Langsung ke konten utama

Postingan

Guru Kelas atau Guru Mata Pelajaran?

Ironis! Akhir-akhir ini semakin sering orang memandang sebelah mata terhadap status guru sekolah dasar (SD) sebagai guru kelas. Di jagad persekolahan, istilah guru kelas merujuk pada guru yang mengampu semua mata pelajaran generik di satu kelas. Mata pelajaran generik di dalam kurikulum yang tengah berlaku di SD saat ini meliputi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).  Kegamangan atas pemberlakuan status guru kelas datang dari dalam dan luar sekolah. Dari dalam, mulai muncul perasaan kurang percaya diri (PD) pada sebagian guru SD untuk mengajarkan banyak mata pelajaran. Alasan yang melatarbelakangi adalah keberatan atas tuntutan untuk menguasai bahan pelajaran. Berkembang pandangan bahwa materi pelajaran SD dewasa ini jauh lebih sulit ketimbang belasan tahun yang lalu, ketika para guru itu duduk di bangku SD. Bahkan, ada yang memvonis tidak profesional bila seorang guru SD yang bukan sarj

pepeel

Namanya saja sudah tidak begitu jelas: PRAKTIK PENGALAMAN LAPANGAN. Kalaupun tidak membingungkan, setidaknya nama ini berkesan terlalu umum.  Beberapa hari yang lalu sekolah kami melepas delapan orang "guru purna tugas". Semuanya masih muda, sangat muda, bahkan. Masa tugas mereka pun baru sebentar, sekitar tiga bulan potong libur Lebaran. Ya, mereka adalah para calon guru yang baru saja usai menjalani masa PPL. Ekspresi kegembiraan sangat kentara menghiasi wajah mereka. Entah, perasaan apa yang menjadi pencetusnya: puas karena berhasil mengantongi segudang pengalaman yang cukup sebagai bekal untuk menjalani profesi masa depan, optimis akan menyandang profesi yang menjanjikan penghasilan rangkap (gaji + tunjangan profesi), atau sekadar lega karena segera bebas dari tekanan tugas-tugas perploncoan sebagai praktikan? Sayang, kegembiraan itu tidak bertahan lama. Sebelum acara pamitan selesai, "musibah" segera menimpa mereka. Itu gara-gara kepala sekola

Guruku Luar Biasa!

Giritontro, 22 Agustus 2012 Dua puluh enam tahun sudah, kami berpisah. Hari itu kami kumpul-kumpul bareng teman-teman seangkatan SMP. Meriah, ... itu pasti! Setiap ada teman baru datang, saling bertanya, “Sinten, nggih?” Rupanya, 26 tahun itu waktu yang cukup untuk membuat kami saling pangling. Di balik keriuhan suasana reuni, terselip sejumlah pelajaran kemanusiaan. Semuanya saya bawa pulang dan dengan bangga saya sajikan sebagai oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman. Kini, saatnya saya bagikan oleh-oleh itu di sini. Siapa pun, yang menaruh apresiasi pada nilai kemanusiaan, boleh ambil. Egaliter Semua alumni yang hadir memakai kaus seragam. Kepada mereka yang terjangkau, kaus diantar sebelum hari-H. Datang ke acara, kami sudah mengenakan kaus itu. Yang tidak terjangkau, begitu datang segera diberi kaus yang sama. Sebagian teman-teman putri yang berbusana muslimat tetap memakai kaus seragam sebagai penutup blus panjang mereka. Alhasil, tak ada kostum orang kaya atau orang kurang ka

Hewan Paling Liar

Ketika disebut sebagai hewan yang berpikir, tak ada manusia yang protes. Ketika dijuluki sebagai hewan yang berpolitik, tak ada manusia yang menggugat. Ketika dinobatkan sebagai hewan yang berestetika, tak ada manusia yang menolak. Ketika dianugerahi gelar sebagai hewan yang berbudaya, tak ada manusia yang berontak. Apalagi ketika digelari sebagai hewan yang beretika, tak ada manusia yang tidak menerimanya dengan bangga. Tetapi, bagaimana jika manusia dinominasikan sebagai penyandang predikat sebagai hewan yang paling liar?             Kawanan singa hidup di hutan belantara. Mereka digolongkan sebagai hewan liar. Itu wajar. Tidak ada yang berkeberatan. Ulat hidup di batang, daun, buah, atau biji tanaman. Tempat hidupnya sekaligus menjadi makanannya. Ulat dikategorikan sebagai hewan liar. Itu sah. Tidak ada yang membantah. Kawanan burung blekok bersarang di pepohonan. Mereka mencari makan di sawah, danau, empang, tambak, atau sungai. Mereka dikelompokkan sebagai hewan liar.

Spanyol Juara Luar-Dalam

Beragam spekulasi akhirnya terjawab sudah. Senin (2/7/12) dini hari--menurut jam kita--gelaran Piala Eropa 2012 berakhir. Spanyol dinobatkan sebagai juara setelah berhasil mencukur Italia 4-0. Teknik tiki-taka, yang akhir-akhir ini sering menuai kecaman, terbukti masih mujarab sebagai "jimat" Spanyol untuk melumpuhkan lawan. Selamat kepada Spanyol! Di balik gelar Euro Champion  yang disandangnya, sejujurnya timnas Spanyol menyisakan satu pertanyaan yang gagal terjawab: siapa bintang di timnas Spanyol?

Mengundang Takzim Malaikat

“Aku akan menitahkan seorang khalifah di muka bumi.” (Q.S. 2: 30) Sontak, maklumat dari Sang Khalik itu membuat para malaikat terperanjat. Dengan nada khawatir, komunitas makhluk langit itu bertanya, “Mengapa Paduka hendak menyerahkan urusan bumi kepada bangsa yang suka berbuat korup di sana? Lagi pula mereka gemar membuat pertumpahan darah? Sedangkan kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan menguduskan Paduka.” (Q.S. 2: 31) Kekhawatiran malaikat cukup beralasan. Bumi merupakan planet merdeka. Segala fasilitas tersedia. Segenap karsa mendapat kesempatan untuk diwujudkan. Segala macam nafsu punya peluang untuk berkembang. Upaya pemuasan nafsu itulah yang berpotensi memicu pertumbuhan perilaku merusak atau korup. Aneka rupa sumberdaya alam yang terhampar di permukaan atau terpendam di dalam perut bumi dieksploitasi secara semena-mena. Aktivitas pendayagunaan sumberdaya alam tidak sekadar berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan, melainkan terlampau jauh didedikasikan untuk me

Minta Maaf: Komoditas Termahal Abad Ini

Seorang anak melukai perasaan temannya dengan kata-kata kotor, jorok, hina, dan ... entah ajektiva apa lagi yang pas untuk mengatributi kata-kata itu. Orang tua si korban naik darah. Itu sikap lumrah, saya pikir. Siapa pun orangnya akan tersinggung mendapati anak kesayangannya yang masih bau kencur "dianugerahi" gelar serendah dan segelap itu. Masih beruntung, orang tua tersebut tidak serta merta melabrak pelaku. Dengan bijak, beliau mengadu kepada pihak--yang menurut harapan beliau--bisa menjadi mediator. Dengan segala keterbatasan, penerima aduan mencoba mencari solusi. Fakta-fakta dihimpun dari segenap penjuru yang teridentifikasi bisa dijadikan rujukan informasi. Intervensi dilakukan--sekali lagi, dengan segala keterbatasan.