Langsung ke konten utama

Postingan

Wong Legan Golek Momongan

Judul ini pernah saya pakai untuk “menjuduli” tulisan liar di “kantor” sebuah organisasi dakwah di kalangan anak-anak muda, sekitar 20 tahun silam. Tulisan tersebut saya maksudkan untuk menggugah teman-teman yang mulai menunjukkan gejala aras-arasen dalam menggerakkan roda dakwah. Adam a.s. Ya, siapa tidak kenal nama utusan Allah yang pertama itu? Siapa yang tidak tahu bahwa beliau mulanya adalah makhluk penghuni surga? Dan siapa yang tidak yakin bahwa surga adalah tempat tinggal yang mahaenak? Tapi kenapa kemudian beliau nekat melanggar pepali hanya untuk mencicipi kerasnya perjuangan hidup di dunia? Orang berkarakter selalu yakin bahwa sukses dan prestasi tidak diukur dengan apa yang didapat, melainkan dari apa yang telah dilakukan. Serta merta mendapat surga itu memang enak. Namun, mendapat surga tanpa jerih payah adalah raihan yang membuat peraihnya tidak layak berjalan dengan kepala tegak di depan para kompetitornya. Betapa gemuruh dan riuh tepuk tangan da

Kurikulum 2013: Kritik Pedas bagi Guru

Peran mana yang lebih tepat untuk disandang oleh guru: sutradara atau aktor? Jika pertanyaan ini diajukan kepada guru, tentu jawabannya akan bergantung pada sikap mental si guru. Bagi guru yang bermental kreatif dan inovatif, peran sebagai sutradara tentu menjadi pilihan mantap. Sebaliknya, peran sebagai aktor merupakan pilihan nyaman bagi guru yang daya kreasi dan inovasinya rendah. Dua peran yang berbeda secara ekstrem itulah yang menjadi pembeda mencolok antara peran guru dalam kurikulum 2013 dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya. Dengan konsep Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), kurikulum 2006 memberikan otoritas luas kepada guru untuk mengembangkan kurikulum dengan mengakomodasi potensi lokal (daerah dan sekolah). Sedangkan kurikulum 2013 yang akan segera diberlakukan, seluruh otoritas itu diambil alih oleh Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mencermati perombakan besar ini, layak kiranya masyarakat bertanya: ada apa gerangan? Beragam spekulasi

Jakarta: (Masih) 1 Enaknya!

Kalau Pembaca mengerti matematika, niscaya tidak salah membaca judul tulisan ini. Untuk membunuh kesepian, menjelang magrib (16/11) aku mengirim SMS kepada keponakan. Lepas isya datang panggilan dari nomornya. Jebul , yang menelepon suaminya. Ia menawari aku untuk singgah ke rumahnya, di Bekasi. Mulanya aku sungkan. Maklum, aku mesti menanti kedatangan rombongan teman-teman dari Solo, yang baru sampai Indramayu. Namun, ia terus merayu. Kebetulan ada bumbu yang membuat rayuannya makin sedap: ayah mertuanya (kakak iparku) juga ada di Bekasi. Kena, deh ! Aku pun jadi bernafsu untuk mengiyakan permintaannya. Sekitar pukul 8 malam menantu keponakanku tiba di Ragunan. Kupelototi sepeda motornya. " Helme siji thok , Mas?" tanyaku.

Lugas Nian

"Yang deg-degan (bukan es degan. lho!) tegang bukan adik-adik peserta lomba. Yang tegang justru ibu-ibu di kanan dan kiri aula. Kalau adik-adik ini sudah mantap, siap berlomba. Bahkan adik-adik sudah tidak sabar untuk segera mengerjakan soal. Mereka pada ngrasani, 'Pembukaannya kok lama banget?' Oleh sebab itu, saya tidak akan berpidato. Saya tidak perlu menyampaikan pidato apa pun. Saya tidak perlu memberikan pesan apa-apa yang harus Adik-adik lakukan. Adik-adik semua sudah tahu apa yang mesti kalian lakukan, karena Adik-adik semua adalah para juara. Tadi semua mengaku ingin seperti Pak Menteri. Bahkan, semua ingin melebihi Pak Menteri. Tidak perlu ingin, karena sekarang saja Adik-adik sudah melebihi saya. Saya dulu tergolong tidak pintar matematika, sedangkan Adik-adik semua juara matematika plus studi Islam, lagi. Luar biasa!

Koreksi

Ya, kata ini tak pernah asing di kalangan guru. Usai tes, ulangan, ujian, atau apa pun namanya, koreksi menjadi fardu. Pegang kunci jawaban plus kertas atau mika mal, pulpen atau spidol bertinta merah, lalu ... sret, sret, sret ...  kluwer, kluwer  ... dan jadilah angka penanda prestasi yang dicapai siswa. Cukup begitukah untuk bisa dibilang koreksi? Kalau tidak salah lacak, kata koreksi berasal dari bahasanya David Beckam  correction . Kata  correction  sendiri terbentuk dari adjectiva dan verba  correct . Sebagai verba,  to correct  berarti  make right or correct . Dengan begitu, koreksi mestinya dipahami sebagai  the act of offering an improvement to replace a mistake; setting right . Ya, koreksi—sekali lagi, mestinya—dipahami dan dipraktikkan sebagai tindakan menawarkan perbaikan untuk menggantikan kesalahan, alias menyetel agar benar. Aneh, usai menerima lembar jawabannya yang sudah "dikoreksi", sebagian murid saya bertanya, "KKM (kriteria ketuntasan minimal)-nya b

Perubahan dan Kita

Berdasarkan statusnya, perubahan --setidaknya-- dapat diklasifikasikan  ke dalam tiga kategori: (1) perubahan yang diabaikan; (2) perubahan karena terpaksa; dan (3) perubahan yang dikehendaki. Perubahan yang Diabaikan Bayangkan seseorang tengah duduk di kursi goyang di teras rumahnya pada suatu pagi nan lembut. Lurus di depannya teronggok jam bandul berbingkai almari ukir berdinding kaca bening. Ketiga batang jarumnya tak pernah berhenti bergerak. Gerak satu putaran jarum detik diikuti pergeseran jarum menit sejauh satu setrip kecil. Gerak satu putaran jarum menit diiringi pergeseran jarum jam sejauh satu setrip besar. Selama orang tersebut duduk menikmati ayunan kursi malas itu, sudah tak berbilang kali lonceng jam berlabel "made in Germany" itu berdentang. (Agak ganjil! Biasanya "made" in Bali, kok yang ini in Germany?)

Siapa Mau Jadi Guruku?

Tak ada seorang anak manusia pun yang bisa memilih dari rahim siapa, di mana, dan dalam keadaan bagaimana ia dilahirkan. Begitu pula aku. Bahwa orang tuaku berlimpah harta, itu anugerah-Nya yang tak mungkin kuingkari. Bahkan, aku hanya pantas bersyukur atas anugerah itu. Bahwa aku lahir dan tumbuh dengan jasmani yang normal dan bugar, itu semata bukti kemahamurahan-Nya. Bahkan, aku pantas berbangga dengan pertumbuhanku yang lebih cepat daripada anak-anak sebayaku. Sayangnya, di balik aneka kelebihan itu, aku juga dianugerahi--yang menurut sebagian orang--kekurangan. Aku tidak tahan berlama-lama memusatkan perhatianku pada satu aktivitas atau satu objek. Berfokus pada satu hal selama 10 menit itu sudah cukup menyiksa bagiku, walau orang-orang di sekitarku menganggapnya terlalu singkat. Sepuluh menit mematri konsentrasi itu sungguh membelenggu nafsuku untuk berulah ini-itu. Sungguh aku merasa tersiksa dengan belenggu yang dipasang oleh orang-orang "normal" yang tak me