangunan karakter.

Sekolah didesain sebagai ekosistem bagi penumbuhan dan pertumbuhan karakter murid. Seluruh kegiatan terprogram direkayasa sebagai iklim yang kondusif untuk menyuburkan karakter murid. Semua rutinitas kelas dirumuskan prosedurnya untuk membiasakan karakter murid. Setiap aktivitas insidental merepresentasikan budaya (karakter) sekolah.

Makin intens terpapar praktik—melalui pemodelan dan pembiasaan—suatu karakter, murid menjadi makin mudah tertular karakter tersebut. Dalam hal ini, konsistensi GTK memegang peranan kunci. Yang tidak kalah penting adalah penciptaan komunitas peduli: saling asah, asih, dan asuh antarwarga sekolah. Inilah modus pemerolehan karakter melalui penularan.

Makin tandas dalam menalar kebenaran suatu nilai, murid akan makin meyakini urgensi nilai tersebut bagi kehidupannya kini dan kelak. Kreativitas guru dalam menggiring penalaran murid menjadi faktor penting. Untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sikap acuh (attentive), misalnya, guru dapat merancang sandiwara seperti berikut.

Dua orang murid—sebut saja X dan Y—diminta keluar kelas. Murid-murid lain, yang tinggal di dalam kelas, diskenario untuk merespons kedua temannya secara berbeda. Ketika X kembali masuk dan mengajak bercakap, mereka tidak acuh, melanjutkan obrolan dengan teman sebangkunya. Sementara, kepada Y—yang masuk kembali ke kelas belakangan—mereka menyambutnya dengan antusias. Kemudian X dan Y masing-masing ditanya, bagaimana perasaannya demi mendapati respons teman-temannya terhadap ajakannya untuk berbincang.

Pengalaman yang diperoleh X dari peran dadakannya dalam sandiwara diam-diam tadi menjadi bahan refleksi bagi seluruh murid. Pengalaman pahit yang menimpa X itu menumbuhkan empati. Kelak empati berkembang menjadi tenggang rasa, pangkal tolak perlakuan kepada orang lain. (Yang sempat mengalami masa kejayaan P4 pasti masih hafal, tenggang rasa—bersama pengendalian diri—dinobatkan sebagai pangkal tolak pengamalan Pancasila.)

Penalaran yang melibatkan emosi akan melekat dalam memori jangka panjang. Drama tersebut mengantarkan murid-murid ke pemahaman tentang apa (acuh atau attentive sebagai definisi nilai hormat dalam perilaku nyata), bagaimana (mengejawantahkan perilaku acuh kepada mitra komunikasi), dan mengapa (perilaku acuh dibutuhkan dalam pergaulan sehari-hari). Ini sekadar contoh modus pemerolehan karakter melalui pengajaran.

(Catatan: Sandiwara semacam itu tidak mustahil membuat X betul-betul terluka oleh perlakuan teman-temannya. Jika itu terjadi, menjadi tugas guru untuk membantu X menetralisasi emosinya dan merestorasi relasi dengan teman-temannya.)

Panggung aksi moral dibutuhkan untuk mengasah kepekaan murid-murid dalam memenuhi panggilan karakter. Aneka kegiatan sosial-budaya di luar konteks kelas menjadi ajang yang cukup efektif untuk mengasah kepekaan moral. Perlombaan berbagai cabang olahraga, pertunjukan seni, perkemahan dan jambore, bakti sosial dan pengabdian masyarakat sering memunculkan situasi baru dan tidak terstruktur.

Kehadiran situasi tak terduga itulah yang akan menguji daya spontanitas murid-murid dalam merespons panggilan moral. Perhelatan sepak bola, terutama yang berskala internasional, pun sering melahirkan bintang aksi moral. Liputan  seluk-beluk bintang nonteknis bahkan tidak jarang menjadi trending topic, melampaui rating berita mengenai pertandingan sepak bolanya sendiri.

Makin sering terlibat dalam kegiatan di luar konteks kelas yang menantang aksi moral secara spontan, makin terasah pula kepekaan murid-murid dalam merespons panggilan karakter pada situasi baru dan tak terduga. Demikianlah modus pemerolehan karakter melalui pendadaran.

“Virus” karakter ditularkan melalui pemodelan dan pembiasaan secara konsisten. Kesadaran karakter diajarkan melalui penalaran kritis dan penghayatan emosi (empati aditif). Kepekaan karakter ditatar (arkais: dibidik) dan didadar (Jawa: diuji; dipanen) di kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang dapat memancing aksi moral spontan dalam merespons situasi baru dan tak terduga. 

Menuju Sekolah Karakter: Modus Pendidikan Karakter (3/5)

Penularan

Sebut saja namanya Tom. Ia dilahirkan, dibesarkan, dan hingga dewasa tinggal di salah satu negara Eropa. Bisnis butiknya berkembang pesat ketika usianya masih 20-an. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi, pemasarannya menjangkau hampir seluruh benua Eropa.

Terilhami oleh pameran batik di sebuah kota mode terbesar di Eropa, Tom berminat untuk melengkapi koleksi butiknya dengan busana batik. Pada suatu musim panas, ia memutuskan untuk berlibur ke salah satu pusat kerajinan batik tulis: Yogyakarta. Di Kota Gudeg ia mengunjungi sejumlah rumah produksi batik.

Di salah satu sanggar batik, Tom bertemu dengan Tin, salah seorang pembatik. Perempuan muda itu tampak menonjol dibandingkan dengan teman-teman seprofesinya. Remaja sederhana yang sekilas tampak lugu itu fasih berbahasa Inggris. Tom merasa menemukan calon mitra bisnis baru.

Kecakapan komunikasi—bahasa dan etika—Tin menumbuhkan harapan lebih. Tidak sekadar menjadikannya mitra bisnis, Tom bahkan ingin mempersunting Tin. Kebetulan, keduanya sama-sama lajang dan belum punya calon pasangan.

Singkat cerita, di sela-sela perburuan batik dalam liburan musim panasnya, Tom menikahi Tin. Akad nikah berlangsung sederhana—tanpa pesta—di kampung halaman Tin, pelosok selatan Wonogiri. Selain keluarga Tin, hanya kerabat dan tetangga dekat yang hadir menyaksikan momen sakral dan istimewa itu.

Upacara ijab kabul dilangsungkan secara lesehan. Kedua mempelai, wali, kedua saksi, dan penghulu duduk melingkari meja bundar di atas tikar mendong. Tom tampak tidak nyaman dengan posisi duduknya. Sebentar-sebentar ia mengubah posisi: bersila meniru calon ayah mertuanya dan tetamu laki-laki, bertimpuh meniru calon istri dan ibu mertuanya serta para tamu perempuan, dan kadang jegang.

Setelah akad nikah usai dan penghulu berpamitan, meja bundar disingkirkan. Acara dilanjutkan dengan kenduri. Sebuah tampah besar berisi tumpeng lengkap dengan ingkung ayam, gudangan, dan beberapa telur rebus dibelah dua disajikan di tengah-tengah kalangan. Piring-piring berisi nasi dan lauk-pauk—bertudung daun pisang berbentuk kerucut tumpul—dihidangkan di depan hadirin.

Pak Modin mulai memimpin doa. Semua yang hadir mengangkat kedua tangan dan mengaminkan setiap penggal doa yang dilafazkan Pak Modin. Setelah sempat celingukan, Tom akhirnya ikut mengangkat tangannya. “Amin”-nya sering tertinggal, menunggu “kor” dimulai. Posisi duduknya masih belum stabil: bersila, bertimpuh, jegang.

Tiba saatnya makan bersama. Tom tidak segera mengambil piring di depannya. Pandangannya berkeliling menyapu seantero kalangan. Ia perhatikan secara saksama bagaimana orang-orang menikmati hidangan selamatan pernikahannya.

Setelah dijawil Tin—yang belum genap satu jam resmi menjadi istrinya—Tom mulai beraksi. Tudung daun pisang diambil lalu ditaruh di sebelah piring. Piring dipegang dan diangkat dengan tangan kanan. Tangan kirinya memegang sendok. Sebelum makanan di sendok Tom dimasukkan ke mulutnya, Tin bersicepat menahannya. Tom kembali memperhatikan orang-orang. Lalu, dengan canggung ia tukar tugas kedua tangannya. Tangan kiri menyangga piring, tangan kanan memegang sendok.

Tom memperoleh pendidikan karakter melalui penularan.

Pengajaran

Setelah semua tamu undangan pulang, Tom dan Tin masuk ke kamar. Tidak seperti lazimnya pengantin baru, Tom dan Tin mengisi hari perdananya dengan “les privat”. Tom menjadi muridnya, Tin gurunya. “Mata pelajarannya” adab kenduri ala desa pelosok selatan Wonogiri.

Tom mengejar penjelasan seputar pengalaman yang diperoleh dalam satu jam pertamanya bersama keluarga Tin dan warga desa setempat. Satu per satu ditanyakan. Sebagaimana kebanyakan orang Eropa, Tom cukup kritis. Jawaban Tin sering tidak mampu memuaskan kemelitan suaminya. Maklum, Tin sudah tergolong generasi tanggung—tidak tahu banyak tentang falsafah etika Jawa.

Untuk menuntaskan “pelajarannya”, Tin mengajak suaminya kembali ke ruang tengah—ruang utama, paling besar di antara semua ruang yang ada di rumah, berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Pertanyaan-pertanyaan kritis Tom dirujuk kepada ayah dan ibu mertuanya. Tin cukup menjadi penerjemah. Suaminya bertanya dalam bahasa Inggris, Tin menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa krama desa. Ayah dan ibunya menjawab dalam bahasa Jawa ngoko, Tin menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.

Tom menjadi paham. Menengadahkan kedua tangan menandakan keseriusan, ketulusan, dan keyakinan dalam berdoa. “Amin” berarti permohonan agar Tuhan mengabulkan permintaan sebagaimana termaktub dalam kalimat doa yang dilafazkan. Laki-laki bersila dan perempuan bertimpuh ketika duduk lesehan mencerminkan sikap hormat: menghormati orang lain dan menjaga kehormatan diri sendiri.

Makan dan minum dengan tangan kanan mengejawantahkan disiplin dalam pembagian tugas. Dalam pandangan Jawa, kanan identik dengan baik, mulia, suci; kiri identik dengan buruk, hina, kotor. Tangan kanan menjalankan tugas-tugas yang baik, mulia, atau suci. Tangan kiri menangani tugas-tugas yang buruk, hina, atau kotor.

Kemuliaan makanan akan tercemar bila disentuh dan diantarkan ke mulut dengan tangan kiri, yang sering bertugas membersihkan organ tubuh yang kotor. Ketika makan, tangan kiri menyangga piring agar tidak turut campur dalam mengambil makanan.

Tin menambahkan penjelasan: “Makanan itu sesuatu yang mulia, berharga bagi kesehatan tubuh kita. Maka, makan itu the right of our right hands. Ketika makan, our left hands must be left.” Tom manggut-manggut. Tin cerdas memanipulasi kata-kata right dan left untuk memudahkan pemahaman suaminya. Dengan passwords “right-left”, konsep etika makan dan minum dengan tangan kanan langsung menancap di otak Tom.

Ini betul-betul pelajaran baru bagi Tom. Sebagai orang asli Eropa, ia selama ini menggebyah-uyah tugas tangan kanan dan kiri. Ketika makan, biasanya tangan kanannya memegang pisau untuk mengiris daging, roti, atau buah. Tangan kirinya memegang garpu untuk mengambil irisan makanan itu dan memasukkannya ke mulut.

Tom memperoleh pendidikan karakter melalui pengajaran.

Pendadaran

Sorenya—masih pada hari yang sama—Tom makan bersama keluarga barunya. Tin dan adik-adiknya menata nasi, sayur, lauk, piring, dan sendok di meja besar di yang terletak ruang dapur. Di salah satu sisinya terdapat dua kursi. Tin bermaksud menyilakan suaminya makan sambil duduk di kursi. Piringnya ditaruh di meja agar Tom tidak perlu menyangga dengan tangannya. Bahkan, Tin juga menyiapkan dua pasang sendok dan garpu, yang ditata di atas dua piring.

Tin ingin ayahnya menemani Tom makan di meja. Sementara, Tin, adik-adiknya, dan ibunya akan makan setelah Tom dan ayah mertuanya selesai makan. Setelah semuanya siap di meja, Tin memanggil suaminya untuk makan. Dia juga ngaturi ayahnya untuk menemani Tom makan di meja.

Rupanya Tom tidak tahu maksud istrinya. Sesampainya di “meja makan”, ia bengong. “Kenapa hanya ada dua kursi?” batinnya, “Apakah kursi-kursi ini untuk panjatan naik ke meja lalu makannya duduk di atas meja?” Setelah disilakan duduk di kursi, barulah Tom paham bahwa hanya ia dan ayah mertuanya yang disuruh makan bersama di situ. Yang lain menyusul belakangan.

Tom protes. Ia menolak diistimewakan. Ia sudah mahir makan di meja. Ia ingin berlatih membiasakan kecakapan barunya: makan sambil duduk lesehan. Istri, ayah dan ibu mertua, serta adik-adiknya mendukung niat baik Tom. Mereka beramai-ramai memboyong semua yang sudah tertata di meja ke tikar yang sudah digelar di lantai ruang tengah.

Dengan susah payah Tom berhasil mempraktikkan pelajaran “les privat”-nya. Passwords “right-left” benar-benar sudah terpatri. Tangan kiri memegang piring, tangan kanan mengambil nasi, sayur, lauk dan menuangkannya ke piring. Tangan kiri menyangga piring yang sudah terisi makanan, tangan kanan memegang sendok. Lulus.

Masih ada satu pelajaran yang Tom belum lulus: duduk bersila. Ia sudah bisa, tetapi belum betah bersila lama. Sesekali ia mengangkat lututnya. Tin sempat berinisiatif mengambilkan dingklik untuk suaminya. Tom menolak. “It’s impolite, you said,” katanya. Istrinya mengacungkan jempol kedua tangannya.

Dua hari berikutnya, ayah Tin berpamitan untuk menghadiri selamatan puput puser di rumah tetangga. Tin menjelaskan kepada Tom: ayahnya akan ke mana, apa keperluannya. Tom bertanya, “May I come with dad?” Istrinya mengangguk, lalu memohon ayahnya untuk menunggu.

Tom hendak langsung berangkat dengan bercelana pendek. Tin menahannya, lalu bergegas mengambilkan celana panjang. Dia khawatir, suaminya akan kedodoran kalau memakai sarung seperti ayahnya.

Meski tidak berkomunikasi dengan kata-kata, Tom menikmati keramahtamahan para tetangga barunya. Tidak hanya melatih ketahanan kakinya duduk bersila, ia juga belajar bagaimana bahasa tubuh orang Jawa tradisional ketika bertamu dan menyambut tamu, menyilakan makan dan menerima atau menolak tawaran, berpamitan dan nguntapake tamu yang hendak pulang.

Tom makin ketagihan ikut ayah mertuanya ke berbagai hajatan tetangga. Bahkan, Tom mulai berani berangkat sendiri ke hajatan tetangga ketika ayah mertuanya berhalangan hadir. Ia tidak sungkan minta koreksi mertuanya kalau-kalau ada tindak tanduknya di persamuhan yang menyalahi unggah-ungguh Jawa. Ia juga rajin menanyakan hal-hal baru yang dialaminya dalam pergaulan bersama keluarga dan masyarakat setempat.

Tom memperoleh pendidikan karakter melalui pendadaran. Hasil belajarnya melalui proses penularan dan pengajaran diuji-praktikkan di lapangan riil.

***

 

Begitulah, pendidikan karakter berlangsung melalui tiga modus: penularan, pengajaran, dan pendadaran (3 “-aran”). Ini terjemahan bebas dari kredo “Character is caught, taught, and sought.”

Tak usah ditanyakan: kapan Tin diajak terbang untuk dikenalkan kepada kedua mertuanya dan berbulan madu di kampung halaman Tom.

Menuju Sekolah Karakter: Definisi Karakter (2/5)

Thomas Lickona, psikolog dan begawan pendidikan karakter dari SUNY Cortland, mendefinisikan karakter sebagai “… you do the right thing even when no one seeing.” Kita melakukan kebenaran meskipun tidak seorang pun melihat.

Jauh sebelumnya, Rasulullah Muhammad ﷺ—ketika ditanya oleh Malaikat Jibril `alaihi as-salām: “Apakah ihsan?”—menjawab, “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak mampu melihatnya, sungguh Allah pasti melihatmu.” (H.R. Bukhari: 48)

Dua definisi yang berbeda secara harfiah, tetapi senada secara maknawi. Perilaku baik baru bisa disebut sebagai karakter jika telah menjadi perilaku konstan. Terhadap stimulus yang sama—apa pun situasinya—responsnya konsisten. Orang yang berkarakter jujur, misalnya, tidak akan pernah mengambil atau menerima pemberian apa pun yang bukan haknya.

Selain konsistensi, pengejawantahan karakter juga ditandai dengan spontanitas. Respons seketika, seperti refleks, itulah cerminan karakter. Seseorang yang berkarakter peduli dan welas asih tidak perlu berpikir lama untuk menolong anak ayam yang tercebur ke dalam got. Ia tidak berpikir apakah ada orang lain yang melihat tindakannya. Ia tidak berpikir apakah perbuatannya terekam CCTV. Ia tidak berpikir untuk mengambil ponsel pintar demi mengabadikan dan memviralkan aksinya.

Karakter menjelma aksi nyata secara konstan—konsisten dan spontan. Konsistensi dan spontanitas itu pola yang terbentuk melalui proses panjang pencelupan. Nilai-nilai luhur sudah mengakar di hati dan pikirannya, mendarah daging dalam pola sikap dan perilakunya.

Karakter vs. Reputasi

“Character is like a tree and reputation is like its shadow. The shadow is what we think of it; the tree is the real thing,” petuah Abraham Lincoln, presiden ke-16 Amerika Serikat (1861—1865). Karakter itu ibarat pohon, reputasi ibarat bayangannya. Bayangan itu sangkaan kita, sedangkan pohon adalah benda sejatinya.

“Character is what you are, reputation is what others think you to be,” kata Rev Sam Davis, pensiunan pastor Kristen Ortodoks di Amerika. Karakter adalah apa sejatinya kita, sedangkan reputasi adalah seperti apa kita dalam sangkaan orang lain.

Belakangan kita makin sering terkena prank sejumlah figur publik. Betapa banyak politisi yang terpilih duduk di kursi bergengsi—eksekutif maupun legislatif—tiba-tiba muncul dengan rompi oranye berlabel “tahanan KPK”. Tak berbilang sudah aparat penegak hukum—bahkan sampai petinggi puncak: Ketua MK—terjerat kasus rasuah. Belum lenyap dari pemberitaan, kehebohan oleh dua jenderal: yang satu dalam kasus pembunuhan sadis, satunya lagi kasus peredaran narkoba.

Seseorang berhasil meraih kedudukan tinggi pasti telah melalui penilaian oleh pihak lain. Seorang politisi mendapat kepercayaan untuk mewakili rakyat di kursi legislatif atau memimpin pemerintahan karena rakyat pemilihnya menilainya sebagai orang baik. Seseorang terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi pasti sudah melalui seleksi untuk meyakinkan bahwa ia—selain mumpuni di bidang hukum—berintegritas tinggi. Seorang polisi berhasil meniti karier hingga menjadi perwira tinggi pasti melalui penilaian berjenjang, yang menyimpulkan ia polisi berprestasi dan terpuji.

Jika akhirnya orang-orang tersebut “tersandung” masalah hukum, berarti yang sebelumnya mereka tampilkan di muka publik hanyalah reputasi. Para pendukung, pemilih, penyeleksi, pengangkat mereka hanya melihat “bayangan pohon yang jatuh di tanah”—meminjam perumpamaan Lincoln. Bayangan pohon memang tampak hitam mulus. Tidak terlihat kulitnya yang mengelupas, rantingnya yang patah, daunnya yang robek, sarang dan tahi burung yang menempel di dahan.

Seseorang yang hanya mengejar reputasi pada umumnya memang berhasil mengecoh penglihatan orang lain. Namun, mustahil seseorang bisa mengelabuhi kesadarannya sendiri. Serapi apa pun dalam menjaga perilakunya di mata orang lain, seseorang pasti menyadari motif yang tebersit di hati dan pikirannya.

Dalam bahasa awam, pengawas paling jeli dan jujur atas perilaku seseorang adalah nuraninya sendiri. Dalam bahasa agama—setidaknya Islam, yang saya sedikit tahu; saya menduga, agama-agama apa pun juga demikian—ada Tuhan, Yang Maha Awas, selain nurani.

Pendidikan karakter punya orientasi jelas: membentuk karakter, bukan sekadar membangun reputasi.

Menuju Sekolah Karakter: Mengapa Karakter? (1/5)

Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat (1901—1909) menyampaikan, “A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.” Maka, lebih lanjut ia mengingatkan, “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.”

Seseorang yang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, mungkin akan mengutil suatu barang dari sebuah gerbong kereta; tetapi ketika sudah menggenggam ijazah perguruan tinggi, ia bisa merampok semua harta di seluruh rangkaian kereta. Mendidik otak seseorang tanpa mendidik moralnya, ibarat menyemai benih ancaman bagi masyarakat.

Dokter Ismed, psikiater dari Kota Semarang, dalam gelar wicara di sebuah sekolah memberikan ilustrasi apik. “Seorang pemulung yang berbakat mencuri, paling-paling hanya menggasak panci atau ember yang tergeletak di teras rumah yang tampak sepi. Sementara, pejabat yang bermental bejat, tega menggarong triliunan dana sosial jatah rakyat miskin yang menjadi tanggung jawab jabatannya.”

Bukan Menu Baru

Character education is not something new added to the plate; it is the plate itself. Pendidikan karakter bukan menu baru yang ditambahkan ke piring, melainkan piringnya itu sendiri. Kredo ini sangat populer di kalangan penggerak pendidikan karakter di sekolah.

Sejak awal kemunculannya, sekolah sejatinya hadir sebagai ajang untuk menempa karakter anak-anak muda. Aneka disiplin ilmu pengetahuan, berbagai cabang seni, olahraga, dan keterampilan dihidangkan sekadar sebagai alat bantu untuk menumbuhkan dan menyuburkan karakter siswa.

Dalam jamuan makan di sebuah pesta, tidak semua tamu bisa dipaksa untuk melahap seluruh makanan yang terhidang. Masing-masing hanya menyantap makanan yang sesuai dengan selera dan tidak mengganggu sistem pencernaan dan metabolismenya. Mengambil makanannya boleh suka-suka, asal bermanfaat bagi kesehatan dan kebugarannya.

Demikian pula sekolah, mustahil semua siswa mahir dalam seluruh mata pelajaran. Kegagalan siswa pada sebagian atau seluruh mata pelajaran sekolah hanya akan membatasi kesempatannya untuk memiliki keahlian dan memilih mata pencaharian kelak. Kegagalan itu sama sekali tidak mengunci mati peluang baginya untuk meraih sukses dan kebahagiaan.

Sebaliknya, siswa yang gagal menginternalisasi nilai-nilai luhur dan mematrikannya dalam pola tingkah laku, kelak akan menjadi biang kekacauan yang membahayakan dirinya sendiri dan lingkungannya. Kepintaran, profesi, dan kedudukannya tidak mengantarkannya menjadi problem solver dan menghadirkan kemaslahatan, tetapi justru menjadikannya problem maker dan memicu kerusakan.

Kesadaran Kolektif

Jika pendidikan diibaratkan proses pembuatan batik tulis, sekolah semestinya mengambil peran sebagai kolam celupan. Nilai-nilai luhur adalah “wenter” untuk mewarnai “mori” kepribadian siswa. Kepribadian yang sudah “diwarnai” dengan “wenter” nilai-nilai luhur itulah karakter.

Bakat dan minat siswa adalah “motif teraan malam” yang terbentuk oleh “goresan canting” kodrat alam. Kemelekatan “malam” kodrati pada “mori” potensi kognitif dan psikomotorik siswa itu sedemikian kuat sehingga menyulitkan penetrasi “wenter” pendidikan. Artinya, pendidikan tidak bisa memaksakan obsesi dan ambisi ala Kadariah hingga menyeragamkan standar capaian akademik seluruh siswa.

Celupan “wenter” karakter “hanya” memberikan “warna” afektif dalam proses memfasilitasi setiap siswa untuk mengembangkan potensi sesuai dengan “motif” bakat dan minat yang diterakan oleh “Sang Canting”. Dengan celupan nilai-nilai luhur, kodrat alam—yang mesti diterima dan diyakini sebagai mahakarya nircela (aḥsani taqwīm)—yang dibawa oleh setiap anak akan berkembang menjadi “batik” pribadi yang memesona. Karakter itulah yang bisa diseragamkan standarnya.

Siswa yang jago dan yang loyo dalam matematika, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang jujur dan ulet. Siswa yang berbakat dan yang sekarat dalam sepak bola, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang sportif dan kesatria. Siswa yang berobsesi menjadi pemusik dan yang mengharamkan musik, sama-sama bisa dididik menjadi pribadi yang santun dan tabah.

Seberapa banyak karakter yang diinginkan untuk mewarnai kepribadian siswa-siswinya, sebanyak itu pula sekolah harus menyediakan “kolam wenter”. Teknik celup (dyeing, ṣibgah) memang tidak efisien, memakan waktu yang panjang dan menuntut ketelatenan tingkat dewa.

Karut-marut etika sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang menerpa bangsa kita—juga hampir semua bangsa di dunia—tidak terlepas dari lemahnya kapasitas sekolah dalam menjalankan fungsi utamanya itu. Keprihatinan atas kekacauan massal itu semestinya memicu kesadaran segenap pemangku kepentingan untuk mendorong dan membantu sekolah-sekolah kembali ke khitahnya: institusi pendidikan karakter.

Energi pendidikan mesti dikerahkan untuk menguatkan kapasitas sekolah sebagai “kolam celupan” karakter generasi muda. Selera untuk sebentar-sebentar memodifikasi kurikulum adalah pemubaziran energi, selama rekonstruksi peran sekolah sebagai pendidik karakter dianaktirikan—apalagi diabaikan.

Terbaru

Qada 3.000

Senin, 8 April 2024. Hari kedua terakhir puasa. Sidang isbat memang belum digelar. Namun, saya sudah memastikan diri untuk berlebaran pada R...