Seorang raja yang tidak begitu feodal mendadak memanggil seluruh pejabat setingkat menteri di kerajaannya. Tak seorang pun tahu maksud dan tujuan pemanggilan tersebut. Semua datang ke istana dengan pikiran galau penuh tanda tanya.
“Saudara-saudara,” sang Raja mengawali pidatonya, “tidak lama lagi saya akan lengser.”
Semua yang mendengar terperangah.
“Tapi maaf, Baginda,” Patih buru-buru menyela, “bukankah Baginda masih cukup muda dan kuat untuk memimpin?”
“Betul, Patih,” jawab Raja, “namun ketahuilah bahwa orang berkuasa itu bak orang makan, kalau kekenyangan bisa mengundang berbagai penyakit. Jadi, sebaiknya saya menyudahi kekuasaan ini sebelum kenyang.”
Semua yang hadir kaget dan bengong. Makin kentara kezuhudan sang Raja. Usianya masih terbilang muda. Jasmaninya segar bugar. Rohaninya sehat tanpa cacat. Kesetiaan para narapraja tak diragukan. Dukungan rakyat tak pernah pudar. Kemakmuran kota dan desa merata di seantero negeri. Keadilan senantiasa dijunjung tinggi. Musabab apa gerangan yang memicu sang Raja berniat mengundurkan diri?
Di balik kegundahan itu, ada pertanyaan besar: siapa calon pengganti yang pantas naik takhta? Maklum, sang Raja tidak dikaruniai seorang pun keturunan. Sedangkan di antara para petinggi tak ada yang punya hubungan istimewa dengan sang Raja. Tak ada tanda-tanda sang Raja menyiapkan putra mahkota calon penggantinya.
“Lalu,” giliran salah seorang menteri senior memohon penjelasan, “siapa yang akan Baginda titahkan untuk naik takhta, Baginda?”
“Itulah yang saya ingin sampaikan. Menurut keyakinan saya, salah seorang dari kalian layak untuk menggantikan saya. Kalian sudah cukup lama mengabdi di kerajaan kita. Apalagi, beberapa di antara kalian juga sudah punya pengalaman mengemban tugas-tugas penting di negeri ini. Siapa yang lebih tahu hitam merahnya suatu negeri kalau bukan kaum pribumi negeri itu sendiri? Maka, bersiaplah! Salah seorang dari kalian akan menerima amanah untuk memimpin dan yang lain dipimpin,” jelas sang Raja.
“Tentang siapa yang layak untuk naik takhta menggantikan saya, beri saya waktu dua bulan untuk memutuskan. Sembari menanti putusan, saya ingin menitipkan klungsu kepada kalian, satu butir per orang. Setiba di rumah, tolong tanam klungsu itu di dalam pot. Dua bulan lagi, kalian akan saya panggil lagi ke sini untuk menunjukkan hasil penanaman klungsu kalian masing-masing,” lanjut Baginda.
Setelah santap siang dan sembahyang, belasan pejabat tinggi kerajaan itu satu per satu meninggalkan istana sambil menggenggam sebutir klungsu yang diserahkan oleh sang Raja sambil berjabat tangan ketika mereka berpamitan. Raut muka mereka menunjukkan kebimbangan. Klungsu, ... ya, biji berkulit paling keras di antara keluarga polong-polongan itu mendadak menjadi teka-teki.
Sambil “mengemudi” kuda dinasnya masing-masing, mereka berpikir keras untuk mendapatkan pot dan media terbaik untuk menanam klungsu mereka. Tak urung, Menteri Pertanian langsung membentuk tim riset guna menemukan pupuk terbaik untuk pertumbuhan asam jawa. Menteri Pertamanan segera memanggil arsitek terbaik untuk membuatkan desain pot terindah dan termewah. Para tukang kebun kewalahan melayani order untuk merawat pot asam.
Pagi, siang, sore, dan malam para tukang kebun menyambangi pot klungsu di rumah dinas pejabat yang menjadi tanggung jawabnya. Satu, dua, tiga, ... sepuluh hari ditunggu, cikru (Jw. = kecambah) asam tak kunjung mencuat ke permukaan tanah. Si empunya klungsu mulai panik.
“Kang,” panggil Menteri Perkebunan kepada perawat pot klungsu-nya, “cepat pergi ke Kebun Laboratorium Pembibitan! Cari bibit asam yang paling subur, bawa ke sini!”
Menteri Kehutanan pun bertitah kepada tukang kebunnya, “Man, bawa pasukan ke hutan! Temukan tunas asam yang paling segar, cabut dan bawa ke sini! Jangan ada satu helai pun akar yang tertinggal!”
Dua bulan pun berlalu. Tibalah saatnya para pejabat menunjukkan hasil tanam klungsu mereka. Satu per satu pot-pot itu dicermati oleh sang Raja.
“Subur sekali pohon asammu! Pasti kaurawat dengan saksama,” puji sang Raja kepada Menteri Pertanian.
Kepada Menteri Pertamanan, sang Raja menyanjung, “Pot yang amat cantik.”
“Apa yang kautanam di dalam potmu?” tanya sang Raja kepada seorang menteri muda yang membawa pot kosong tanpa tanaman.
“Ampun, Baginda,” jawab yang ditanya, gugup, “hamba hanya menanam klungsu pemberian Baginda.”
“Tunjukkan bagaimana nasib klungsu-mu?” pinta Baginda.
Menteri Muda mengambil klungsu dari dalam tanah pot dengan ibu jari dan telunjuknya. Klungsu pun masih utuh. Tak ada tanda-tanda akan tumbuh kecambah.
“Saudara-saudara, hari ini terjawab sudah pertanyaan kalian dua bulan yang lalu. Kepintaran dan kesetiaan kalian semua tak saya ragukan. Namun, saya membutuhkan seorang pengganti yang tidak hanya cerdas dan setia, melainkan juga jujur. Dan ... inilah Pangeran Pati itu,” kata Baginda sambil mengangkat tangan Menteri Muda.
Semua terkesiap.
“Ketahuilah,” lanjutnya, “klungsu-klungsu yang saya titipkan kepada kalian itu, sudah direbus selama 24 jam. Ditanam, dipupuk, dan disirami tiap hari ... hingga tujuh turunan pun, mustahil bisa tumbuh kecambah darinya. Dan hanya menteri muda ini yang hari ini berani datang menghadapku tanpa memanipulasi klungsu-nya.”
Sekadar klungsu pun, di tangan seorang Raja bijak bestari, bisa menjadi sarana untuk menemukan calon pemimpin berintegritas di antara orang-orang pintar dan loyal. (Gw)
*) Klungsu (Jawa) = biji asam (Tamarindus indica)
masukan.... agar postingan kita yang lalu bisa tampak sebagian dalam satu halaman, ada fasilitas "break" untuk setiap artikel, sehingga tidak langsung tampil secara keseluruhan seperti di atas...
BalasHapusThanks ...
BalasHapushehehe ... sabar, nunggu artikel berikutnya lahir.