Langsung ke konten utama

Postingan

Melayani

Semarang, 11/10/2022 Menjelang zuhur saya bertandang ke sebuah sekolah. Saya terprovokasi oleh tawaran classroom visit yang diunggah di situs web sekolah itu. Lalu saya ingat salah satu kalimat yang ditulis Bu Muren Murdjoko di Instagram pada 10 Juli 2021. Saya menemukan kutipannya di  sebuah media daring . "Uniknya, walau bukan sekolah Islam, terlihat beberapa anak muslim salat bersama guru agama di sekolah tersebut." Begitu pengakuan ibunda Maudy Ayunda ketika mengintai sekolah yang kelak menjadi pilihan putri sulungnya itu. Yang membuka kesempatan classroom visit  ini adalah—sebagaimana eksplisit pada namanya—sekolah Islam. Saya penasaran: seperti apa aktivitas sekolah tersebut ketika tiba waktu salat? Maka saya putuskan untuk menyambanginya pada waktu zuhur. Sekolahnya punya banyak kemiripan dengan sekolah yang diceritakan Bu Muren Murdjoko. Sekolah baru. Belum banyak fasilitas fisik yang dimiliki. Bangunannya tampak sudah berumur, mungkin bekas gedung sekolah yang suda

Sepeda

  N = nama komponen; F = fungsi komponen; R = risiko bila komponen tidak ada Dalam tiga bulan terakhir, saya empat kali ditanggap untuk mementaskan cerita yang sama. Yang menanggap juga sama. Tempat pentasnya pun sama. Hanya penontonnya yang berganti pada setiap pentas. Karena ceritanya sama, empat pementasan itu juga menampilkan lakon yang sama: sepeda. Pada tiga kali pentas yang pertama, saya menampilkan 20 model sepeda unik. Ada sepeda konferensi dan sepeda pesta, yang dikendarai dan dikayuh beramai-ramai. Ada sepeda terbalik, yang berbelok ke kiri ketika setang diputar ke kanan dan sebaliknya. Ada sepeda burung pemangsa, yang dikendarai dengan posisi telungkup. Ada sepeda juggernow , yang roda depan dan setangnya ganda. Penasaran? Ah, lihatlah sendiri di sini https://www.youtube.com/watch?v=0LS41SiVEs4&t=312s . Yang tiga kali saya tampilkan itu pun hanya video di kanal YouTube Ilmuwan Top itu. Setelah menyaksikan pentas 20 sepeda unik hasil kreativitas gila itu, para pen

Dua Pusaka Abadi

  “There are only two lasting bequests we can give our children: roots and wings.” Setiap yang hidup akan mati. Demikian pula manusia. Setelah mati, manusia—mau tidak mau—melepaskan kepemilikan atas segala perbendaharaan yang semula dikuasainya. Hak kepemilikan dan pemanfaatan harta material dan imaterial yang ditinggalkannya itu berpindah kepada ahli waris. Salah satu pihak yang—karena pertalian darah—otomatis menjadi ahli waris adalah anak. Harta warisan berpeluang menjadi senjata untuk melapangkan masa depan penerimanya. Bagi ahli waris yang belum punya penghasilan atau berpenghasilan kurang dari kebutuhannya, harta warisan dapat menjadi sumber penghasilan. Dalam hal demikian, warisan berfungsi sebagai bekal untuk menyambung hidup. Bagi ahli waris yang berkecukupan, harta warisan bisa dicadangkan untuk keperluan tak terduga. Ahli waris yang memiliki keterampilan bisnis dapat menjadikan harta warisan sebagai modal usaha sehingga mendatangkan keuntungan lebih. Apa pun fungsinya,

Merawat Human Capital

Sumber gambar:  https://www.jojonomic.com/blog/human-resource-development-2/ “The formula is simple: Happy employees equal happy customers. Similarly, an unhappy employee can ruin the brand experience for not just one, but numerous customers.” ( Sharon Swift, Founder of SETTLEto) Howard Schultz, CEO Starbucks, tampaknya menerapkan rumus serupa di perusahaan yang dipimpinnya. "Kami membangun brand Starbucks pertama-tama dengan para pegawai kami, bukan dengan pelanggan. Karena kami yakin bahwa cara terbaik untuk memenuhi dan melampaui ekspektasi pelanggan adalah dengan mempekerjakan dan melatih para pegawai yang hebat, kami berinvestasi di pemberdayaan pegawai," tegas Schultz. Kepuasan pelanggan tentu menjadi idaman setiap pelaku usaha, apa pun bisnisnya. Namun, siapa sejatinya yang menciptakan kepuasan pelanggan itu? Para pegawai. Pekerja. Karyawan. Performa merekalah yang menentukan apakah pelanggan puas atas produk bisnis kita atau tidak. Richard Branson, CEO Virgin Air be

Semai Peradaban di Negeri Awan

Ustaz Wasino (kiri) bersama Ki Gw  Menyambangi Ali dan Umi di Pucang, Bawang, Banjarnegara sebenarnya tidak diagendakan. Ketika Ali menawarkan mampir, Suko tampak ragu. Ia minta pendapat saya. Dapat dimaklumi, mengingat masih ada agenda sambang Wasino di Tretep, Temanggung. Saya serahkan hak memutuskan itu kepada Suko. “Manut,” jawab saya. “Saya kan senior, tidak kualat kalau menolak.” Terlalu dalam Suko menafsirkan jawaban saya. Kalau senior tidak kualat, sebagai junior Suko takut kualat. Ia mengiakan ajakan seniornya, Ali. Berhasil. Motif tersembunyi saya menemukan prangko. Kesanggupan Suko untuk mampir ke Pucang itu prangko untuk menyampaikan rindu saya pada sensasi keroyokan mi rebus. Sebenarnya Suko punya alasan untuk menolak. Dulu ia pernah mampir ke rumah Ali. Pukul 2 siang kami berpamitan. Ali, Umi, dan Kayla (?) mengantar sampai jalan raya. Begitu mobil berjalan, serangan kantuk mulai saya rasakan. Dua faktor patut dicurigai sebagai penyebab: memang sangat kurang tidur a