Langsung ke konten utama

Postingan

Banyak Pelatihan, Kurang Latihan

  Poster di atas saya jumpai di akun Facebook dan LinkedIn Pak Armala, founder sekolah manajer Human Plus Institute, yang diunggah pada 24 Mei 2022 menjelang pukul 7 pagi. Atas izin beliau, saya menyematkannya di sini. Jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kita tidak akan menemukan perbedaan yang kentara antara pelatihan dan latihan . Di kamus resmi Pemerintah itu, kata latihan didefinisikan sebagai "hasil berlatih" dan ragam cakapan untuk kata berlatih atau pelatihan itu sendiri. Dua kata dalam bahasa Inggris training  (pelatihan) dan practice  (latihan) barangkali dapat membantu mempertegas perbedaan antara keduanya. Pelatihan (training) lazimnya berlangsung dalam situasi formal dan durasi terbatas. Ada peserta (trainee) dan pelatih (trainer) . Kurikulumnya diatur secara ketat. Kegiatannya disudahi dengan penyematan status "berhasil" atau "lulus" (atau, ada jugakah "gagal"?) dan predikat "baik" (atau ada jugak

Surat Terbuka untuk Dirjen GTK

Kamis, 10 Maret 2022, iseng-iseng saya membuka akun SIMPKB (sistem informasi manajemen pengembangan keprofesian berkelanjutan), yang dikelola Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Saya buka menu program, salah satunya: Studi Lanjut Guru - Bantuan Pemerintah.  Saya pilih dan ikuti langkah-langkahnya. Sampai di kotak dialog “Apa ada rencana untuk melanjutkan pendidikan tingkat lanjut?” saya pilih opsi “Tidak”. Berikutnya, saya diminta “Mohon disampaikan alasan beserta saran dan masukannya kepada KEMENDIKBUD”.  Dengan antusias saya mengetik di kotak balasan. Selesai mengetik, saya klik tombol “KIRIM SARAN”. Hasilnya, muncul jawaban: “Isian Survei Anda gagal disimpan. 406566: Waktu Pengisian Survei telah berakhir.” Agar tidak menjadi bisul bernanah, saya salin saja isian survei tersebut di sini sebagai surat terbuka untuk Direktur Jenderal GTK. A. Alasan saya enggan melanjutkan s

Masing-Masing Punya Syākilah

Senin (28/02/2022) pagi. Wakinem datang ke rumah Mbakyu. Dia menjadi tamu terakhir yang saya dapati selama dua hari menumpang di sana. Sejak sehari sebelumnya, rumah Mbakyu memang ramai oleh tetamu. Mereka bukan tamu-tamu- nya  Mbakyu. Anaknya yang nomor dualah yang mereka cari. Untuk membayar tagihan air. Keponakan saya itu menjadi kasir penerima pembayaran rekening air bersih yang dikelola dusun. Usai transaksi, Wakinem tak segera pulang. Dia duduk di samping Simbok, yang sudah lebih dulu berangin-angin di bangku panjang di teras. Tampaknya sudah lama dia tidak menghibur mbokdenya.  Wakinem dan saya saudara sebuyut (Jawa: naksanak ). Mboknya dan Simbok saudara sepupu (Jawa: nakdulur ). Kakeknya, adik kandung Nenek. Sejenak njagongi  Simbok, lalu Wakinem beralih topik: curhat. Dia bercerita tentang suka dukanya merawat mertua. Dua-duanya, ayah dan ibu mertuanya, sakit. Untuk merawat fisik mereka yang sakit, Wakinem tidak merasa terbebani. Justru dia sering dibuat tidak nyaman oleh gej

Dirindukan: sEKOLAH pENDIDIKAN gURU

  Ketaksengajaan di mata manusia, sudah pasti bukan kebetulan di mata Sang Maha Perencana.  Sabtu (5/3/2022) malam saya berjumpa dengan seorang guru. Sebetulnya beliau sudah amat lama meninggalkan (tapi tidak menanggalkan, menurut hemat saya) sebutan guru. Sejak jenis sekolah tempat beliau mengajar dibubarkan pada awal 1990-an, beliau beralih tugas menjadi dosen. Namun—lagi-lagi, hanya menurut saya—derajat dosen tak lebih tinggi daripada derajat guru. Buktinya, puncak karier kebanggaan dosen di negeri kita adalah guru besar. Senin (7/3/2022) malam saya bertemu dengan dua orang guru. Yang seorang memang benar-benar guru, profesi formalnya. Seorang lainnya suka menjadi guru di kelas menulis. Kedua-duanya juga penulis. Yang satu guru tulen yang piawai, gemar, dan rajin menulis. Yang satunya lagi penulis tulen yang piawai, gemar, dan rajin mengasah keterampilan menulis para penulis pemula. Pertemuan Sabtu malam berlangsung secara virtual melalui salah satu platform konferensi video.

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-2 dari 2 Tulisan)

  Implementasi di Kelas   (lanjutan dari bagian ke-1 ) Sekolah, sebagai salah satu lingkungan intim anak-anak, memiliki peran strategis dalam membangun  growth mindset . Sepanjang hidupnya, orang bisa menghabiskan sembilan hingga belasan tahun di sekolah. Rentang waktu itu dimulai sejak masa kanak-kanak hingga dewasa awal. Artinya, mindset  seseorang yang terbentuk di sekolah berpeluang mendarah daging hingga ia dewasa. Sekolah identik dengan tugas. Melalui tugas-tugas sekolah itulah murid belajar, apa pun identitas yang disematkan untuk menandai kategorisasi muatan belajarnya: jurusan, kelas, mata pelajaran, tema, materi pokok, kompetensi dasar, capaian pembelajaran, atau yang lain. Dengan mengerjakan tugas itulah murid mengaktualisasikan diri: mengubah potensi kecerdasan (modal) menjadi unjuk kerja.  Murid mengerjakan tugas untuk dinilai. Di sinilah titik kritisnya. Paradigma penilaian yang dianut guru punya andil besar dalam pembentukan  mindset  murid. Jika kedudukannya formatif, p