Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Persona

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-2 dari 2 Tulisan)

  Implementasi di Kelas   (lanjutan dari bagian ke-1 ) Sekolah, sebagai salah satu lingkungan intim anak-anak, memiliki peran strategis dalam membangun  growth mindset . Sepanjang hidupnya, orang bisa menghabiskan sembilan hingga belasan tahun di sekolah. Rentang waktu itu dimulai sejak masa kanak-kanak hingga dewasa awal. Artinya, mindset  seseorang yang terbentuk di sekolah berpeluang mendarah daging hingga ia dewasa. Sekolah identik dengan tugas. Melalui tugas-tugas sekolah itulah murid belajar, apa pun identitas yang disematkan untuk menandai kategorisasi muatan belajarnya: jurusan, kelas, mata pelajaran, tema, materi pokok, kompetensi dasar, capaian pembelajaran, atau yang lain. Dengan mengerjakan tugas itulah murid mengaktualisasikan diri: mengubah potensi kecerdasan (modal) menjadi unjuk kerja.  Murid mengerjakan tugas untuk dinilai. Di sinilah titik kritisnya. Paradigma penilaian yang dianut guru punya andil besar dalam pembentukan  mindset  murid. Jika kedudukannya formatif, p

Membangun Growth Mindset (Bagian ke-1 dari 2 Tulisan)

  Mana pernyataan yang menggambarkan keyakinan, pandangan, sikap, atau kebiasaan Anda? Kita bisa belajar banyak hal baru, tetapi tidak bisa benar-benar mengubah kecerdasan bawaan kita. Tidak peduli tingkat kecerdasan yang kita miliki, kita bisa melipatgandakan kapasitasnya. Jujur, ketika mendapati kesulitan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, saya merasa tidak berbakat di bidang itu.   Ketika mendapati kesulitan dalam bekerja, saya justru makin berhasrat untuk mengerjakannya, bukan sebaliknya. Saya paling suka bila bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa membuat kesalahan sedikit pun. Saya menyukai pekerjaan yang membuat saya belajar sekalipun saya membuat banyak kesalahan.  Saya puas ketika bisa menyelesaikan pekerjaan tanpa mendapati kesulitan berarti. Saya paling suka ketika menyelesaikan pekerjaan yang menuntut berpikir dan berusaha keras. Pernyataan 1, 3, 5, dan 7 menunjukkan fixed mindset (pola pikir jumud). Bakat atau kecerdasan diyakini sebagai sumber daya (resource)  tak terbaruk

Tak Ada Murid Tak Pintar

Dia itu salah satu murid saya. Murid ilmu per-SOAL-an. Mulai dari nol. Besar. Dulu dia suka menyodorkan soal. Sudah jadi naskah sepaket. Minta disuntingkan. Saya baca sekilas. Lalu saya tanyakan: mana kisi-kisinya? Terbelalaklah si empunya soal. Saya hafal. Mayoritas soal tes di negeri ini tidak menetas dari telur kisi-kisi. Entah. Mungkin terlalu merepotkan. Sempat membuat soalnya saja sudah bejo. Tak perlu dibebani tuntuntan yang lebih merepotkan: membuat kisi-kisi. Atau ada alasan lain: sudah mahir. Tiap pekan membuat soal. Masa, masih harus membuat kisi-kisi juga? Dalam coaching kelompok pekan lalu, saya bertanya. Kepada seorang teman. Guru, yang juga penjahit. “Apakah penjahit yang sudah mahir juga biasa membuat baju yang dipesan pelanggannya tanpa membuat pola?” Begitu saya bertanya. “Ya tidaklah, Pak,” jawabnya. Sambil berekspresi gemas. Atau menggemaskan?

Lugas Nian

"Yang deg-degan (bukan es degan. lho!) tegang bukan adik-adik peserta lomba. Yang tegang justru ibu-ibu di kanan dan kiri aula. Kalau adik-adik ini sudah mantap, siap berlomba. Bahkan adik-adik sudah tidak sabar untuk segera mengerjakan soal. Mereka pada ngrasani, 'Pembukaannya kok lama banget?' Oleh sebab itu, saya tidak akan berpidato. Saya tidak perlu menyampaikan pidato apa pun. Saya tidak perlu memberikan pesan apa-apa yang harus Adik-adik lakukan. Adik-adik semua sudah tahu apa yang mesti kalian lakukan, karena Adik-adik semua adalah para juara. Tadi semua mengaku ingin seperti Pak Menteri. Bahkan, semua ingin melebihi Pak Menteri. Tidak perlu ingin, karena sekarang saja Adik-adik sudah melebihi saya. Saya dulu tergolong tidak pintar matematika, sedangkan Adik-adik semua juara matematika plus studi Islam, lagi. Luar biasa!

Fenomena sang Surya

Muhammad Surya Alam Aprilima. Demikian nama tokoh fenomenal ini. Ditakdirkan terlahir pada 5 April membuat ia menyandang tanggal ulang tahun itu di ujung namanya. Nama yang sungguh indah! Mudah-mudahan sepenggal perjalanan sekolahnya bisa menjadi sang surya yang menyinari keindahan dunia. Setidaknya, dunia teman-teman seusianya. Paruh pertama semester gasal kelas 6. Seorang ibu menampakkan kesabarannya yang luar biasa. Ia menyilakan orang-orang lain mendahului gilirannya untuk mengambil laporan hasil belajar tengah semester anaknya. Ia memilih giliran terakhir. "Saya minta tolong, Pak," pintanya kepada guru wali kelas anaknya. "Nilai matematika Surya itu selalu di bawah rata-rata," lanjutnya. Keterlaluan memang! Dalam tes diagnostik untuk mendeteksi peta materi sukar pada ujian nasional—waktu itu masih berstatus UASBN—Surya “berhasil” memecahkan rekor. Nilainya 1,25! Artinya, hanya 5 dari 40 butir soal yang dijawab dengan benar. "Baik, Bu. Beri saya kesempata