Langsung ke konten utama

Postingan

Jakarta: (Masih) 1 Enaknya!

Kalau Pembaca mengerti matematika, niscaya tidak salah membaca judul tulisan ini. Untuk membunuh kesepian, menjelang magrib (16/11) aku mengirim SMS kepada keponakan. Lepas isya datang panggilan dari nomornya. Jebul , yang menelepon suaminya. Ia menawari aku untuk singgah ke rumahnya, di Bekasi. Mulanya aku sungkan. Maklum, aku mesti menanti kedatangan rombongan teman-teman dari Solo, yang baru sampai Indramayu. Namun, ia terus merayu. Kebetulan ada bumbu yang membuat rayuannya makin sedap: ayah mertuanya (kakak iparku) juga ada di Bekasi. Kena, deh ! Aku pun jadi bernafsu untuk mengiyakan permintaannya. Sekitar pukul 8 malam menantu keponakanku tiba di Ragunan. Kupelototi sepeda motornya. " Helme siji thok , Mas?" tanyaku.

Lugas Nian

"Yang deg-degan (bukan es degan. lho!) tegang bukan adik-adik peserta lomba. Yang tegang justru ibu-ibu di kanan dan kiri aula. Kalau adik-adik ini sudah mantap, siap berlomba. Bahkan adik-adik sudah tidak sabar untuk segera mengerjakan soal. Mereka pada ngrasani, 'Pembukaannya kok lama banget?' Oleh sebab itu, saya tidak akan berpidato. Saya tidak perlu menyampaikan pidato apa pun. Saya tidak perlu memberikan pesan apa-apa yang harus Adik-adik lakukan. Adik-adik semua sudah tahu apa yang mesti kalian lakukan, karena Adik-adik semua adalah para juara. Tadi semua mengaku ingin seperti Pak Menteri. Bahkan, semua ingin melebihi Pak Menteri. Tidak perlu ingin, karena sekarang saja Adik-adik sudah melebihi saya. Saya dulu tergolong tidak pintar matematika, sedangkan Adik-adik semua juara matematika plus studi Islam, lagi. Luar biasa!

Koreksi

Ya, kata ini tak pernah asing di kalangan guru. Usai tes, ulangan, ujian, atau apa pun namanya, koreksi menjadi fardu. Pegang kunci jawaban plus kertas atau mika mal, pulpen atau spidol bertinta merah, lalu ... sret, sret, sret ...  kluwer, kluwer  ... dan jadilah angka penanda prestasi yang dicapai siswa. Cukup begitukah untuk bisa dibilang koreksi? Kalau tidak salah lacak, kata koreksi berasal dari bahasanya David Beckam  correction . Kata  correction  sendiri terbentuk dari adjectiva dan verba  correct . Sebagai verba,  to correct  berarti  make right or correct . Dengan begitu, koreksi mestinya dipahami sebagai  the act of offering an improvement to replace a mistake; setting right . Ya, koreksi—sekali lagi, mestinya—dipahami dan dipraktikkan sebagai tindakan menawarkan perbaikan untuk menggantikan kesalahan, alias menyetel agar benar. Aneh, usai menerima lembar jawabannya yang sudah "dikoreksi", sebagian murid saya bertanya, "KKM (kriteria ketuntasan minimal)-nya b

Perubahan dan Kita

Berdasarkan statusnya, perubahan --setidaknya-- dapat diklasifikasikan  ke dalam tiga kategori: (1) perubahan yang diabaikan; (2) perubahan karena terpaksa; dan (3) perubahan yang dikehendaki. Perubahan yang Diabaikan Bayangkan seseorang tengah duduk di kursi goyang di teras rumahnya pada suatu pagi nan lembut. Lurus di depannya teronggok jam bandul berbingkai almari ukir berdinding kaca bening. Ketiga batang jarumnya tak pernah berhenti bergerak. Gerak satu putaran jarum detik diikuti pergeseran jarum menit sejauh satu setrip kecil. Gerak satu putaran jarum menit diiringi pergeseran jarum jam sejauh satu setrip besar. Selama orang tersebut duduk menikmati ayunan kursi malas itu, sudah tak berbilang kali lonceng jam berlabel "made in Germany" itu berdentang. (Agak ganjil! Biasanya "made" in Bali, kok yang ini in Germany?)

Siapa Mau Jadi Guruku?

Tak ada seorang anak manusia pun yang bisa memilih dari rahim siapa, di mana, dan dalam keadaan bagaimana ia dilahirkan. Begitu pula aku. Bahwa orang tuaku berlimpah harta, itu anugerah-Nya yang tak mungkin kuingkari. Bahkan, aku hanya pantas bersyukur atas anugerah itu. Bahwa aku lahir dan tumbuh dengan jasmani yang normal dan bugar, itu semata bukti kemahamurahan-Nya. Bahkan, aku pantas berbangga dengan pertumbuhanku yang lebih cepat daripada anak-anak sebayaku. Sayangnya, di balik aneka kelebihan itu, aku juga dianugerahi--yang menurut sebagian orang--kekurangan. Aku tidak tahan berlama-lama memusatkan perhatianku pada satu aktivitas atau satu objek. Berfokus pada satu hal selama 10 menit itu sudah cukup menyiksa bagiku, walau orang-orang di sekitarku menganggapnya terlalu singkat. Sepuluh menit mematri konsentrasi itu sungguh membelenggu nafsuku untuk berulah ini-itu. Sungguh aku merasa tersiksa dengan belenggu yang dipasang oleh orang-orang "normal" yang tak me

Guru Kelas atau Guru Mata Pelajaran?

Ironis! Akhir-akhir ini semakin sering orang memandang sebelah mata terhadap status guru sekolah dasar (SD) sebagai guru kelas. Di jagad persekolahan, istilah guru kelas merujuk pada guru yang mengampu semua mata pelajaran generik di satu kelas. Mata pelajaran generik di dalam kurikulum yang tengah berlaku di SD saat ini meliputi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).  Kegamangan atas pemberlakuan status guru kelas datang dari dalam dan luar sekolah. Dari dalam, mulai muncul perasaan kurang percaya diri (PD) pada sebagian guru SD untuk mengajarkan banyak mata pelajaran. Alasan yang melatarbelakangi adalah keberatan atas tuntutan untuk menguasai bahan pelajaran. Berkembang pandangan bahwa materi pelajaran SD dewasa ini jauh lebih sulit ketimbang belasan tahun yang lalu, ketika para guru itu duduk di bangku SD. Bahkan, ada yang memvonis tidak profesional bila seorang guru SD yang bukan sarj

pepeel

Namanya saja sudah tidak begitu jelas: PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN. Kalaupun tidak membingungkan, setidaknya nama ini berkesan terlalu umum.  Beberapa hari yang lalu sekolah kami melepas delapan orang "guru purna tugas". Semuanya masih muda, sangat muda, bahkan. Masa tugas mereka pun baru sebentar, sekitar tiga bulan potong libur Lebaran. Ya, mereka adalah para calon guru yang baru saja usai menjalani masa PPL. Ekspresi kegembiraan sangat kentara menghiasi wajah mereka. Entah, perasaan apa yang menjadi pencetusnya: puas karena berhasil mengantongi segudang pengalaman yang cukup sebagai bekal untuk menjalani profesi masa depan, optimis akan menyandang profesi yang menjanjikan penghasilan rangkap (gaji + tunjangan profesi), atau sekadar lega karena segera bebas dari tekanan tugas-tugas perploncoan sebagai praktikan? Sayang, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Sebelum acara pamitan selesai, "musibah" segera menimpa mereka. Itu gara-gara kepala sekola