Saya punya seorang menantu keponakan ipar. Lumayan
sulit, bukan, untuk memahami frasa ini? Ya, mencari frasa yang pas untuk mewakili
maksudnya, bahkan, tak lebih mudah. Jelasnya begini. Saya punya istri; istri
saya punya kakak; jadi, beliau kakak ipar saya, bukan? Nah, kakak ipar itu
punya anak; dia punya suami; jadi, kakak ipar saya punya menantu, bukan? Lha,
orang yang saya maksud adalah suami anak kakak ipar saya itu. Apa sebutan yang
pas untuk dia bagi saya?
Oke. Apa pun sebutannya, bukan dia subjek tulisan ini.
Pada suatu hari (khas gaya penuturan cerita orang Jawa) dia
mencermati mata anak saya—tepatnya, anak kami. Sejurus kemudian dia bertanya, “Kamu
suka marah, ya, Om?” Yang ditanya hanya tersenyum siput. Keruan saja saya
terbelalak. Anak saya sebenarnya tidak pernah marah-marah, dalam arti meluapkan
amarah. Namun, sejatinya ia memang sering menahan amarah alias mendongkol.
Usut punya usut, ternyata keponakan tingkat tiga (frasa baru
lagi, bukan?) saya itu mendiagnosis tabiat emosi anak saya lewat deteksi
selaput pelangi. Ilmunya sering dijuluki iridologi. Konon, iris mata anak saya
itu berwarna kemerahan. Keponakan yang insinyur pertanian tapi lebih suntuk menekuni
tibbun nabawi plus seorang herbalis itu menjelaskan bahwa warna dominan
pada iris seseorang mencerminkan kerja hati orang tersebut.
Saya paham mengapa hati anak saya bekerja ekstraberat. Resistensinya
terlalu besar. Setiap instruksi yang mengancam kenyamanannya saat itu akan
ditolak. Penolakan spontan itu saja sudah cukup menguras energi hati. Kerja
hatinya akan bertambah berat bila ia merasa tak punya kuasa untuk tidak
melaksanakan instruksi itu. Beban kerja hatinya akan makin memuncak ketika ia
terpaksa melaksanakan instruksi itu seraya memupuk anggapan bahwa ia
melakukannya untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri.
Apa jadinya jika hasil kerja kerasnya yang ditunaikan dengan
terpaksa itu kelak hanya menuai celaan? Padahal, dapat ditebak bahwa hasil
kerja terpaksa lazimnya jauh dari kriteria tuntas. Tak ayal, hati yang sudah
sarat beban itu pun bengkak jadinya.
Beruntung, kelak anak saya menaruh minat pada kegiatan
petualangan di alam bebas. Dengan bergabung di klub pencinta alam, setidaknya
ia terdidik untuk menetapkan target dan terlatih untuk mengikuti instruksi demi
instruksi dalam rangka mengumpulkan bekal untuk mencapai target itu. Menuruti perintah
instruktur untuk berlari sambil memanggul setumpuk paving blocks di
punggung itu lebih berat daripada perintah bapakmu untuk menyapu atau mengepel lantai
rumah. Menyusuri jalan setapak sepanjang lereng gunung yang terjal, licin,
berbatu, dan berduri di tengah malam gulita itu jauh lebih berat daripada
mencuci piring atau sepatumu sendiri. Namun, semua yang berat itu kautempuh jua
demi tercapai performa yang kautargetkan.
Begitulah, Nak. Selagi kau punya target, maka kau akan
menerima serangkaian instruksi sebagai agenda pengumpulan bekal untuk mencapai
targetmu sendiri. Mengikutinya dengan terpaksa atau sukarela tak akan mengusir
instruksi itu. Perbedaannya terletak pada emosi atau mood dalam
menunaikannya. Dan emosi yang terlibat itulah yang kelak akan menentukan
kualitas hasil kerjamu.
Kini ... bercerminlah. Pandangi bayangan selaput pelangimu
yang sudah jauh lebih cerah dibanding ketika kau bertemu kakak sepupu iparmu dalam
suasana lebaran kala itu.
Selamat! Kau sudah menemukan sendiri terapi untuk meringankan kerja hatimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar