26 Okt 2013

Kerja Hati

Saya punya seorang menantu keponakan ipar. Lumayan sulit, bukan, untuk memahami frasa ini? Ya, mencari frasa yang pas untuk mewakili maksudnya, bahkan, tak lebih mudah. Jelasnya begini. Saya punya istri; istri saya punya kakak; jadi, beliau kakak ipar saya, bukan? Nah, kakak ipar itu punya anak; dia punya suami; jadi, kakak ipar saya punya menantu, bukan? Lha, orang yang saya maksud adalah suami anak kakak ipar saya itu. Apa sebutan yang pas untuk dia bagi saya?

Oke. Apa pun sebutannya, bukan dia subjek tulisan ini.

Pada suatu hari (khas gaya penuturan cerita orang Jawa) dia mencermati mata anak saya—tepatnya, anak kami. Sejurus kemudian dia bertanya, “Kamu suka marah, ya, Om?” Yang ditanya hanya tersenyum siput. Keruan saja saya terbelalak. Anak saya sebenarnya tidak pernah marah-marah, dalam arti meluapkan amarah. Namun, sejatinya ia memang sering menahan amarah alias mendongkol.


Usut punya usut, ternyata keponakan tingkat tiga (frasa baru lagi, bukan?) saya itu mendiagnosis tabiat emosi anak saya lewat deteksi selaput pelangi. Ilmunya sering dijuluki iridologi. Konon, iris mata anak saya itu berwarna kemerahan. Keponakan yang insinyur pertanian tapi lebih suntuk menekuni tibbun nabawi plus seorang herbalis itu menjelaskan bahwa warna dominan pada iris seseorang mencerminkan kerja hati orang tersebut.

Saya paham mengapa hati anak saya bekerja ekstraberat. Resistensinya terlalu besar. Setiap instruksi yang mengancam kenyamanannya saat itu akan ditolak. Penolakan spontan itu saja sudah cukup menguras energi hati. Kerja hatinya akan bertambah berat bila ia merasa tak punya kuasa untuk tidak melaksanakan instruksi itu. Beban kerja hatinya akan makin memuncak ketika ia terpaksa melaksanakan instruksi itu seraya memupuk anggapan bahwa ia melakukannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.

Apa jadinya jika hasil kerja kerasnya yang ditunaikan dengan terpaksa itu kelak hanya menuai celaan? Padahal, dapat ditebak bahwa hasil kerja terpaksa lazimnya jauh dari kriteria tuntas. Tak ayal, hati yang sudah sarat beban itu pun bengkak jadinya.

Beruntung, kelak anak saya menaruh minat pada kegiatan petualangan di alam bebas. Dengan bergabung di klub pencinta alam, setidaknya ia terdidik untuk menetapkan target dan terlatih untuk mengikuti instruksi demi instruksi dalam rangka mengumpulkan bekal untuk mencapai target itu. Menuruti perintah instruktur untuk berlari sambil memanggul setumpuk paving blocks di punggung itu lebih berat daripada perintah bapakmu untuk menyapu atau mengepel lantai rumah. Menyusuri jalan setapak sepanjang lereng gunung yang terjal, licin, berbatu, dan berduri di tengah malam gulita itu jauh lebih berat daripada mencuci piring atau sepatumu sendiri. Namun, semua yang berat itu kautempuh jua demi tercapai performa yang kautargetkan.

Begitulah, Nak. Selagi kau punya target, maka kau akan menerima serangkaian instruksi sebagai agenda pengumpulan bekal untuk mencapai targetmu sendiri. Mengikutinya dengan terpaksa atau sukarela tak akan mengusir instruksi itu. Perbedaannya terletak pada emosi atau mood dalam menunaikannya. Dan emosi yang terlibat itulah yang kelak akan menentukan kualitas hasil kerjamu.

Kini ... bercerminlah. Pandangi bayangan selaput pelangimu yang sudah jauh lebih cerah dibanding ketika kau bertemu kakak sepupu iparmu dalam suasana lebaran kala itu.


Selamat! Kau sudah menemukan sendiri terapi untuk meringankan kerja hatimu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Populer