Langsung ke konten utama

Postingan

Gadget

“BOCAH PINUJU SADHAR” dalam Lancaran GUGUR GUNUNG Pelog Barang 1 Assalamu `alaikum, para lenggah kakung putri Pripun, pripun kabaripun? Mugi pinanggih basuki Sakecakna lenggah nglaras karawitan Jawi Sinambi jagongan sumangga nglelipur ati Bonang, slenthem, saron, demung, ... sesautan muni Kendhang, kenong, gong, kempul ditabuh gilir gumanti Penyanyine rombongan ... nganti sesak panggunge Sing ngrawit lan sing nembang kelas nem A pancen oke

Kerja Hati

Saya punya seorang menantu keponakan ipar . Lumayan sulit, bukan, untuk memahami frasa ini? Ya, mencari frasa yang pas untuk mewakili maksudnya, bahkan, tak lebih mudah. Jelasnya begini. Saya punya istri; istri saya punya kakak; jadi, beliau kakak ipar saya, bukan? Nah, kakak ipar itu punya anak; dia punya suami; jadi, kakak ipar saya punya menantu, bukan? Lha, orang yang saya maksud adalah suami anak kakak ipar saya itu. Apa sebutan yang pas untuk dia bagi saya? Oke. Apa pun sebutannya, bukan dia subjek tulisan ini. Pada suatu hari (khas gaya penuturan cerita orang Jawa) dia mencermati mata anak saya—tepatnya, anak kami. Sejurus kemudian dia bertanya, “Kamu suka marah, ya, Om?” Yang ditanya hanya tersenyum siput. Keruan saja saya terbelalak. Anak saya sebenarnya tidak pernah marah-marah, dalam arti meluapkan amarah. Namun, sejatinya ia memang sering menahan amarah alias mendongkol.

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da

Kurikulum 2013: Kritik Pedas bagi Guru

Peran mana yang lebih tepat untuk disandang oleh guru: sutradara atau aktor? Jika pertanyaan ini diajukan kepada guru, tentu jawabannya akan bergantung pada sikap mental si guru. Bagi guru yang bermental kreatif dan inovatif, peran sebagai sutradara tentu menjadi pilihan mantap. Sebaliknya, peran sebagai aktor merupakan pilihan nyaman bagi guru yang daya kreasi dan inovasinya rendah. Dua peran yang berbeda secara ekstrem itulah yang menjadi pembeda mencolok antara peran guru dalam kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum 2006 memberikan otoritas luas kepada guru untuk mengembangkan kurikulum dengan mengakomodasi potensi lokal (daerah dan sekolah). Sedangkan kurikulum 2013 yang akan segera diberlakukan, seluruh otoritas itu diambil alih oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mencermati perombakan besar ini, layak kiranya masyarakat bertanya: ada apa gerangan? Beragam spekulasi

Jakarta: (Masih) 1 Enaknya!

Kalau Pembaca mengerti matematika, niscaya tidak salah membaca judul tulisan ini. Untuk membunuh kesepian, menjelang magrib (16/11) aku mengirim SMS kepada keponakan. Lepas isya datang panggilan dari nomornya. Jebul , yang menelepon suaminya. Ia menawari aku untuk singgah ke rumahnya, di Bekasi. Mulanya aku sungkan. Maklum, aku mesti menanti kedatangan rombongan teman-teman dari Solo, yang baru sampai Indramayu. Namun, ia terus merayu. Kebetulan ada bumbu yang membuat rayuannya makin sedap: ayah mertuanya (kakak iparku) juga ada di Bekasi. Kena, deh ! Aku pun jadi bernafsu untuk mengiyakan permintaannya. Sekitar pukul 8 malam menantu keponakanku tiba di Ragunan. Kupelototi sepeda motornya. " Helme siji thok , Mas?" tanyaku.

Lugas Nian

"Yang deg-degan (bukan es degan. lho!) tegang bukan adik-adik peserta lomba. Yang tegang justru ibu-ibu di kanan dan kiri aula. Kalau adik-adik ini sudah mantap, siap berlomba. Bahkan adik-adik sudah tidak sabar untuk segera mengerjakan soal. Mereka pada ngrasani, 'Pembukaannya kok lama banget?' Oleh sebab itu, saya tidak akan berpidato. Saya tidak perlu menyampaikan pidato apa pun. Saya tidak perlu memberikan pesan apa-apa yang harus Adik-adik lakukan. Adik-adik semua sudah tahu apa yang mesti kalian lakukan, karena Adik-adik semua adalah para juara. Tadi semua mengaku ingin seperti Pak Menteri. Bahkan, semua ingin melebihi Pak Menteri. Tidak perlu ingin, karena sekarang saja Adik-adik sudah melebihi saya. Saya dulu tergolong tidak pintar matematika, sedangkan Adik-adik semua juara matematika plus studi Islam, lagi. Luar biasa!

Koreksi

Ya, kata ini tak pernah asing di kalangan guru. Usai tes, ulangan, ujian, atau apa pun namanya, koreksi menjadi fardu. Pegang kunci jawaban plus kertas atau mika mal, pulpen atau spidol bertinta merah, lalu ... sret, sret, sret ...  kluwer, kluwer  ... dan jadilah angka penanda prestasi yang dicapai siswa. Cukup begitukah untuk bisa dibilang koreksi? Kalau tidak salah lacak, kata koreksi berasal dari bahasanya David Beckam  correction . Kata  correction  sendiri terbentuk dari adjectiva dan verba  correct . Sebagai verba,  to correct  berarti  make right or correct . Dengan begitu, koreksi mestinya dipahami sebagai  the act of offering an improvement to replace a mistake; setting right . Ya, koreksi—sekali lagi, mestinya—dipahami dan dipraktikkan sebagai tindakan menawarkan perbaikan untuk menggantikan kesalahan, alias menyetel agar benar. Aneh, usai menerima lembar jawabannya yang sudah "dikoreksi", sebagian murid saya bertanya, "KKM (kriteria ketuntasan minimal)-nya b