Langsung ke konten utama

Postingan

HOTS yang Lagi Hot #1

Banyumanik, 26 Januari 2019 Saya didaulat untuk meng-coach teman-teman. Para guru hebat. Narawiyata SD Islam Hidayatullah. Salah satu sekolah yang cukup dipercaya masyarakat. Di kota lumpia. Coaching penyusunan soal HOTS. Begitu titah yang saya terima. Tahun lalu saya melaksanakan tugas serupa. Coaching teknik penyusunan soal tes tulis. Tidak ada embel-embel “HOTS”, memang. Tapi saya nakal. Saya sisipkan saran untuk meng-upgrade ke level HOTS. Pada catatan untuk perbaikan beberapa soal buatan teman-teman itu. Kali ini lebih fokus: soal HOTS. HOTS. Higher Order Thinking Skills. Kata higher sengaja saya tebalkan. Agar tidak menimbulkan kekacauan persepsi. Khawatir. Jangan-jangan timbul dikotomi paradoksal. Low (rendah) versus high (tinggi). Taksonomi Bloom itu menunjukkan kontinum tingkat berpikir. Dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi. Bukan pertentangan. Yang ini rendah dan yang itu tinggi. Saya mengawali kelas dengan bertanya: “Siapa yang merasa bahwa HOTS ini baran

Ilusi Bangsa Terpecah

Keutuhan Bangsa sedang terancam.  Kata mereka.  Benarkah demikian?  Benar atau salah bergantung pada keyakinan dan sikap Anda.  Saya sih sudah biasa menonton pentas ketoprak. Dulu. Di kampung. Di atas panggung, para pemain saling menyerang. Antarkubu. Saling menyalahkan kubu lain. Tantang-menantang. Menebar ancaman. Berantem . Mengadu ketebalan kulit, kekenyalan daging, kekuatan otot, dan kekokohan tulang. Berlomba kesaktian mantra dan keampuhan jimat. Unjuk keterampilan menggunakan dan ketangkasan mengelakkan senjata. Tubuh-tubuh lincah bermanuver. Akrobatik. Berguling-guling. Berlompatan. Jatuh korban. Bertumbangan. Mengerang kesakitan. Terkapar bersimbah darah. Lalu tampil adegan selingan. Dagelan. Bisa solo, duo, trio, atau kwartet.  Para prajurit yang kelelahan beristirahat di belakang panggung. Di balik screen. Berbagi kopi. Secangkir berdua. Segelas bertiga. Atau berempat. Atau bertakberbilang. Bahkan. Juga berbagi rokok. Sebatang berlima. Berenam. Berberapa pun. Sambil

UN dan Malapraktik Penilaian

Untuk kali kesekian, Ujian Nasional (UN) menjadi topik hangat yang menyedot perhatian publik untuk turut meramaikan perbincangan seputar dunia pendidikan kita. Kali ini, kegaduhan UN dipicu oleh rencana moratorium UN yang dilontarkan oleh Mendikbud Muhadjir Efendi. Seperti biasa, perubahan kebijakan selalu mengundang beragam tanggapan. Apalagi bila isu perubahan itu diembuskan oleh pejabat baru. Komentar klise yang paling mudah tersulut adalah tuduhan bahwa ganti menteri, ganti kebijakan. Tanggapan miring itu tidak sepenuhnya salah. Lihat saja perubahan kebijakan menyangkut UN dari waktu ke waktu. Mulai sekadar mengganti nama dari UAN (Ujian Akhir Nasional) menjadi UN, mengamputasi fungsi UN sebagai penentu kelulusan, hingga yang terakhir moratorium UN, semua terjadi pascasuksesi Menteri. Secara konseptual, sebagaimana termaktub dalam Pasal 68 PP Nomor 19 Tahun 2005, UN memiliki empat fungsi: (1) pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidik

Gara-gara Klungsu *)

Seorang raja yang tidak begitu feodal mendadak memanggil seluruh pejabat setingkat menteri di kerajaannya. Tak seorang pun tahu maksud dan tujuan pemanggilan tersebut. Semua datang ke istana dengan pikiran galau penuh tanda tanya. “Saudara-saudara,” sang Raja mengawali pidatonya, “tidak lama lagi saya akan lengser.” Semua yang mendengar terperangah. “Tapi maaf, Baginda,” Patih buru-buru menyela, “bukankah Baginda masih cukup muda dan kuat untuk memimpin?” “Betul, Patih,” jawab Raja, “namun ketahuilah bahwa orang berkuasa itu bak orang makan, kalau kekenyangan bisa mengundang berbagai penyakit. Jadi, sebaiknya saya menyudahi kekuasaan ini sebelum kenyang.” Semua yang hadir kaget dan bengong. Makin kentara kezuhudan sang Raja. Usianya masih terbilang muda. Jasmaninya segar bugar. Rohaninya sehat tanpa cacat. Kesetiaan para narapraja tak diragukan. Dukungan rakyat tak pernah pudar. Kemakmuran kota dan desa merata di seantero negeri. Keadilan senantiasa dijunjung tinggi. Musabab a