Langsung ke konten utama

Postingan

Tuhan Pangling

Matahari terbit dari barat. Sinarnya terang berkilau , membuat semua mata merasa silau. Perlahan sang bagaskara terus turun dari singgasananya. Jaraknya makin dekat ke bumi, anggota keluarganya yang selama ini ditimang-timang dalam kehangatan dan kecerahan cahayanya. Makin lama makin mendekat. Tinggal tersisa jeda sejengkal di atas kepala orang berdiri. Sengatan panasnya membakar hangus segala benda, menembus se genap lapisan dinding pelindung makhluk semesta. Jalinan atmosfer robek compang-camping kehilangan rupa. Rajutan ozon koyak menganga di mana-mana. Seluruh mantel penghalang tak kuasa membendung radiasi sinar ultra dan infra dari sang bola raksasa. Tiada yang tersisa. Benua es yang berjuta tahun tidur nyenyak di dua kutub dunia mendadak cair. Lebur . L eleh . L uluh . L antak. Bumi berguncang keras. Seluruh planet turut bergetar dahsyat. Resonansinya menimpa segenap benda luar angkasa. Serentak berguguran. Rontok. Jaga t raya memuntahkan segala isi perutnya. Bongkah-bongkah

MP3 atau MP4?

Pagi itu   rumah Pak Dar cukup ramai. Tidak seperti biasanya, memang. Bertahun-tahun tinggal di situ, baru kali ini suasana Lebaran di rumah Pak Dar tampak meriah. Sekitar pukul sepuluh pagi, serombongan tamu datang dengan beberapa mobil minibus. Rumah yang tak begitu luas itu penuh oleh tetamu Lebaran. Bahkan, beberapa tamu laki-laki terpaksa duduk lesehan di teras dan beberapa yang lain memilih duduk di bangku panjang di bawah rerimbun pohon mangga yang tumbuh di halaman depan yang juga terbilang sempit. Tidak tampak ada acara formal. Yang terdengar hanya obrolan ringan tanpa batasan topik yang jelas. Usai topik yang satu, obrolan melompat ke topik yang lain. Alur pembicaraan pun mengalir lancar walau sebentar-sebentar beralih tema. Sesekali riuh derai tawa hadirin dan tuan serta nyonya rumah meningkahi percakapan bebas dan santai tanpa pemandu acara itu. “Kalau Lebaran begini libur berapa hari, Mbak Rin?” pertanyaan Bu Dar tiba-tiba menghentikan perbincangan yang semu

Malu kepada Penjaja Mendoan

Mendoan adalah sejenis tempe yang amat tipis. Di “negara” asalnya, mendoan memang didesain tipis sejak dari awal pencetakannya. Setelah dikupas kemasannya yang terdiri atas dua lapis, daun pisang di lapisan dalam dan daun jati di lapisan luar, tempe mendoan mesti diangkat secara hati-hati. Kalau tidak, ia akan mudah patah karena ketipisannya. Dilumuri adonan tepung terigu berbumbu lalu digoreng, mendoan menjadi camilan lezat untuk ukuran masyarakat sekelas saya. Di daerah lain, di kota domisili saya, orang suka membuat mendoan palsu. Tempe tebal raksasa yang berbalut kemasan plastik dipotong-potong selebar telapak tangan. Tiap-tiap potong lalu dibelah tipis-tipis hingga ketebalannya menyerupai mendoan. Dimasak dengan cara yang sama, kemudian tempe berkemul itu ramai-ramai dinamai mendoan juga. Di warung-warung permanen maupun di lapak dan gerobak kaki lima, mendoan palsu itu menjadi “snack” yang laris manis. Suatu sore saya menemani istri mencari camilan untuk berbuka puasa. Pilihan j

Berguru kepada Abang Becak

Teman yang satu ini sungguh beruntung. Ia punya seorang ayah. Satu-satunya ayah yang dimilikinya itu bekerja sebagai pengemudi becak. Beliau dan teman-teman seprofesi boleh iri. Pengemudi kapal terbang ada namanya: pilot. Pengemudi kapal laut punya sebutan khusus: nakhoda. Pengemudi kereta api punya julukan: masinis (sekalipun berkelamin perempuan, ia tidak dijuluki mbaksinis). Pengemudi mobil – segala jenis mobil – disebut sopir. Pengemudi dokar, andong, atau delman punya nama: kusir atau sais. Lha pengemudi becak? Belum dibuatkan julukan khusus untuk mereka. Di Betawi, pengemudi sepeda beroda tiga (bila mirip merk produk tertentu, anggap saja itu bukan ketaksengajaan [?]) itu dipanggil “abang becak” (bila ia seorang perempuan, pasti panggilannya berubah). Di daerah-daerah lain, mereka lazim menerima sebutan “tukang becak” atau “penarik becak”. Yang terakhir ini kacau lagi. Pengemudi becak kan duduk di belakang kabin penumpang? Masa, menarik dari belakang ke depan??? Namun, buk

Quo Vadis Pendidikan Karakter?

To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society.  Pesan ini disampaikan oleh mendiang Theodore Roosevelt, presiden ke-26 Amerika Serikat. Secara lebih sinis, pada kesempatan lain presiden termuda yang pernah dimiliki negeri Paman Sam itu menyindir, “ A man who has never gone to school may steal from a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.”   Ak hir-akhir ini isu pendidikan karakter mencuat sebagai topik perbincangan yang ramai menghiasi halaman media massa. Berbagai  kalangan—pejabat eksekutif, politisi, pakar dan pengamat pendidikan—seolah-olah  berpacu unjuk keprihatinan. Semua seperti sudah sepakat bahwa segala bentuk keterpurukan yang melanda bangsa ini merupakan akibat kegagalan sistem pendidikan kita di dalam membangun karakter bangsa. Di negeri kita tidak sulit untuk menemukan bukti kebenaran tesis Roosevelt tersebut. Hampir dapat dipastikan bahwa pelaku kejahatan di jalan raya yang dijuluki “bajing l

Ayahku Seorang Pendidik

Tetangga depan rumah kami dulu punya empat orang anak: tiga perempuan dan satu laki-laki. Tidak seperti anak-anak sebayanya di desa kami, anak lelaki tetanggaku itu tak kenal pekerjaan anak desa. Dia tidak pernah terlihat memikul air dari umbul di seberang desa untuk memenuhi keperluan dapur. Memikul hasil bumi dari sawah atau ladang juga tak pernah dilakukan. “Nikmatnya” memikul pupuk kandang ke tanah garapan orang tuanya pun tak pernah dirasakan. Paling-paling, sesekali dia ikut teman-teman sebayanya beramai-ramai menggembala sapi di padang rumput. Enak nian hidup anak tetanggaku itu. Barangkali nasib baik itu menimpa dirinya lantaran dia menjadi anak lelaki satu-satunya di keluarganya. Suatu pagi ayahku mengajak anak-anaknya—aku dan dua kakakku—mengusung pupuk kandang ke ladang. Itu kami lakukan berulang-ulang dalam sehari. Capek, memang. Ada bengkak merah di pundak kami. Dalam hati, aku pun memprotes perlakuan ayahku kepada kami. Kala itu usiaku belum genap sepuluh tahun. Sedangk

Bias dalam Sertifikasi Guru

Ketika mendengar kata "sertifikat", lazimnya orang mengasosiasikannya dengan "pengakuan". Sertifikat hak milik tanah, misalnya, dipahami sebagai pengakuan bahwa sebidang tanah sebagaimana disebut spesifikasinya adalah milik orang atau badan yang identitasnya tertera di dalam dokumen tersebut. Keterangan lokasi, ukuran, dan gambar situasi tanah yang tertera di sertifikat mesti sesuai dengan fakta yang terbukti di lapangan. Selisih sekecil apa pun antara data di sertifikat dan fakta di lapangan akan berbuntut panjang bila kelak terjadi sengketa menyangkut status tanah tersebut, Sertifikasi Guru Setelah dinyatakan lulus sertifikasi, seorang guru akan menerima sertifikat profesi guru. Konon, menurut konsep yang diundangkan, sertifikat itu berfungsi sebagai pengakuan atas profesionalisme guru. Sedangkan tolok ukur profesionalisme guru terdiri atas 5 (lima) komponen: (1) kualifikasi akademik, (2) kompetensi pedagogik, (3) kompetensi profesional, (4) kompeten