Saya punya seorang menantu keponakan ipar . Lumayan sulit, bukan, untuk memahami frasa ini? Ya, mencari frasa yang pas untuk mewakili maksudnya, bahkan, tak lebih mudah. Jelasnya begini. Saya punya istri; istri saya punya kakak; jadi, beliau kakak ipar saya, bukan? Nah, kakak ipar itu punya anak; dia punya suami; jadi, kakak ipar saya punya menantu, bukan? Lha, orang yang saya maksud adalah suami anak kakak ipar saya itu. Apa sebutan yang pas untuk dia bagi saya? Oke. Apa pun sebutannya, bukan dia subjek tulisan ini. Pada suatu hari (khas gaya penuturan cerita orang Jawa) dia mencermati mata anak saya—tepatnya, anak kami. Sejurus kemudian dia bertanya, “Kamu suka marah, ya, Om?” Yang ditanya hanya tersenyum siput. Keruan saja saya terbelalak. Anak saya sebenarnya tidak pernah marah-marah, dalam arti meluapkan amarah. Namun, sejatinya ia memang sering menahan amarah alias mendongkol.
catatan ringan hasil pengindraan jagat pendidikan