Suatu sore lepas asar, di ruang tamu rumah seorang konselor. Sebenarnya, beliau "hanya" seorang guru di sebuah perguruan tinggi. Di sela-sela kesibukan memberikan kuliah, beliau juga punya hobi mengajarkan ilmu agama di salah satu petak rumahnya. Ruangan sederhana itu mirip sebuah pondok pesantren. Setiap hari, pada jam-jam tertentu, belasan --kadang puluhan-- remaja akhir, putra-putri, menimba ilmu di sana. Adalah keakrabannya dengan berbagai persoalan umat yang mengantarkan beliau kepada julukan "konselor". Seorang mahasiswi semester akhir duduk tertunduk lesu di kursi kayu. Wajahnya tertunduk layu. Kedua matanya sembab. Sebentar-sebentar tangannya merogoh tisu dari dalam tas, lalu menyapu air matanya yang nyaris jatuh. Sepasang bibirnya bergantian digigit-gigit sendiri. Sepertinya ada ekspresi yang ditahan. Tak ada yang menemani. Tadi istri Pak Konselor hanya sempat menyambutnya di pintu, menyilakan duduk, mengambilkan segelas air putih, menanyakan kaba
catatan ringan hasil pengindraan jagat pendidikan