Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Humaniora

Menyikapi Keberagaman Sistem Keberagamaan

  Sumber gambar: artikula.id/pixabay.com Kamis (22/02/2024) malam saya mengikuti rapat takmir masjid di lingkungan tempat tinggal kami. Agendanya pembahasan rencana kegiatan Ramadan. Kudapannya kacang rebus, onde-onde, dan molen pisang. Minumannya air putih dalam kemasan botol plastik. Andaikan ketahuan siapa itu, barangkali panitia akan di- bully: tidak ramah lingkungan. Sahabat saya, salah seorang peserta rapat, usul: penceramah yang isi ceramahnya berpotensi memicu perpecahan perlu ditegur. Ramai mengemuka tanggapan dengan sudut pandang beragam. Tafsir saya, isi ceramah yang dimaksud adalah pandangan atau pendapat yang berbeda dari ajaran yang sudah diyakini dan diamalkan oleh sebagian jemaah. Maka, saya melontarkan tip: menyimak ceramah agama itu seperti menonton kampanye. Kalau telanjur hadir di kampanye regu A, ya, kita simak saja isi kampanyenya. Kalau visi, misi, dan programnya tidak sesuai dengan isi kepala kita, ya, tinggal kita putuskan di bilik suara: tidak mencoblos

Seni versus Agama

  Penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti" Pagi ini saya menyaksikan kuliah umum Orientasi Pembelajar Sukses bagi Mahasiswa Baru (OPSBM) Program Pascasarjana UGM. Setelah pidato sambutan Rektor, acara diselingi penampilan tari "Saga Nyawiji Mukti". Penarinya delapan mahasiswi. Semua bertudung caping. Dari delapan wanita penari itu, hanya satu yang tidak mengenakan kerudung. Satu yang berbeda itu sudah cukup untuk mengantarkan saya kepada simpulan: kerudung bukan bagian dari ketentuan busana untuk tari tersebut. Seketika ingatan saya melayang ke pengalaman belasan tahun silam. Saya menghadiri sarasehan di Balai Pengembangan Multimedia Pendidikan dan Kebudayaan (BPMPK). Unit pelaksana teknis Kemdikbud yang terletak di Gunungpati, Semarang, itu kini sudah "almarhum". Saya belum tahu, gedungnya yang cukup representatif dan relatif masih muda itu sekarang difungsikan untuk apa. Dalam sarasehan itu, tampaknya BPMPK hanya menjadi fasilitator. Penyelenggaranya Dinas K

Kumakaruh

Karanggeneng, 19/06/2023 " Panjenengan Praci-nya mana?" tanya seseorang, menyambut kedatangan saya. "Nokerto," jawab saya. "Saudaranya Pak Paser?" tanyanya lagi. " Prunan [anak adiknya]." Selepas magrib saya memacu WinAir-100 ke Karanggeneng, Gunungpati. Kalau lancar, sepuluh menit perjalanan dari markas saya. Saya harus menyambangi Kak Yato, kawan saya yang tengah mengikuti kegiatan Pramuka tingkat Provinsi . Kak Yato utusan dari Kwarcab (Kwartir Cabang, organisasi Pramuka di tingkat kabupaten/kota) Wonogiri. Ia dilahirkan dan dibesarkan di sana. Sama seperti saya, beda kecamatan. Kami dipertemukan di SPG—sekolah pendidikan guru setingkat SMA, menemui ajalnya pada 1991—di ibu kota kabupaten. Setelah lulus, kami tidak pernah berkomunikasi. Apalagi berjumpa. Mulai terjalin komunikasi jarak jauh setelah musim WhatsApp. Tepatnya, setelah saya punya akun WhatsApp. Gara-gara dipaksa sejumlah orang baik untuk memegang ponsel pintar. Setiap menunaikan

Menjual Kenestapaan

Tetiba saya mendapat kenalan baru. Semalam ada pesan WhatsApp masuk ke ponsel saya. Pukul 20.06. Dari nomor yang saya tidak kenal. Hanya sepenggal kalimat salam. Tidak saya balas. Sengaja. Saya menunggu pesan berikutnya. Sampai pagi saya sudah dan masih melupakan salam yang belum saya jawab itu. Simpulan sementara, salam salah alamat. Atau ulah iseng belaka. Atau ... salah seorang mantan lagi kumat kangennya? Saya berangkat seperti biasanya. Pukul 06.15 sidik jari saya sudah teridentifikasi oleh mesin presensi. Pukul 06.36 ada notifikasi pesan masuk. Harus segera saya buka dan balas. Istri saya mengabarkan, dia sudah sampai di tempat kerja. Usai membalas pesan istri, saya tutup lagi layar ponsel. Selang lima menit kemudian ada pesan masuk lagi. Dari nomor yang belum saya simpan dengan nama. Ini sebagian isinya. Ups, dari nomor yang semalam berkirim salam. Yayasan pengelola panti asuhan rupanya. Membuka ladang amal saleh. Tersanjung saya demi mendapat undangan untuk turut "bercoco

Koalisi tanpa Kompensasi

"Kok enggak ada yang jualan pisang?" tanya saya setengah bergumam. Sebenarnya pertanyaan itu sekadar celetukan kepada diri sendiri. Namun, istri saya rupanya mendengar juga. Berarti, istri saya cukup perhatian kepada suaminya, kan? Atau terbalik: kata-kata saya selalu menarik perhatian istri saya? Halhah, apa pula pengaruhnya? "Belum pada datang, paling," sahutnya. Mengantar istri berbelanja sayur menjadi ritual wajib setiap hari libur. Memang hanya di hari libur, istri saya sempat berbelanja sayur pagi-pagi. Di hari kerja, pukul 06.00 menjadi batas akhir istri saya berangkat. Lebih dari jam itu, dia akan panik berkendara di jalanan yang padat arus lalu lintasnya. Karena belanja untuk kebutuhan seminggu, biasanya volume belanjaannya seperti untuk persiapan jamuan kenduri. Tak pelak, saya sering ditanya orang yang melihat ketika saya menaikkan tas-tas belanja ke motor, "Kok belanjanya banyak amat, Pak?" Pagi kemarin (04/06) ketika saya dan istri t

Sudah Seperti Dukun?

Selepas magrib suatu hari. Hari dan tanggalnya, entah. Pun bulannya, saya lupa. Yang saya ingat hanya tahunnya: 2023. Saya sedang berkemas hendak pulang. Seorang lelaki muda menghampiri saya. Satpam kantor. Tampak sangat gugup. Tergopoh. Kalimat salam diucapkan. Tangan kanannya diulurkan ke arah saya. Segera saya jabat sepenuh erat, seperti biasanya. Ia menyeringai. "Lo, kenapa?" tanya saya, kaget. " Kejepit pintu gerbang, Pak," jawabnya cepat tapi dengan suara lemah. " Tulung, tangan saya ditambani, Pak," lanjutnya. Saya perhatikan tangannya, yang baru lepas dari jabatan saya. Lebam. Dua jari: tengah dan telunjuk. Jari tengah lebih parah. "Enggak berani, Mas. Saya enggak tahu pijat-memijat. Nanti bisa-bisa malah merusak posisi tulang atau ototnya." "Sudahlah, Pak, dibacakan doa apa saja. Saya percaya dengan njenengan ." "Waduh!" batin saya. Saya silakan ia menunggu di pos satpam. Saya seger

Buntu Ide

Seorang sejawat menyebut nama saya dalam tulisannya. Demi memenuhi kewajiban, pagi itu (15/05/2023) dia menyetorkan sebuah tulisan ke institusinya. Panjangnya sepuluh kalimat. Isinya curhat. Dia bingung hendak menulis apa. Di situlah dia ingat pesan saya suatu ketika: pengalaman kesulitan menulis pun bisa menjadi cerita yang layak untuk ditulis. Sayangnya, dia berhenti di pengakuan bingung itu saja. Seandainya dia mengelaborasi kegundahannya, pasti panjang tulisannya akan berlipat ganda. Perasaan yang meliputinya menjelang tiba gilirannya menyetor tulisan adalah cerita menggelitik. Usahanya menggali ide dan menuangkannya dalam tulisan adalah cerita heroik. Suasana—lahir dan batin—yang mengiringi proses menulisnya adalah cerita epik. Kalau serangkaian pengalaman itu dikisahkan secara apa adanya, dengan balutan bahasa yang renyah, tak ayal akan menjelma cerita yang mengharu biru. Takut mengecewakan pembaca? Atau dibilang lebai? Atau dianggap tulisan remeh-temeh? Atau … dihantui seribu ke

Jepang Guru Dunia

  Pergelaran Piala Dunia 2022 baru memasuki hari ke-6. Pertandingan final baru akan berlangsung pada 18 Desember. Penyisihan grup baru akan berakhir sepekan ke depan. Para pengamat dan penggila bola mulai ramai memprediksi tim negara mana yang akan keluar sebagai juara. Beragam pendekatan mereka gunakan: analisis ilmiah, fanatisme primordial, hingga ramalan mistis. Saya bukan pengamat persepakbolaan. Bukan pula penggila bola. Jangankan menonton langsung di stadion, menonton siaran pertandingan sepak bola sambil ngopi dan ngemil di depan TV pun kalau dirata-rata tidak sampai satu kali setahun. Andaikan ditanya tentang hasil pertandingan babak penyisihan grup Piala Dunia 2022 ini—yang sudah memainkan 16 laga—saya hanya bisa menyebut dua: Jepang menang atas Jerman dan Arab Saudi menang atas Argentina. Dua kemenangan itu pun tanpa saya ingat skornya. Meski buta bola, jika ditanya siapa juara Piala Dunia di Qatar kali ini, saya punya jawaban yang jauh lebih maju daripada para pengamat je

Rindu Tak Sampai, Dendam Tak Tunai

  Ina (paling kanan) dan suaminya, Tabah (tengah), urung menginap di Wanayasa Menit ke-17 dari pukul 24.00 alias 00.00. Regu Semarang meninggalkan Kajen menuju Wanayasa. Ternyata, jarak dua kecamatan berbeda kabupaten itu tidak begitu jauh. Menurut petunjuk Mohadi (duh, jadi kangen Pak Harmoko), dari Kajen lurus ke selatan melewati Paninggaran dan Kalibening, lalu sampailah di Wanayasa. Jalannya menanjak terus, tapi landai, katanya. (Entah mengapa Mohadi tidak mengabarkan, tanjakan-tanjakan itu berselang-seling dengan turunan curam juga?) Lepas kota Kajen, kami langsung menyusuri jalan mendaki membelah hutan. Awalnya memang landai. Namun, lama-kelamaan di beberapa ruas kemiringannya cukup efektif untuk meredam laju mobil. Ditambah sejumlah tikungan tajam di beberapa titik. Khas kontur jalan di perbukitan, tanjakan terjal segera dibalas dengan turunan curam. (Suko dan Diana tak perlu menyisipkan cerita di sini.) Biasanya saya cepat-cepat merapal mantra sakti ketika sudah duduk di jo

Amung Ati Pawitane

"OK. Sabar, ya, Yu ." Terlalu irit. Berkesan pelit, bahkan. Empat kata yang semuanya hemat aksara itu ditulis untuk menjawab permohonan izin. Seorang pegawai terpaksa datang terlambat ke tempat kerja. Ada kewajiban domestik yang mesti ditunaikan terlebih dulu. Bukan kali pertama dia menghadapi kendala serupa: niatnya untuk berdisiplin terhalang oleh urusan keluarga. Mungkin sebenarnya dia sudah bosan mengulang-ulang permintaan izin datang terlambat. Tidak hanya malu kepada pimpinan dan teman sejawat, dapat dipastikan dia juga menanggung perasaan bersalah kepada institusi. Datang terlambat dan pulang lebih awal menjadi catatan buruk di hari-hari kerjanya. Sudah berbilang bulan dia berjuang untuk melewati ujian berat yang datang menghampirinya tanpa cecala itu.  Bisa jadi, tangannya menggigil kencang ketika mengetik SMS—layanan pesan singkat lewat ponsel, yang populer kala itu—untuk dikirimkan kepada pimpinannya pagi itu. Maklum, pimpinannya baru. Wajar kalau dia masih menerka