Langsung ke konten utama

Postingan

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-2 dari 2 Tulisan)

  Implementasi di Kelas   (lanjutan dari bagian ke-1 ) Sekolah, sebagai salah satu lingkungan intim anak-anak, memiliki peran strategis dalam membangun  growth mindset . Sepanjang hidupnya, orang bisa menghabiskan sembilan hingga belasan tahun di sekolah. Rentang waktu itu dimulai sejak masa kanak-kanak hingga dewasa awal. Artinya, mindset  seseorang yang terbentuk di sekolah berpeluang mendarah daging hingga ia dewasa. Sekolah identik dengan tugas. Melalui tugas-tugas sekolah itulah murid belajar, apa pun identitas yang disematkan untuk menandai kategorisasi muatan belajarnya: jurusan, kelas, mata pelajaran, tema, materi pokok, kompetensi dasar, capaian pembelajaran, atau yang lain. Dengan mengerjakan tugas itulah murid mengaktualisasikan diri: mengubah potensi kecerdasan (modal) menjadi unjuk kerja.  Murid mengerjakan tugas untuk dinilai. Di sinilah titik kritisnya. Paradigma penilaian yang dianut guru punya andil besar dalam pembentukan  mindset  murid. Jika kedudukannya formatif, p

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-1 dari 2 Tulisan)

  Mana pernyataan yang menggambarkan keyakinan, pandangan, sikap, atau kebiasaan Anda? Kita bisa belajar banyak hal baru, tetapi tidak bisa benar-benar mengubah kecerdasan bawaan kita. Tidak peduli tingkat kecerdasan yang kita miliki, kita bisa melipatgandakan kapasitasnya. Jujur, ketika mendapati kesulitan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, saya merasa tidak berbakat di bidang itu.   Ketika mendapati kesulitan dalam bekerja, saya justru makin berhasrat untuk mengerjakannya, bukan sebaliknya. Saya paling suka bila bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Saya menyukai pekerjaan yang membuat saya belajar sekalipun saya membuat banyak kesalahan.  Saya puas ketika bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa mendapati kesulitan berarti. Saya paling suka ketika menyelesaikan pekerjaan yang menuntut berpikir dan berusaha keras. Pernyataan 1, 3, 5, dan 7 menunjukkan fixed mindset (pola pikir jumud). Bakat atau kecerdasan diyakini sebagai sumber daya (resource)  tak terbaruk

Jelajah Antah-Berantah

Ki-ka: Wawang, Cahya, Kang Gw, Firdaus, Syarif, Bari. Fotografer: Warto. Lokasi: halaman istana Simbok. Wonogiri, 26 Desember 2021 Semestinya hanya saya yang sampai ke rumah itu, dusun itu, pagi itu. Malam sebelumnya, kemenakan saya punya hajat: memanjatkan doa bersama beberapa orang tetangga dekatnya. Saya diminta hadir untuk mengaminkan doa-doa tulus mereka. Hari-hari itu janin di rahim istrinya menginjak usia empat bulan. Mendapat undangan dari kemenakan itu, saya ingat Ndan Wawang. Personel satuan pengamanan di salah satu unit sekolah kami itu pernah menyampaikan keinginannya untuk melihat rumah batu. Ya, rumah unik di Tirtomoyo, Wonogiri yang sempat viral itu mengundang penasarannya. Maka, saya tawarkan kepadanya untuk menemani saya memenuhi undangan kemenakan. Janji saya, esoknya ganti saya temani dia mengunjungi rumah batu. Rupanya Ndan Wawang kurang percaya diri untuk hadir sebagai satu-satunya orang asing di keluarga saya. Dia menyodorkan satu nama untuk diajak serta: Pak Bari

Lembar Nilai vs. Lembar Penilaian

  Beberapa hari yang lalu saya didaulat menjadi juri. Silakan tebak sendiri, lomba apa itu. Panitia menyodorkan blangko yang disebut olehnya lembar penilaian. Saya buka. Saya masygul. Ada tiga perkara yang membuat saya masygul. Pertama,  ada aspek penilaian yang tidak mungkin saya bisa menilainya: ketepatan waktu pengumpulan (karya). Saya menawar untuk tidak menilai aspek itu. Panitia memberi tahu: semua karya dikumpulkan sebelum batas akhir pengumpulan. Saya bersikeras. Saya hanya bisa menilai apa yang saya tahu, bukan sesuatu yang saya diberi tahu. Kedua,  perincian unsur-unsur yang dinilai tidak standar. Ada unsur penting yang luput dari sasaran penilaian. Sebaliknya, ada unsur cabang yang terpisah dari induknya. Saya bertanya: apakah kriteria penilaiannya boleh dimodifikasi? Jawabannya: tidak. Sudah final. Mutlak. Saya mencoba menggurui. Saya tunjukkan kriteria penilaian yang lazim dipakai dalam lomba serupa. Juga saya tawarkan alternatif penyederhanaannya. Tidak laku. Ya sudah. Sa

Dokter: Buat Apa Disingkat?

Seorang teman mengunggah tulisan di sebuah platform grup percakapan: "Berikut ini saya menemukan beberapa penulisan yang berbeda dalam plang di bangunan rumah sakit yang cukup membingungkan banyak orang bagaimana penyebutannya. Misalnya, RS dr. Sismadi, RS Dr. Suyoto, RS Dr. Reksodiwiryo, RSU Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sardjito, Rumah Sakit Jiwa Dr. Soeharto Heerdjan, RSUD dr. Soedono, RSUP Dr. Kariadi Semarang, RS Dr. J. H. Awaloei, Rumah Sakit Angkatan Laut Dr. Ramelan, RSK dr. Tadjuddin Chalid Makassar, RSUD dr. Murjani Sampit, RSUD dr. Slamet Garut, dan RSUP Dr. Hasan Sadikin. Penulisan Dr dan dr di plang bangunan rumah sakit di atas berbeda- beda. Praktik penulisan itu yang bisa bikin orang bingung." Diam-diam saya menyimpan kekaguman di dalam hati. Teman saya itu tentu pesiar hebat. Begitu banyak kota di Nusantara yang sudah dirambahnya. Lebih hebat lagi, ia begitu jeli mencermati tulisan pada papan nama rumah-rumah sakit yang dijumpai di kota-kota itu. Tapi, dasar berotak n